Ilustrasi (Igor Omilaev / Unsplash)“Bantulah kreator, berikan dukungan finansial agar kreativitas mereka berkembang, berikan mereka kesempatan agar bakat mereka semakin cemerlang.” Musisi grup K-Pop Kim Nam-joon atau RM BTS menyampaikan permintaan tersebut dalam pidatonya di forum APEC CEO Summit di Korea Selatan. Pidato RM BTS tersebut menjadi relevan buat Indonesia karena pada saat yang sama mulai bergulir wacana sertifikasi influencer dan kreator konten di Indonesia.RM dalam pidatonya pada 29 Oktober 2025 tersebut menekankan kreativitas dan masa depan kreator sangat bergantung pada kebijakan yang dirumuskan para pemimpin politik dan bisnis. “Saat berinvestasi pada masa depan, selain ekonomi, pertimbangkan juga budaya,” ujarnya.Kreator yang dimaksud RM mungkin lebih mengarah kepada skala besar seperti sineas dan musisi, namun pada era digital semua orang dengan akses ke media digital dapat menjadi kreator konten. Karenanya, pidato RM tersebut menjadi relevan ketika saat ini tengah berkembang tren penyusunan kebijakan tentang kreator ke dua arah yang berbeda, yaitu perlindungan yang lebih luas dan sebaliknya pengawasan dan pembatasan terhadap kreator konten.Perlindungan terhadap kreator: penting tapi langkaIlustrasi kreator (BandLab / Unsplash)Wacana perlindungan terhadap kreator mencuat setelah pemerintah Malaysia mensahkan Undang-undang Pekerja Gig pada Agustus 2025. Implikasi utama dari undang-undang tersebut adalah pengakuan hukum bahwa di pasar tenaga kerja, selain karyawan dan tenaga kontrak, juga terdapat pekerja gig mulai dari pengemudi taksi daring, pekerja lepas, hingga pekerja kreatif seperti kreator konten.Undang-undang tersebut mewajibkan pekerjaan didasari pada kontrak tertulis tentang ruang lingkup pekerjaan. Peraturan tersebut juga berisi ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa.Pengakuan secara hukum terhadap kreator konten seperti di Malaysia memberikan kekuatan secara legal ketika mereka berurusan dengan pemerintah, platform, brand, hingga institusi finansial seperti perbankan. Jika kreator mendapat diakui mereka berpeluang mendapat kepastian hukum dan juga program insentif seperti dalam hal urusan pajak atau administrasi kependudukan.Pengakuan tersebut juga memperkuat posisi kreator ketika berhadapan dengan pihak swasta. Perusahaan platform, misalnya, tidak dapat secara sepihak membekukan atau menutup akun seorang kreator dan proses sengketa dengan platform tidak dijalankan secara internal oleh perusahaan tapi dapat difasilitasi oleh mediasi sehingga prosesnya lebih transparan. Lalu dalam kerja sama bisnis dengan brand dan agensi, kewajiban kontrak memberikan kepastian mengenai spesifikasi pekerjaan dan pembayaran.Kreator juga perlu mendapatkan proteksi akan hak terhadap karyanya. Tak jarang hasil kerja seorang kreator berskala kecil diunggah ulang oleh akun agregator atau homeless media tanpa izin. Seringkali konten tersebut bisa mendapatkan jumlah penonton atau engagement lebih tinggi, namun kreator asli tidak mendapatkan manfaat atau keuntungan dari pembajakan konten tersebut.Masalah lain yang kerap dihadapi kreator konten yang memerlukan perhatian para pengambil kebijakan adalah berbagai bentuk gangguan. Kreator karena karyanya acap kali menjadi korban perundungan siber, ujaran kebencian, pelecehan, dan doxxing (pembocoran data pribadi).Namun perspektif perlindungan seperti inisiatif pemerintah Malaysia tadi masih relatif jarang. Bahkan kreator konten lebih sering luput dari aturan tentang individu yang mata pencahariannya bergantung pada platform digital. Undang-undang Pekerja Platform di Singapura, misalnya, lebih mengarah kepada pengemudi taksi online atau pihak yang memiliki kontrak kerja dengan platform tanpa menyebut secara khusus kreator konten yang penghidupannya bergantung pada platform.Sebaliknya, wacana pengawasan terhadap kreator konten justru lebih cepat berkembang. Otoritas internet Administrasi Ruang Siber China (CAC) pada 25 Oktober 2025 baru saja menerbitkan aturan yang mengatur lebih ketat terhadap konten dunia maya dan kreatornya.Pengawasan terhadap kreator: sertifikasi influencer hingga perizinan kontenIlustrasi media sosial (Panos Sakalakis / Unsplash)Mungkin Anda pernah melihat di linimasa media sosial tentang aturan kredensial terhadap kreator konten dan influencer seperti di China dan Singapura. China, misalnya, baru saja menerapkan aturan yang mewajibkan adanya lisensi, sertifikasi, atau kredensial lain jika ingin membuat dan menyebarkan konten tentang topik seperti keuangan, kesehatan, kedokteran, hukum, dan pendidikan.Ketika menyebarkan konten, kreator harus menyertakan bukti kualifikasinya untuk membahas topik-topik tersebut, sedangkan platform diwajibkan memverifikasi kualifikasi tersebut. Alasan utama yang digaungkan menjadi dasar kebijakan tersebut adalah pencegahan penyebaran misinformasi.Sementara itu di Singapura, pembuat konten tentang politik dan agama memerlukan izin sesuai Undang-undang Penyiaran 1994. Penyedia konten politik dan agama diwajibkan mendaftar ke otoritas Infocomm Media Development Authority.Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Komdigi Bonafasius Wahyu Pudjianto menyatakan secara internal diskusi aturan “sertifikasi influencer” tersebut sedang dikaji. Sedangkan anggota DPR Anggota Komisi I DPR RI Junico Siahaan atau Nico Siahaan mendorong pemerintah agar membuat aturan agar para influencer seperti kreator konten tentang keuangan memiliki sertifikasi khusus.Selain wacana tentang sertifikasi influencer tersebut, kreator konten juga kemungkinan besar dapat terdampak rencana revisi Undang-undang Penyiaran jika peraturan baru tersebut jadi meluas sehingga mencakup rupa-rupa penyiaran melalui platform digital seperti media sosial.Kreator: aset budaya yang butuh dukungan dan perlindunganIlustrasi kreator (BandLab / Unsplash)Aktivitas kreator konten di platform digital tentu saja perlu diatur demi mencegah adanya bad actors, yakni kreator yang aktivitasnya membahayakan pengguna lain atau terlibat dalam tindak kriminal. Namun ketika membahas tentang kerangka hukum untuk kreator, perlu ada keseimbangan antara pengawasan dan perlindungan.Sebuah studi tentang peraturan perundangan terkait pekerja gig di Indonesia menemukan kerangka aturan hukum di Indonesia belum menyentuh isu perlindungan hak-hak pekerja. Penelitian berjudul Legal Protections for Gig Workers: A Comparative Socio-legal Study of Indonesia and India yang dipublikasikan pada Oktober 2025 di jurnal The Indonesian Journal of Socio-Legal Universitas Indonesia tersebut menunjukkan kerangka aturan masih perlu dikembangkan agar mencakup kewajiban hukum dari para pemangku kepentingan untuk melindungi kesejahteraan pekerja gig.Kreator konten berhak mendapatkan perlindungan yang memadai karena punya kontribusi besar terhadap ekonomi. Perputaran uang di industri konten yang melibatkan kreator konten dapat mencapai triliunan rupiah yang terutama sekali berasal dari dana yang dikeluarkan brand dan platform kepada pemengaruh dan kreator.Selain aspek ekonomi, ketika bicara tentang perlindungan terhadap kreator maka kita juga memproteksi kebebasan berbicara, berekspresi, dan berkreasi publik di ruang digital. Dialog dan riset tentang kebutuhan kreator, terutama di skala nano hingga meso, diperlukan untuk mempelajari kebutuhan mereka untuk merumuskan kebijakan yang mendukung kreativitas dan memproteksi karya mereka.Saat merumuskan peraturan dan ketentuan tentang kreator konten hendaknya berawal dari perspektif yang melihat mereka sebagai aset budaya. Seperti disampaikan RM, kreator sepertinya dapat berkontribusi besar terhadap negara.Ketika kreator berkembang, kata RM, maka akan muncul hasil kreasi indah yang baru, serta toleransi dan solidaritas yang melintasi batas-batas budaya dan negara. “Kebijakan Anda adalah kanvas dan ruang bermain bagi kreator (untuk berkembang),” kata RM.