Ketimbang Redenominasi, Lebih Baik Perbaiki Fundamental Ekonomi

Wait 5 sec.

Petugas perbankan menunjukkan uang dolar AS dan uang rupiah. (ANTARA /Reno Esnir/tom/aa)JAKARTA – Pemerintah kembali menyiapkan langkah redenominasi atau penyederhanaan digit rupiah, namun ekonom meminta pemerintah berhati-hati memberlakukan redenominasi ini.Rencana redenominasi atau penyederhanaan mata uang rupiah kembali mengemuka setelah Menteri Keuangan Purbaya Yushi Sadewa menetapkan Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029 dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025.Redenominasi adalah penyederhanaan penulisan nominal suatu mata uang dengan menggunakan skala baru tanpa mengurangi nilai tersebut terhadap harga barang atau jasa.Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Denny Prakoso mengatakan, redenominasi dilakukan sebagai langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi transaksi, memperkua kredibilitas rupiah, dan mendukung modernisasi sistem pembayaran nasional. Sementara itu, alasan Menkeu Purbaya melakukan redenominasi rupiah adalah efisiensi perekonomian.Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa usai menjadi pembicara di Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Senin (10/11/2025). (ANTARA/Willi Irawan/aa)Bukan yang PertamaRencana redenominasi sebenarnya sudah bergulir sejak 2010, hingga akhirnya Menteri Keuangan Agus Martowardjo mengusulkan RUU tentang Perubahan Harga Rupiah alias redenominasi ke DPR, dan masuk menjadi program legislasi nasional atau prolegnas prioritas 2013.Jika jadi, rupiah bukan mata uang pertama yang terkena redenominasi. Di Afrika, Zimbabwe dan Mozambik sudah lama melakukan redenominasi atau memangkas jumlah nol dari mata uang. Alasannya saat itu karena inflasi tidak terkendali.Zimbabwe Gold, atau ZiG, diperkenalkan pada April 2024 untuk menggantikan dolar Zimbabwe keempat. Digunakan sejak 1980, dolar Zimbabwe nilainya terus merosot.Sepanjang masa, hiperinflasi di Zimbabwe membuat nilai dolar mereka menjadi unit mata uang bernilai paling rendah di dunia. Akibatnya, mata uang tersebut diredenominasi sebanyak tiga kali, yaitu pada 2006, 2008, dan 2009, dengan denominasi sampai mata uang kertas 100 dolar triliun dikeluarkan.Berdasarkan laporan pada 3 November 2025, Reuters menyebut inflasi Zimbabwe terus dipangkas. Penggunaan mata uang baru, zig, disebut ikut berkontribusi menurunkan inflasi.Seorang wanita memegang uang kertas dan koin Zimbabwe baru yang disebut ZiG, di jalan-jalan Harare, Zimbabwe, Selasa, 30 April 2024. (X)Mozambik, negara yang bertetangga dengan Zimbabwe, juga menerapkan redenominasi. Pemerintah Mozambik memangkas tiga nol dari mata yang mereka, metical, pada 1 Juli 2006. Dengan begitu, 1.000 metical lama setara 1 metical baru.Redenominasi juga terjadi di Benua Amerika, salah satunya peso Argentina. Alasan Argentina melakukan redenominasi juga sama dengan negara lain, yaitu inflasi tinggi tidak terkendali.Negara lain yang juga melakukan redenominasi karena inflasi tinggi selama lebih dari 30 tahun adalah Turkiye. Nilai tukar sempat mencapai 1,3 juta lira per 1 dolar AS di awal 2000-an. Pada 2005, pemerintah menghapuas enam nol dari mata uangnya dan memperkenalkan lira baru.Langkah redenominasi ini dianggap berhasil memulihkan stabilitas moneter meski beberapa tahun terakhir inflasi kembali meningkat.Risiko RedenominasiMeski beberapa negara dianggap berhasil, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menegaskan pemerintah harus ekstra hati-hati dalam melakukan redenominasi. Ia mencontohkan Brasil dan Ghana yang justru mengalami hiperinflasi usai menerapkan kebijakan serupa.Menurutnya, akan butuh waktu cukup lama, sekitar delapan sampai 10 tahun untuk mengimplementasikan redenominasi. Sehingga, target dua sampai tiga tahun yang dibilang Menkeu Purbaya menurut Bhima, kurang tepat.“Perlu masa transisi persiapan nominal uang baru, hingga pertukaran uang lama di BI dan cabang bank. Kalau pembahasan RUU selesai 2027 terlalu singkat. Jadi bukan waktu yang tepat,” kata Bhima ketika dihubungi VOI.Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada perbaikan fundamental ekonomi ketimbang melakukan redenominasi rupiah. (VOI/Bambang E Ros)Ada sejumlah risiko yang perlu diantisipasi jika pemerintah melakukan redenominasi rupiah, di antaranya kecenderungan pembulatan harga ke atas. Contohnya, barang yang sebelumnya Rp9.000 berpotensi dibulatkan menjadi Rp10, bukan Rp9.Penjual, ucap Bhima cenderung menaikkan harga pembulatan ke nominal paling atas, atau disebut opportunistic rounding dalam istilah ekonomi. Pembulatan ke atas dilakukan agar penjual bisa pertahankan margin saat redenominasi. Imbasnya, inflasi yang terlalu tinggi akibat redenominasi bisa melemahkan daya beli masyarakat.“Padahal konsumsi rumah tangga merupakan motor utama pertumbuhan. Apakah mencapai delapan persen pertumbuhan bisa pakai redenominasi? Sepertinya belum bisa,” tutur Bhima.Perbaikan Fundamental EkonomiAlih-alih melakukan redenominasi, pemerintah seharusnya fokus pada perbaikan fundamental ekonomi jika memang ingin menguatkan nilai rupiah. Di antaranya adalah peningkatan kinerja ekspor non-komoditas, menurunkan biaya logistik, daya saing terutama SDM dan inovasi, serta kebijakan pajak yang pro kelas menengah.Jika redenominasi benar dilakukan, maka pemerintah wajib melakukan sosialisasi secara masif. Penghapusan nol dalam mata uang rupiah ini mungkin tak menjadi masalah besar bagi warga di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Tapi tidak dengan warga lainnya.Bhima mengatakan, 90 persen lebih transaksi di Indonesia masih menggunakan uang tunai, meski pemanfaatan QRIS dan transaksi digital meningkat.“Gap sosialisasi bisa menyebabkan kebingungan administrasi terutama di pelaku usaha ritel karena ribuan jenis barang perlu disesuaikan pembukuannya. Penukaran uang tunai dengan nominal baru juga kompleks, berapa banyak yang antre di bank?” pungkasnya.