gambar cover oleh widiana Lestari Ledakan di sekolah Jakarta Utara bukan sekadar tragedi. Dari kacamata sosiologi, peristiwa itu adalah tanda bahwa ruang pendidikan kita sedang kehilangan fungsi sosialnya: tempat belajar yang aman, empatik, dan manusiawi.Tragedi ini mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan hanya soal kurikulum, nilai ujian, atau akreditasi sekolah. Ia adalah sistem sosial yang seharusnya menumbuhkan manusia. Ketika sekolah justru menjadi lokasi ledakan dan ketakutan, maka kita perlu mengajukan pertanyaan paling mendasar: apakah sekolah kita masih memanusiakan siswa-siswanya?Sekolah yang Tak Lagi Amanilustrasi dari sekolah yang tidak menjai tempat yang lagi aman, oleh widiana lestariPeristiwa ledakan di masjid sekolah negeri di Jakarta Utara pada Jumat (7/11) mengguncang banyak pihak. Bukan hanya karena jumlah korban yang mencapai puluhan, tetapi karena tempat kejadian: sekolah simbol dari pengetahuan dan keamanan sosial.Dalam sosiologi pendidikan, sekolah berfungsi sebagai agen sosialisasi sekunder yang menanamkan nilai, norma, dan keteraturan masyarakat. Di sana anak belajar menjadi warga negara, memahami struktur sosial, dan berlatih hidup bersama. Namun, realitas hari ini justru memperlihatkan bahwa sekolah telah menjadi ruang yang dingin dan menekan.Guru terbebani oleh administrasi dan target kurikulum, siswa diburu oleh angka-angka, sementara komunikasi emosional di antara keduanya semakin renggang. Sekolah kehilangan kehangatan, kehilangan kemanusiaannya. Ia tidak lagi menjadi tempat tumbuh, melainkan tempat bertahan.Tidak heran jika banyak pelajar mengalami stres, depresi, bahkan frustrasi sosial. Kasus kekerasan, perundungan, dan tekanan mental meningkat bukan hanya di kota besar, tetapi juga di daerah-daerah. Di balik gedung sekolah yang megah, banyak anak sebenarnya sedang kesepian.Remaja dan Krisis Keterhubunganilustrasi remajadan krisis keterhubungan oleh widiana LestariSosiolog Émile Durkheim memperkenalkan konsep anomie, yakni kondisi ketika individu kehilangan arah karena nilai-nilai sosial yang menuntun hidup mereka mulai runtuh. Dalam konteks modern, anomie ini menjangkiti generasi muda kita.Anak-anak dan remaja tumbuh dalam dunia yang kompetitif, serba cepat, dan penuh tuntutan. Mereka diharapkan berprestasi, berperilaku baik, dan tampil sempurna di sekolah, di media sosial, bahkan di rumah. Namun di balik citra itu, banyak dari mereka tidak punya ruang untuk didengar, apalagi dimengerti.Remaja sedang berada di fase pencarian identitas. Mereka butuh pengakuan, penerimaan, dan kasih sayang sosial. Ketika kebutuhan itu tidak terpenuhi, mereka bisa kehilangan arah. Rasa frustrasi yang dipendam lama-lama bisa berubah menjadi kemarahan, dan kemarahan itu bisa meledak menjadi tindakan ekstrem baik dalam bentuk kekerasan verbal, fisik, maupun simbolik.Kasus bom di sekolah, jika ditelusuri lebih dalam, mungkin bukan sekadar tindakan “jahat” seorang individu. Ia bisa menjadi bentuk ekspresi dari keterasingan yang dalam, dari perasaan bahwa dirinya tidak pernah benar-benar dilihat.Bullying: Kekerasan yang DinormalisasiBullying di sekolah bukan hal baru, tapi yang lebih berbahaya adalah bagaimana masyarakat menormalisasi kekerasan itu. Kalimat seperti “namanya juga anak-anak” atau “biar kuat mentalnya” sering dijadikan pembenaran.Dalam sosiologi, Pierre Bourdieu menyebut bentuk kekerasan ini sebagai symbolic violence kekerasan yang tidak meninggalkan luka fisik, tapi menanamkan rasa rendah diri dan kehilangan makna pada korban. Kekerasan ini bisa muncul dalam bentuk ejekan, pengucilan, hinaan, atau bahkan lelucon yang merendahkan.Ketika kekerasan simbolik dibiarkan, ia menjadi budaya. Anak-anak belajar bahwa menjadi kuat berarti menindas yang lemah, bahwa menjadi populer berarti bisa mempermalukan yang berbeda. Budaya seperti ini menciptakan rantai panjang trauma sosial.Jika benar pelaku dalam kasus ini adalah korban perundungan, maka tindakannya bukan hanya kejahatan individual, tetapi juga sinyal kegagalan kolektif. Ia adalah cermin dari sistem pendidikan dan masyarakat yang gagal menciptakan ruang aman bagi setiap anak untuk menjadi dirinya sendiri.Sekolah Kehilangan Fungsi SosialnyaMenurut Talcott Parsons, sekolah merupakan miniatur masyarakat yang berfungsi menjaga keseimbangan sosial melalui internalisasi nilai, solidaritas, dan peran. Sekolah seharusnya membangun social integration keterikatan sosial yang harmonis antara individu dan komunitas.Namun, kini banyak sekolah justru kehilangan fungsi sosial itu. Ia menjadi institusi administratif, bukan komunitas empatik. Guru dan murid terjebak dalam relasi formal yang dangkal, lebih banyak berurusan dengan laporan, ujian, dan proyek, daripada percakapan tentang kehidupan.Ketiadaan ruang diskusi, bimbingan konseling yang tidak berfungsi, serta minimnya pendidikan karakter yang kontekstual membuat banyak siswa merasa sendirian di tengah keramaian. Mereka tidak tahu harus berbicara pada siapa ketika sedih, tertekan, atau marah.Dalam perspektif sosiologi, ini adalah bentuk disintegrasi sosial, retaknya hubungan antarindividu dalam sistem sosial yang seharusnya saling menopang.Teknologi dan Kesepian KolektifKemajuan teknologi di dunia pendidikan membawa dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia membuka akses belajar tanpa batas; di sisi lain, ia menumbuhkan kesepian baru.Zygmunt Bauman menyebut masyarakat modern sebagai liquid modernity dunia yang cair, di mana hubungan manusia menjadi rapuh dan cepat berubah. Di media sosial, anak-anak membangun identitas semu yang sering kali berbeda dari dirinya yang sebenarnya.Mereka bisa punya ribuan pengikut, tapi tidak satu pun tempat aman untuk bercerita. Dunia digital menciptakan connected loneliness keterhubungan semu yang justru memperdalam kesepian.Lebih parah lagi, teknologi sering menjadi saluran baru bagi kekerasan sosial. Cyberbullying tumbuh subur karena tidak ada batas ruang dan waktu. Tanpa literasi digital yang berlandaskan empati, teknologi hanya memperkuat keterasingan, bukan membangun solidaritas.Membangun Ruang Empati di SekolahSolusi dari persoalan ini tidak bisa sekadar teknis. Kita tidak akan menyelesaikan masalah kekerasan hanya dengan memasang CCTV atau memperketat keamanan. Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma: dari kontrol menjadi empati, dari disiplin kaku menjadi dialog sosial.Beberapa langkah penting yang perlu dilakukan antara lain:Program anti-bullying yang hidup bukan sekadar formalitas atau spanduk, tapi program yang melibatkan siswa secara aktif, memberi ruang bagi korban untuk bersuara, dan mengajarkan empati sosial.Guru sebagai pendengar, bukan penguasa. Guru perlu mendapatkan pelatihan psikososial untuk memahami tanda-tanda kesepian, tekanan mental, dan perubahan perilaku siswa.Konseling yang manusiawi. Bimbingan konseling jangan hanya formalitas administratif. Harus menjadi tempat aman bagi siswa berbagi tanpa takut dihakimi.Kurikulum yang memberi ruang bagi percakapan. Pendidikan harus menumbuhkan kesadaran sosial, bukan sekadar hafalan akademik. Diskusi tentang nilai, moral, dan kemanusiaan perlu dimasukkan ke dalam kegiatan belajar.Sekolah harus kembali menjadi komunitas empati, bukan pabrik nilai. Ruang di mana setiap anak merasa diakui, dihargai, dan punya tempat untuk tumbuh.Pelajaran dari Perspektif SosiologiSosiologi mengajarkan kita untuk tidak melihat masalah sosial sebagai kesalahan individu semata. Tindakan ekstrem seperti bom di sekolah bukan hanya soal “pelaku”, tapi juga soal sistem sosial yang membentuknya.Masyarakat modern sering terjebak dalam pandangan individualistik menganggap bahwa yang bermasalah adalah orangnya, bukan lingkungannya. Padahal, perilaku menyimpang (deviant behavior) selalu berakar pada konteks sosial.Ketika seorang anak bisa membawa bahan peledak ke sekolah, itu berarti ada banyak pintu sosial yang tertutup: pintu komunikasi di keluarga, pintu kepedulian di sekolah, dan pintu solidaritas di masyarakat.Kita tidak sedang menghadapi “anak jahat”, tetapi generasi yang tumbuh dalam kesunyian sosial. Mereka hidup di tengah kebisingan teknologi, tapi tidak punya ruang untuk bicara dari hati ke hati.Penutup: Dari Tragedi ke Refleksi SosialTragedi ledakan di sekolah harus kita pahami bukan sebagai akhir, tapi sebagai alarm sosial yang harus segera ditanggapi. Kita tidak boleh berhenti pada rasa takut atau kemarahan, karena itu hanya reaksi sesaat. Yang lebih penting adalah refleksi kolektif: apa yang salah dalam sistem kita, dan bagaimana memperbaikinya.Sekolah perlu kembali menjadi ruang yang aman bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional dan sosial. Guru perlu menjadi pengasuh sosial, bukan sekadar pengajar akademik. Dan masyarakat perlu ikut menciptakan budaya peduli, bukan hanya menonton dari jauh.Pendidikan sejatinya bukan sekadar mengajar, tetapi memanusiakan manusia. Ia seharusnya membangun empati, kesadaran, dan rasa memiliki. Selama sekolah belum menjadi rumah bagi semua, kita masih punya pekerjaan besar: memperbaiki cara kita memahami manusia di balik seragam itu.