Kelompok aksi sosial di tengah keramaian, mengenakan masker dan membawa poster, mencerminkan semangat solidaritas dan kepedulian terhadap isu-isu global di era digital yang penuh tantangan dan ketimpangan. Sumber foto: https://pixabay.com/ Di dalam ruang kelas, kita diasah untuk menjadi warga global yang dicekoki dengan pemikiran yang mulia: tentang perdamaian abadi, solidaritas tanpa syarat, dan ikatan kemanusiaan universal yang diklaim menyatukan kita semua. Namun, di dunia nyata justru menghantam kita dengan sebuah paradoks yang pahit: brutalnya konflik bersenjata di layar kaca, kebijakan imigrasi yang dikte oleh ketakutan, serta narasi kebencian berbasis etnis dan agama yang menyebar melalui media digital.Inilah paradoks zaman modern: sementara UNESCO gencar mempromosikan Global Citizenship Education (GCED) untuk menciptakan generasi muda yang berpikiran terbuka, jurang realita justru menciptakan sebuah keadaan di mana kita dipaksa untuk hidup dalam dua alam pikiran yang berbeda—satu alam yang di dalamnya ada persatuan umat manusia, dan alam lainnya yang setiap hari mengingatkan tentang perpecahan, prasangka, dan konflik. Karena itu, kosmopolitanisme dalam pendidikan bukan hanya soal teori, tetapi menjadi ujian nyata bagi manusia untuk menjembatani cita-cita mulia dengan realitas dunia yang terpecah-belah.Kosmopolitanisme pada hakikatnya bukan sekadar wacana tentang toleransi, melainkan merupakan sebuah visi yang berkeyakinan bahwa setiap individu, terlepas dari sekat-sekat kewarganegaraan, keyakinan agama, identitas etnis, atau status sosial, memiliki martabat yang melekat dan menjadi bagian dari ikatan kemanusiaan yang universal. Visi ini bercita-cita mewujudkan sebuah tatanan kemanusiaan yang berkeadilan, di mana hak dan kesejahteraan seseorang tidak lagi dibatasi oleh kebetulan tempat lahirnya, melainkan dijamin oleh rasa solidaritas kita sebagai sesama penghuni planet yang sama.Global Citizenship Education (GCED) yang diusung oleh UNESCO merupakan perwujudan praktis dari semangat kosmopolitanisme dalam ranah pendidikan. Inisiatif ini secara khusus berupaya meningkatkan sensitivitas dan tanggung jawab terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang bersifat transnasional, seperti kemiskinan struktural, krisis perubahan iklim, ketidakadilan ekonomi, dan upaya-upaya perdamaian global. Hanya saja, ketika GCED berusaha dengan gigih menciptakan generasi yang berpikir global dan bertindak untuk kebaikan bersama, terdapat pertanyaan kritis yang tak terelakkan. Apakah mungkin nilai-nilai ini bisa berakar ketika realitas yang dihadapi justru mengajarkan hal yang berlawanan? Seperti kompetisi tanpa batas, proteksionisme, dan mentalitas "kita versus mereka".Kontradiksi yang mendasar ini bukan hanya sekadar tantangan belaka, melainkan secara lebih dalam mempertanyakan validitas dan kesanggupan pendidikan global itu sendiri dalam menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan universal yang coba diatribusikannya. Nilai-nilai seperti empati tanpa batas, keadilan global, dan tanggung jawab bersama seringkali berakhir sebagai konsep abstrak yang indah di atas kertas, namun rapuh dan sulit diwujudkan dalam praktik ketika sistem dunia yang ada masih secara struktural didominasi oleh logika kepentingan nasional yang sempit, kompetisi geopolitik, dan kesenjangan sosial-ekonomi yang menganga. Pada akhirnya, GCED berisiko menjadi sebuah proyek moral yang terisolasi.Paradoks nilai dalam GCED tampak jelas ketika idealisme pendidikan berhadapan dengan realitas dunia. Pertentangan pertama terlihat dalam nilai perdamaian. Di kelas, kita diajari bahwa perdamaian dan dialog antarbudaya adalah fondasi hidup bermasyarakat. Namun realitas global berkata lain—berbagai konflik bersenjata, kekerasan etnis, dan ujaran kebencian di internet menunjukkan bahwa kekerasan telah menjadi norma politik dan budaya. Sementara pendidikan mempromosikan empati global, media dan politik justru mengukuhkan kebencian. Situasi ini menciptakan kebingungan moral bagi kita generasi muda: mengapa dunia justru mengingkari nilai-nilai yang diajarkan?Kontradiksi kedua muncul dalam isu kesetaraan. GCED mengajarkan keadilan sosial dan hak yang sama bagi semua orang. Namun kenyataannya, ketimpangan struktural antara negara maju dan berkembang justru semakin melebar. Yang ironis, pendidikan global tentang kesetaraan ini justru paling mudah diakses oleh kelompok yang sudah memiliki privilege. Banyak orang yang belajar menjadi "warga dunia" justru tidak pernah mengalami langsung ketidakadilan global yang sebenarnya. Akibatnya, wacana tentang kesetaraan berisiko menjadi sekadar simbol status bagi kalangan tertentu, bukan sebagai perjuangan nyata.Kontradiksi ketiga dalam paradigma pendidikan global saat ini terletak pada tarik-menarik yang intens antara solidaritas global dan nasionalisme. Di satu sisi, pendidikan kini aktif menanamkan pentingnya kerja sama internasional untuk mengatasi masalah bersama yang lintas batas, seperti perubahan iklim, krisis pengungsi, dan pemerataan vaksin. Kita dididik untuk menjadi warga dunia yang memiliki empati dan rasa tanggung jawab terhadap komunitas global. Namun di sisi lain, realitas politik di banyak negara justru bergerak ke arah yang berlawanan, dengan pemerintah mengutamakan kebijakan tertutup, proteksionisme ekonomi, dan nasionalisme sempit yang sering dikemas dalam slogan "negara sendiri yang utama."Kepentingan dalam negeri, seperti stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, sering kali dianggap lebih penting dan mendesak daripada tanggung jawab kolektif terhadap isu-isu global. Akibatnya, generasi muda dihadapkan pada disonansi kognitif yang nyata: mereka disiapkan untuk dunia yang saling terhubung dan kooperatif, tetapi menyaksikan para pemimpin mereka membangun tembok. Jurang antara nilai yang diajarkan dan realitas yang diterapkan ini tidak hanya mempersulit penyelesaian masalah global, tetapi juga berpotensi menimbulkan kekecewaan dan sikap sinis terhadap proses politik dan institusi multilateral.Ketiga kontradiksi ini menunjukkan betapa lebar kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kenyataan global. Pendidikan berusaha menyalakan lilin kemanusiaan, namun upaya ini seringkali dikalahkan oleh kepentingan politik dan ekonomi dunia yang lebih dominan. Tantangan terbesar bagi GCED bukan terletak pada materi ajarannya, melainkan pada komitmen dan keberanian untuk mewujudkan nilai-nilai luhurnya dalam realitas dunia yang sulit berubah. GCED dihadapkan pada paradoks mendasar: apakah pendidikan mampu mewujudkan kosmopolitanisme secara nyata atau hanya sekadar wacana tentang "warga dunia"? Nilai-nilai seperti empati dan keadilan menjadi tidak berarti jika hanya diajarkan secara teoritis tanpa praktik dalam kehidupan pendidikan.Pendidikan yang authentik harus mampu membentuk seorang individu menjadi pribadi yang kritis terhadap ketidakadilan, empatik terhadap keragaman budaya, dan berani membela kemanusiaan meski bertentangan dengan realitas dunia saat ini. GCED tidak akan memiliki arti jika hanya menjadi wacana moral tanpa implementasi nyata. Nilai-nilai dalam GCED baru akan berarti ketika sekolah dapat menjadi lingkungan tempat siswa secara aktif belajar menjadi pribadi yang empatik, berani, dan merasa bertanggung jawab terhadap seluruh umat manusia, melampaui batas-batas nasional. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya berperan meneruskan nilai-nilai, tetapi juga menjadi tempat pembentukan karakter global yang memupuk kesadaran akan kesatuan umat manusia.Pada akhirnya, GCED bukan hanya sekedar program UNESCO, melainkan sebuah panggilan moral untuk mengingatkan kita bahwa menjadi warga dunia berarti menjadi manusia yang peka terhadap penderitaan orang lain, adil dalam bersikap, dan berani membela nilai-nilai kemanusiaan universal. Di tengah realitas dunia yang semakin terpolarisasi oleh sikap intoleransi dan kesenjangan, pendidikan mungkin menjadi satu-satunya sarana yang dapat merekatkan kembali kepingan-kepingan kemanusiaan kita yang terpecah.Menjadi warga dunia tidak berarti menghapus identitas nasional, melainkan memperluasnya—dengan menyadari bahwa kita adalah bagian dari komunitas manusia yang lebih luas. Pasalnya, pada akhirnya kita semua hidup dalam planet yang sama, menghirup udara yang sama, dan menghadapi tantangan masa depan yang sama. Sebagaimana disampaikan Nelson Mandela, pendidikan adalah senjata paling powerful untuk mentransformasi dunia. Oleh karena itu, sudah seharusnya pendidikan menjadi tempat di mana visi baru tentang dunia mulai diwujudkan—bukan melalui permusuhan, melainkan melalui semangat kemanusiaan yang inklusif.