Mempertanyakan Ruang Aman di Sekolah saat Tren Perundungan Terus Meningkat

Wait 5 sec.

Fenomena bullying atau perundungan di lingkungan sekolah sulit diberantas karena bersifat kompleks dan disebabkan banyak faktor. (Unsplash)JAKARTA - Kasus bullying atau perundungan di institusi pendidikan seolah tak ada habisnya. Peran orang tua dan sekolah sangat penting dalam mencegah maraknya perundungan di lingkungan sekolah. Insiden ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta pekan lalu masih menjadi perhatian khalayak, mengingat terduga pelaku ABH adalah siswa 17 tahun. Pasca-ledakan, mencuat kabar bahwa terduga pelaku merupakan siswa yang menjadi korban perundungan. Hal ini menunjukkan lingkungan sekolah belum sepenuhnya menjadi rumah kedua yang aman bagi semua warga sekolah. Meski belum dipastikan apakah pelaku benar korban perundungan, namun kasus seperti itu yang terjadi di lingkungan sekolah cukup sering menjadi pemberitaan media massa.Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2024 merilis laporan, setiap tahun sekitar 1 miliar anak berumur 2-17 tahun di seluruh dunia mengalami kekerasan, baik fisik, psikologis, seksual, maupun pengabaian.Anak yang mengalami perundungan dapat dilihat dari beberapa tanda, di antaranya nilai akademik yang menurun drastis, murung, dan semangat belajar berkurang. (Unsplash)Selain itu, satu dari tiga siswa melaporkan mengalami perundungan pada bulan sebelumnya. Bahkan, lebih dari tiga siswa terlibat dalam perkelahian fisik dengan temannya pada tahun sebelumnya. Yang menyedihkan, sebagian besar kekerasan terjadi di lingkungan pendidikan. Standar Penanganan Perundungan NihilKasus perundungan di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan dan kini menjadi salah satu isu serius bagi dunia pendidikan serta perlindungan anak. Berdasarkan keterangan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), terdapat kenaikan tajam kasus kekerasan di lingkungan pendidikan pada 2024. Di 2023, ada sebanyak 285 kasus perundungan. Angka ini menunjukkan lonjakan menjadi 573 kasus atau naik lebih dari 100 persen di tahun lalu.Dari total tersebut, sekitar 31 persen berkaitan langsung dengan perundungan. Angka ini memperlihatkan bahwa perundungan masih menjadi bentuk kekerasan yang paling dominan di sekolah.Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)melaporkan, sepanjang 2023 ada 3.800 kasus perundungan, dan hampir separuhnya terjadi di sekolah dan pesantren.Kemudian pada tahun 2024, lembaga ini menerima 2.057 pengaduan terkait perlindungan anak, dengan 954 kasus sudah ditindaklanjuti. Meski jumlah pengaduan menurun dibandingkan tahun sebelumnya, tren perundungan tetap konsisten tinggi dan menunjukkan bahwa sekolah masih menjadi ruang yang rentan bagi anak-anak.Amerika Serikat merupakan negara yang cukup sering menghadapi kasus penembakan atau serangan di sekolah, baik dengan pelaku adalah siswa atau warga sekolah maupun orang di luar sekolah. Dalam laporan UNESCO, dijelaskan bahwa kekerasan tidak hanya merusak mental tapi juga memengaruhi prestasi akademik kesejahteraan fisik korban. Kerugian ekonomi akibat kekerasan di sekolah per tahun diperkirakan mencapai 11 triliun dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp184 kuadriliun.Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto menuturkan fenomena perundungan sulit dibasmi sepenuhnya dari institusi pendidikan di Indonesia, maupun beberapa negara di dunia, karena sifatnya yang kompleks dan multifaktor. Kasandra menjelaskan sejumlah alasan yang membuat perundungan di institusi pendidikan sulit dihilangkan. Pertama, karena dinamika sosial dan psikologis. Perundungan, kata Kasandra, sering muncul dari perasaan iri, dendam, atau keinginan untuk mendominasi dalam kelompok sosial anak atau remaja."Pelaku mungkin meniru perilaku dari rumah atau media, sementara korban sering enggan melapor karena takut dianggap lemah atau dibalas," kata Kasandra kepada VOI.Fenomena perundungan yang berulang kali terjadi di lingkungan pendidikan juga disebabkan ketidakpahaman guru, siswa, bahkan orang tua dalam mengartikan perundungan. Masih banyak di antara kita yag mengartikan perundungan sebagai candaan atau bagian dari masa remaja sehingga tidak dianggap serius. Pentingnya Kehadiran Orang Tua Hal ini menciptakan budaya perundungan dinormalisasi terutama jika hanya verbal maupun online, bukan fisik. Ironisnya, dalam banyak kejadian, kasus perundungan diselesaikan dengan cara damai tanpa menyentuh akar permasalahan sehingga berpotensi menyuburkan kejadian serupa. Kasandra juga menyebut faktor lain seperti kekerasan di rumah, pegaruh teman sebaya, atau konten media seperti video kekerasan bisa memperburuk kasus perundungan. "Anak-anak meniru perilaku agresif dari lingkungan rumah, mediam atau teman sebaya yang memperkuat bullying," ucapnya. Hal lainnya yang juga dapat menyebabkan langgengnya perundungan di institusi pendidikan adalah, penanganan perundungan di sekolah tidak memiliki standar yang dapat dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan di Indonesia. Dalam banyak persoalan, utamanya di kalangan remaja, orang tua sering kali tidak hadir dan menemani tumbuh kembang anak dengan baik.Sejumlah peserta didik baru mengikuti upacara bendera saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMP Negeri 1 Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (15/7/2024). (ANTARA/Adeng Bustomi/Spt/aa)Sedangkan di sekolah, guru juga menanggung beban yang besar. Padahal lingkungan belajar yang aman memungkinkan siswa berkembang optimal dan tumbuh menjadi warga negara yang berdaya. Kasandra menjelaskan, hubungan orang tua dan anak sangat penting untuk mencegah perundungan. Orang tua perlu mengenali perilaku anak melalui komunikasi yang baik agar dapat memahami sikap dan perubahan yag terjadi. Orang tua perlu mengetahui tanda-tanda anak mengalami perundungan seperti penurunan nilai akademik secara drastis disertai sikap murung, semangat belajar berkurang, perubahan perilaku seperti menjadi pendiam atau mudah terpicu emosi.  Anak juga bisa mengalami gangguan tidur, menarik diri dari pergaulan, hingga sering malas ke sekolah. "Karena itu, orang tua harus peka terhadap setiap perubahan sikap anak agar dapat memberikan dukungan dan perlindungan yang tepat," tandasnya.