Tak Punya Rumah untuk Pulang, Tapi Punya Mimpi untuk Dikejar

Wait 5 sec.

Ilustrasi mahasiswa sedang mengerjakan tugas. Foto: StockImageFactory.com/ShutterstockTidak semua mahasiswa datang ke kampus dengan kondisi yang sama. Ada yang tiba dengan mobil, membawa laptop mahal, dan memikirkan makan siang di kantin fakultas. Tapi ada pula yang datang dengan motor pinjaman, membawa bekal dari rumah, dan memikirkan bagaimana caranya makan untuk besok. Di antara mereka, ada mahasiswa penerima KIPK, mereka yang secara akademik berprestasi, tapi secara ekonomi harus terus berjuang.Salah satu teman saya adalah bagian dari kelompok itu. Ia berasal dari keluarga broken home. Sejak orang tuanya berpisah, ia tidak lagi menerima dukungan finansial maupun emosional dari keduanya. Meski mendapat beasiswa KIPK, bantuan itu hanya menutup biaya pendidikan, bukan kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk bertahan, ia bekerja sebagai driver Shopee di sela-sela jadwal kuliahnya. Setiap hari ia harus menyeimbangkan dua dunia yaitu dunia akademik yang menuntut fokus, dan dunia kerja yang menuntut tenaga serta ketahanan mental.Kisah seperti ini menunjukkan dengan jelas bagaimana struktur sosial masih berperan besar dalam menentukan pengalaman seseorang di dunia pendidikan. Pierre Bourdieu, dalam teorinya tentang modal dan reproduksi sosial, menjelaskan bahwa kesenjangan pendidikan tidak hanya disebabkan oleh perbedaan kemampuan individu, tetapi juga oleh perbedaan akses terhadap modal, baik modal ekonomi, sosial, maupun kultural.Teman saya mungkin memiliki modal kultural berupa kecerdasan dan semangat belajar tinggi, tetapi ia kekurangan modal ekonomi untuk menunjang proses pendidikannya. Sementara itu, mahasiswa lain yang berasal dari keluarga lebih mapan memiliki ketiga modal itu sekaligus yaitu dukungan finansial, jaringan sosial yang luas, dan kebiasaan-kebiasaan akademik yang sejak kecil sudah ditanamkan. Maka meski semua mahasiswa berada di kampus yang sama, mereka tidak memulai dari titik yang sama.Bourdieu menyebut proses ini sebagai bentuk reproduksi sosial, di mana lembaga pendidikan, secara tidak sadar, ikut mempertahankan struktur kelas yang sudah ada. Sekolah dan universitas tampak netral, seolah menjadi ruang di mana siapa pun bisa berhasil asalkan berusaha. Namun pada kenyataannya, sistem pendidikan sering kali lebih mudah diakses dan dipahami oleh mereka yang telah memiliki modal sejak awal.Dalam kasus teman saya, perjuangannya untuk bertahan di perkuliahan bukan hanya persoalan individual, melainkan cerminan dari sistem sosial yang tidak sepenuhnya adil. Ia tidak hanya belajar untuk memperoleh nilai, tetapi juga untuk mempertahankan kehidupannya. Ketika mahasiswa lain bisa fokus mengerjakan tugas di malam hari, ia mungkin masih berada di jalan, mengantarkan paket untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ketimpangan ini tidak terlihat di lembar absensi atau nilai ujian, tetapi nyata dalam keseharian.Namun menariknya, Bourdieu juga mengakui adanya ruang bagi agen individu untuk melakukan perlawanan simbolik terhadap struktur. Dalam kasus ini, teman saya adalah contoh nyata bagaimana seseorang dapat menolak untuk tunduk sepenuhnya pada batasan sosialnya. Ia menggunakan pendidikan sebagai alat untuk melawan determinasi kelas, menjadikan kuliah bukan hanya sebagai kewajiban, tapi juga bentuk perlawanan terhadap nasib.Melihat perjuangannya, saya semakin sadar bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-ekonomi. Kampus bukan ruang steril yang bebas dari ketimpangan. Di sana, setiap mahasiswa membawa latar belakang sosialnya masing-masing dan latar itu memengaruhi cara mereka belajar, beradaptasi, hingga bermimpi.Maka, penting bagi kita untuk melihat bahwa keadilan pendidikan bukan hanya soal ketersediaan beasiswa, tetapi juga dukungan terhadap kebutuhan hidup dan kesejahteraan mahasiswa. Sebab bantuan pendidikan tanpa keadilan sosial hanyalah solusi setengah hati.Pendidikan seharusnya menjadi ruang pembebasan, seperti yang diidealkan oleh banyak pemikir kritis. Namun selama akses terhadap berbagai bentuk modal masih timpang, pendidikan justru bisa menjadi alat reproduksi ketimpangan itu sendiri.Teman saya mungkin tidak punya rumah untuk pulang, tapi ia punya mimpi yang teguh untuk dikejar. Dan mungkin, di sanalah letak harapan pendidikan kita yaitu pada orang-orang yang berani melawan batas sosialnya dengan keyakinan bahwa ilmu pengetahuan masih bisa membuka jalan menuju keadilan.