Legislator PDIP: Penetapan Gelar Pahlawan Nasional Harus Dilakukan Transparan dan Objektif

Wait 5 sec.

Arsip foto - Pengunjung mengamati koleksi museum yang dipamerkan di Museum HM Soeharto, Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, DI Yogyakarta, Senin (19/3/2018). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/aww/aa.JAKARTA - Wakil Ketua Komisi XIII DPR dari Fraksi PDIP, Andreas Hugo Pareira, menyoroti keputusan pemerintah yang menganugerahi gelar pahlawan nasional untuk 10 tokoh, termasuk Presiden ke-2 RI, Soeharto. Menurutnya, proses penetapan Pahlawan Nasional harus berjalan secara transparan, inklusif, dan berbasis pada kriteria objektif yang diatur dalam undang-undang.“Masyarakat berhak mengetahui bagaimana sebuah nama diajukan, apa kontribusi yang menjadi dasar pengakuan, dan sejauh mana peran tersebut memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi bangsa dan negara,” ujar Andreas kepada wartawan, Senin, 10 November.Andreas juga menilai pemerintah perlu memastikan prosesnya terbuka dan akuntabel agar tidak menimbulkan tafsir politis. "Jangan sampai pemberian gelar Pahlawan Nasional hanya demi kepentingan politik atau kepentingan kelompok tertentu karena akan mencederai rasa keadilan bagi rakyat Indonesia,” kata Andreas.Menurut Andreas, penghargaan semacam ini seharusnya bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga membangun kesadaran baru tentang nilai-nilai perjuangan yang relevan bagi masa depan Indonesia. “Pahlawan nasional bukan hanya soal masa perjuangan kemerdekaan, tapi juga simbol moral bangsa,” ucapnya.Andreas menyebut, di era modern ini, Pahlawan Nasional harus bisa mencerminkan perlawanan terhadap tantangan bangsa meliputi kemiskinan, korupsi, disinformasi, dan ketimpangan sosial. Ia pun mempertanyakan apakah Soeharto memenuhi kriteria tersebut atau tidak. “Lantas apakah Soeharto merepresentasikan simbol-simbol perlawanan terhadap tantangan-tantangan tersebut, atau justru sebaliknya?” katanya.Andreas pun mengingatkan bangsa yang besar bukan bangsa yang menutupi masa lalunya, tetapi yang berani belajar dari seluruh lapisan sejarahnya. "Menghargai jasa tokoh bangsa harus dilakukan dengan semangat refleksi dan tanggung jawab, bukan glorifikasi!” katanya.Andreas juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil, akademisi, dan sejarawan dalam proses seleksi gelar Pahlawan Nasional agar penghargaan ini memiliki legitimasi sosial yang kuat. Menurutnya, setiap nama yang diangkat harus melalui verifikasi dokumenter, telaah akademik, serta uji publik agar penghargaan ini benar-benar mencerminkan kehendak kolektif bangsa, bukan keputusan elitis yang bersifat simbolik.“Sudah berapa banyak penolakan dari kelompok masyarakat bahkan dari rakyat Indonesia sendiri terhadap pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto. Tapi Pemerintah seperti tuli dan mengabaikan,” sambungnya.Andreas menyatakan, pemberian gelar Pahlawan seharusnya menjadi refleksi kehidupan berbangsa yang sehat, bukan sumber perpecahan. Ia menekankan, bangsa Indonesia harus mampu menempatkan sejarahnya secara utuh, menghargai jasa, sekaligus mengakui sisi kelamnya, untuk memastikan masa depan yang lebih matang secara moral dandemokratis. “Saya percaya, penghargaan terhadap pahlawan adalah bagian dari rekonsiliasi kebangsaan. Namun rekonsiliasi sejati hanya bisa lahir dari kejujuran sejarah, bukan dari penghapusan jejak masa lalu. Tugas kita adalah memastikan penghormatan ini menjadi jembatan bagi persatuan bangsa,” lanjutnya.Andreas mengatakan pihaknya akan menjalankan fungsi pengawasan dan memberikan ruang bagi aspirasi publik dalam isu-isu sejarah dan kebangsaan seperti ini.Pihaknya akan memastikan setiap kebijakan penghargaan negara tetap berpijak pada prinsip keadilan sejarah, keutuhan nasional, dan pembentukan karakter bangsa.“Pemberian gelar pahlawan harus menjadi momen untuk menyatukan semangat bangsa, bukan membelahnya. Karena pahlawan sejati adalah mereka yang tidak hanya berjuang untuk masa lalu, tetapi memberi inspirasi moral untuk masa depan Indonesia yang adil, kuat, dan berdaulat,” pungkasnya.