Persimpangan Kebijakan Dana Desa

Wait 5 sec.

Ilustrasi desa wisata di Indonesia. Foto: Dok. KemenparekrafKebijakan dana desa seharusnya mampu menjadi ujung tombak fiskal Indonesia dalam mewujudkan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Instrumen dana desa digelontorkan dalam wadah rekognisi dan subsidiaritas. Namun, makin kesini ruang rekognisi fiskal di desa justru semakin menyempit hingga hanya tertinggal 32% saja.Kondisi itu muncul akibat beberapa kebijakan dari pemerintah pusat yang mulai membatasi rekognisi fiskal di desa. Pertama adanya kewajiban untuk mengarahkan 30% anggaran di setiap desa untuk ketahanan pangan. Aturan itu disertai juga dengan batasan maksimal 15% untuk BLT dan 3% operasional desa. Kedua adanya kebijakan KDMP yang mewajibkan isian agunan maksimal 20% dari total dana desa.Logika dari dua kebijakan tersebut bertolak belakang dengan logika kebijakan Undang-Undang Desa. Kebijakan ini muncul dari asumsi bahwa desa tidak mampu memetakan potensi dan kebutuhan dalam penggunaan dana desa.Terhitung hingga tahun 2022, dana desa telah menelan APBN sebesar Rp468,9 triliun, hasilnya baru 5% desa yang berstatus sebagai desa swasembada, 25% swakarya, dan selebihnya (70%) masih berstatus swadaya (Hafiz, 2023. Detik).Disposisi KebijakanIlustrasi penggunaan dana desa Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparanPerubahan arah kebijakan desa melalui pembatasan rekognisi fiskal dan arah pemanfaatan fiskal desa menjadi tantangan tersendiri. Dalam kajian implementasi kebijakan, George Edward (1980) meletakkan disposisi sebagai salah satu aspek penentu. Aspek ini melihat bagaimana pemahaman, respons, dan intensitas pelaksana kebijakan.Adanya perubahan arah dan pembatasan tersebut tentu akan mengulang kembali pemahaman pelaksana kebijakan. Belum lagi respons terhadap kebijakan, apakah setuju, mendukung, atau sebaliknya menolak. Hal ini pasti akan berpengaruh terhadap dedikasi, loyalitas, dan motivasi kerja pelaksana kebijakan.Undang-Undang Desa—melalui asas rekognisi dan subsidiaritas seharusnya—menghasilkan disposisi yang baik. Adanya intervensi yang spesifik justru akan memengaruhi disposisi atau penerimaan pelaksana kebijakan desa. Sederhananya, kreativitas dibatasi, sehingga apa yang dijalankan tidak muncul dari kesadaran sendiri. Secara teoritis, sudah dipastikan bahwa disposisi terhadap kebijakan di desa akan menurun kualitasnya.Demokratisasi DesaWidya Fitriana (2024) dalam kolom opini Kompas mengajukan kritik bahwa efektivitas penggunaan dana desa tidak dapat diukur hanya dari realisasi anggaran saja. Dibutuhkan perencanaan anggaran yang berbasis data, masalah riil di lapangan, skala prioritas, dan berbasis komunitas.Ilustrasi komunitas. Foto: ThinkstockSemestinya kondisi ini yang menjadi perhatian, bukan sebaliknya yang mana pemerintah malah mempersempit ruang rekognisi fiskal dana desa. Dalam hal perencanaan, Undang-Undang Desa juga mengamanatkan dilaksanakan secara demokratis yang dapat dilihat perwujudannya dalam bentuk musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang).Secara tegas, desa diselenggarakan berdasarkan asas kekeluargaan, kebersamaan, musyawarah, demokrasi, dan partisipasi. Lebih lanjut, Pasal 54 UU No 6 Tahun 2014 mengatur bahwa hal yang bersifat strategis, seperti perencanaan desa, harus melalui musyawarah desa yang melibatkan berbagai unsur masyarakat.Tidak ada keraguan bahwa secara prosedural desa diamanatkan untuk diselenggarakan secara demokratis. Pertanyaan yang muncul kemudian: Secara substantif, apakah prosedur tersebut cukup untuk memastikan bahwa demokratisasi desa akan bermuara pada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi masyarakat?Sebagaimana kritik yang dituliskan Widya Fitriana, proses deliberatif dalam demokratisasi desa tersebut harus menghasilkan masalah riil di lapangan, data pendukung untuk menentukan arah perencanaan pembangunan desa. Inilah titik persoalan desa, sehingga desa belum mampu melaju cepat dalam mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi masyarakat.Menyiapkan Fundamental DesaIlustrasi desa di Indonesia. Foto: Ukiq Outdsign/ShutterstockJika melihat kebijakan dalam skala nasional, dimulai dari Asta Cita Presiden Prabowo, poin Swasembada Pangan, dan membangun ekonomi dari desa. Kemudian juga beberapa kebijakan prioritas, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih, semangat yang dibawa masih sama. Berbagai visi dan kebijakan tersebut masih saling terkait; tetapi persoalannya, ekosistem untuk kebijakan itu belum mapan.Secara imajiner, kita bisa membayangkan bahwa kebijakan itu diharapkan saling menopang; ketahanan pangan di desa akan menjadi fondasi MBG. Kemudian juga, koperasi desa akan menjadi instrumen pemerataan ekonomi dan juga menghubungkan dua kebijakan tersebut. Namun, dalam konteks desa, rekognisi fiskal mesti tetap dijaga, meskipun asumsi ketidakmampuan desa secara mandiri itu nyata adanya.Persoalan yang mesti dijawab adalah demokratisasi desa yang tidak berujung pada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi dan asumsi bahwa pelaksana kebijakan di desa tidak mampu memetakan kebutuhan di desa masing-masing. Maka dari itu, pasal 54 UU No 6 Tahun 2014 mesti diperdalam lagi, dalam artian panduan dalam perencanaan desa.Jika dilihat lebih dalam lagi, persoalan sebenarnya adalah tipisnya perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Oleh sebab itu, meskipun proses deliberatif berjalan, yang muncul justru keinginan, sehingga tidak ada jaminan bahwa itu adalah jawaban dari kebutuhan di desa bersangkutan.Ilustrasi desa di Indonesia. Foto: f1rman/ShutterstockMaka dari itu, fundamental desa penting untuk didudukkan terlebih dahulu. Misalnya, apakah suatu desa tersebut fokus pada pertanian, perikanan, peternakan, pariwisata, atau mungkin industri. Identifikasi awal ini menjadi penting untuk selanjutnya menjawab arah perencanaan desa dan lebih spesifiknya turun pada program apa yang harus dijalankan di suatu desa tersebut.Kritik Widya Fitriana tadi sebenarnya jawaban yang mesti diadopsi menjadi sebuah kebijakan. Pertama untuk identifikasi awal potensi desa. Hal ini merujuk pada perencanaan berbasis data, seperti data hasil sumber daya alam yang ada di desa, data pekerjaan kebanyakan masyarakat desa, data pendapatan masyarakat, dll.Tanpa berbasis data, pelaksana kebijakan di desa tidak akan mengenal potensi desanya sendiri, sehingga tidak memiliki arah kebijakan yang jelas. Kemudian berbasis masalah riil dan skala prioritas, hal ini juga tidak akan dapat diidentifikasi jika desa masih belum menetapkan identitas.Jika suatu desa belum memiliki identitas jelas apakah akan fokus pada pertanian, peternakan, atau yang lain, sudah dipastikan masalah riil di lapangan dan skala prioritas tidak akan dapat ditentukan.Ilustrasi perempuan di desa wisata. Foto: I Made Rai Yasa/ShutterstockOleh sebab itu, pemerintah pusat, melalui Kemendes PDTT, mestinya menyiapkan fundamental desa melalui tenaga pendamping desa. Bagaimana setiap desa memang diberikan framework yang jelas agar terlebih dahulu mengenal potensi desa-nya masing-masing.Demokratisasi desa mesti didukung dengan proses akademik yang berbasis data, sehingga bisa dipastikan proses deliberatif yang dijalankan memiliki arah yang jelas.PenutupAdam Smith dalam karya populernya An Inquiry into the Causes of the Wealth of Nation menyatakan, “Jika seorang negarawan mengarahkan penggunaan modal yang mereka (individu) miliki, ia mengambil kewenangan yang tidak dapat dipercayakan kepada satu orang pun.” Dalam konteks ini, jika kebijakan MBG (misalnya) akan meningkatkan demand terhadap bahan pangan, biarkan pasar yang secara organik meningkatkan produksinya sendiri untuk memenuhi demand tersebut.Pemerintah melalui fiskalnya baik untuk meningkatkan konsumsi masyarakat, tetapi pemerintah tidak perlu ikut mengintervensi proses produksi. Pemerintah tidak perlu menyeragamkan arah pembangunan di setiap desa di seluruh penjuru Indonesia. Jika memang demand itu ada, desa-desa akan bergegas dengan sendirinya untuk meningkatkan produksi dan pemerintah cukup untuk memberikan instrumen dalam mendukung pengembangannya saja.