Petugas membawa foto Presiden kedua RI Soeharto usai prosesi upacara pemberian gelar pahlawan di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTOPenetapan mantan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2025 menimbulkan respons beragam di tengah masyarakat. Ada yang memandangnya sebagai bentuk penghargaan atas jasa besar Soeharto dalam pembangunan bangsa, namun tak sedikit pula yang menganggap keputusan itu memerlukan penjelasan lebih dalam karena menyangkut figur dengan sejarah yang kompleks.Penganugerahan gelar pahlawan bukan sekadar penghormatan administratif. Ia adalah tindakan simbolik yang membawa pesan politik dan sosial tentang nilai yang dijunjung tinggi oleh negara. Melalui simbol kehormatan, negara berbicara tentang siapa yang pantas dikenang, dan bagaimana sejarah hendak diceritakan kembali kepada generasi berikutnya.Simbol dan Pesan NegaraDalam komunikasi publik, simbol seperti gelar pahlawan berfungsi sebagai bahasa moral negara. Ia tidak hanya mengakui jasa seseorang, tetapi juga menafsirkan peran dan kontribusinya dalam perjalanan bangsa.Dalam konteks Soeharto, maknanya tidak sederhana. Ia adalah tokoh yang memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade, menegakkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, namun juga meninggalkan jejak otoritarianisme dan korupsi yang memicu lahirnya reformasi 1998.Karena itu, ketika negara menobatkannya sebagai pahlawan, muncul pertanyaan wajar, bagaimana bangsa ini menyeimbangkan pengakuan terhadap jasa dengan catatan kritis atas kekuasaan masa lalu? Pertanyaan ini bukan bentuk penolakan, melainkan bagian dari proses komunikasi publik yang sehat dan terbuka.Membaca Sejarah Secara UtuhSetiap bangsa memiliki cara menafsirkan masa lalunya. Indonesia kini tampak berusaha membaca sejarah secara lebih utuh, bukan sekedar hitam putih. Pengakuan terhadap jasa Soeharto bisa dipahami sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi sejarah, untuk melihat masa lalu tanpa kebencian sekaligus tanpa penyangkalan.Namun, rekonsiliasi memerlukan kejelasan komunikasi. Simbol kehormatan tanpa konteks berisiko menimbulkan salah tafsir, seolah jasa menghapus kesalahan, atau pembangunan menebus penderitaan. Agar tidak menimbulkan bias, keputusan semacam ini perlu diiringi narasi yang utuh dan jujur tentang sejarah Orde Baru, tentang apa yang telah dicapai dan apa yang perlu dikritisi.Dengan begitu, gelar pahlawan bukan menjadi bentuk pengaburan, melainkan kesempatan untuk belajar dan memahami bahwa sejarah selalu terdiri dari keberhasilan dan kekeliruan yang berjalan beriringan.Dinamika Komunikasi PublikReaksi publik terhadap keputusan ini juga mencerminkan perubahan lanskap komunikasi di era digital. Jika di masa lalu pesan negara cenderung diterima secara satu arah, kini makna keputusan pemerintah segera diuji oleh publik di ruang terbuka, media sosial, ruang diskusi, dan opini warga.Perdebatan tentang gelar Soeharto memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia semakin aktif menafsirkan simbol-simbol negara. Mereka tidak sekadar pendengar, tetapi penutur yang ikut membentuk narasi sejarah. Dalam hal ini, dinamika pro dan kontra menjadi wajar, bahkan sehat, selama berlangsung dengan argumen dan data, bukan dengan kemarahan.Proses semacam ini menunjukkan bahwa demokrasi telah mengubah cara kita berkomunikasi tentang masa lalu. Sejarah kini bukan lagi milik negara semata, tetapi juga milik warga yang ingin mengingat dengan cara mereka sendiri.Kepahlawanan dan Kejujuran SejarahGelar pahlawan, pada hakikatnya, adalah bentuk komunikasi moral. Ia menyampaikan pesan tentang nilai-nilai seperti dedikasi, keberanian, dan pengabdian terhadap bangsa. Namun di saat yang sama, ia menuntut tanggung jawab etis, agar simbol tidak memutihkan masa lalu, dan penghormatan tidak berubah menjadi pelupaan.Seorang tokoh besar seperti Soeharto bisa saja dikenang sebagai pahlawan atas jasa-jasanya, sekaligus dikritisi atas sisi gelap kekuasaannya. Dua hal itu tidak harus saling meniadakan. Justru, dengan keberanian melihat keduanya secara terbuka, bangsa ini dapat belajar tentang kompleksitas sejarahnya sendiri.PenutupPemberian gelar pahlawan kepada Soeharto membuka kembali percakapan penting tentang bagaimana bangsa ini memaknai sejarah, kekuasaan, dan penghormatan. Ia mengingatkan bahwa kepahlawanan tidak selalu berarti kesempurnaan, melainkan dedikasi yang memberi pelajaran.Dari sudut pandang komunikasi, keputusan ini adalah ajakan untuk berdialog, bukan untuk menghakimi. Negara telah berbicara melalui simbol, kini publik menanggapinya dengan pandangan yang beragam. Dari percakapan inilah makna sejarah tumbuh sebagai ruang belajar, bukan arena saling meniadakan.Mungkin di situlah nilai sejati dari keputusan ini, sebuah kesempatan bagi bangsa untuk menyapa ulang sejarahnya, dengan kesadaran bahwa masa lalu yang diingat secara jujur adalah fondasi terbaik untuk masa depan yang lebih matang.