Ilustrasi Rupiah Indonesia. Foto: Fam Grafis/ShutterstockSiapa yang sebenarnya diuntungkan jika pemerintah benar-benar menerapkan kebijakan redenominasi dengan memangkas angka nol pada uang rupiah? Dan kemudian siapa yang mungkin menanggung biayanya? Pertanyaan itu kembali mengemuka setelah pemerintah dan Bank Indonesia menghidupkan kembali rencana redenominasi rupiah, yang ditargetkan rampung melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) pada tahun 2027.Gagasannya sederhana: menyederhanakan nominal rupiah agar transaksi lebih efisien dan citra mata uang lebih kuat. Namun, seperti halnya operasi kosmetik pada wajah ekonomi, dampaknya jauh melampaui sekadar penampilan.Mengapa Wacana Ini Kembali Muncul?Bagi sebagian orang, redenominasi terdengar seperti sekadar “memangkas angka nol” dari Rp1.000 menjadi Rp1, atau Rp10.000 menjadi Rp10. Padahal, di balik penyederhanaan itu, terdapat sejumlah pertimbangan yang lebih kompleks.Pertama, pecahan rupiah yang kini terlalu panjang dianggap tidak efisien untuk transaksi dan pencatatan keuangan. Kedua, pemerintah ingin membangun citra bahwa rupiah tidak kalah “modern” dibanding mata uang lain. Ketiga, sistem pembayaran yang kian digital membuat penyederhanaan nominal tampak logis dan praktis.Ilustrasi pembayaran digital. Foto: PopTika/ShutterstockNamun, setiap kebijakan ekonomi besar selalu memiliki dua sisi. Redenominasi mungkin tampak indah di permukaan, tapi memantik sebuah pertanyaan: Apakah fondasi sistem keuangan kita sudah cukup kokoh untuk menanggung guncangannya?Lebih dari Sekadar AngkaRedenominasi bukanlah sekadar memangkas angka nol pada rupiah. Ia menyentuh seluruh infrastruktur keuangan nasional, mulai dari sistem pembayaran elektronik, perangkat lunak perbankan, hingga sistem akuntansi di sektor publik dan swasta; semua harus menyesuaikan. Dari kasir minimarket hingga aplikasi perbankan digital, semuanya perlu “belajar ulang” bahasa nominal baru.Belum lagi aspek komunikasi publik, masyarakat perlu memahami bahwa “Rp1 baru” tidak berarti “uang saya berkurang seribu kali lipat”. Hal semacam ini, jika tanpa edukasi yang masif dan berkelanjutan, perubahan ini bisa memicu kebingungan, bahkan ketidakpercayaan. Sejarah di beberapa negara menunjukkan, kesalahan komunikasi dalam redenominasi bisa menimbulkan kepanikan dan distorsi harga.Manfaat yang DiharapkanJika dilakukan dengan cermat dan pada waktu yang tepat, redenominasi membawa beberapa manfaat nyata. Transaksi keuangan bisa lebih sederhana, laporan keuangan lebih ringkas, serta risiko salah input berkurang.Ilustrasi Uang Rupiah Emisi 2022. Foto: Iqbal Firdaus/kumparanDari sisi simbolis, rupiah dengan nominal yang lebih ramping dapat memperbaiki persepsi publik dan meningkatkan rasa percaya diri nasional. Sedangkan, dalam konteks internasional, hal ini bisa menjadi pesan bahwa Indonesia tengah bertransformasi menuju tata ekonomi yang lebih efisien dan modern.Selain itu, sistem digitalisasi keuangan dari Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), hingga layanan perbankan yang semakin masif mengarah pada digitalisasi, dapat diintegrasikan dengan lebih mudah karena nominal yang lebih sederhana mengurangi beban sistem dan risiko error di backend system.Risiko yang Tidak Boleh DiremehkanNamun, di balik potensi itu, terdapat sejumlah risiko serius yang kerap terabaikan. Di antara risiko itu ada satu hal yang paling nyata: risiko “inflasi psikologis” atau perubahan persepsi harga. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa ketika angka pada mata uang dipangkas, pedagang cenderung "membulatkan" harga ke atas. Dalam jangka pendek, ini bisa memicu kenaikan harga secara umum sesuatu yang justru ingin dihindari.Selain itu, biaya transisi juga dirasa tidak kecil. Pemerintah, pelaku usaha, dan sektor perbankan harus memperbarui sistem, perangkat lunak transaksi keuangan, bahkan mesin kasir. Proses edukasi dan adaptasi publik pun memakan waktu dan sumber daya besar. Belum lagi jika ada kelompok masyarakat yang salah memahami kebijakan ini sebagai “pemotongan nilai uang”, risiko kepanikan bisa muncul kapan saja.Ilustrasi Transaksi atau Uang Rupiah. Foto: ShutterstockDari sisi waktu pelaksanaan juga dianggap krusial. Dengan angka inflasi yang dinilai masih fluktuatif dan nilai tukar rupiah yang kerap tertekan oleh faktor eksternal, sebagian ekonom menilai kondisi saat ini belum sepenuhnya ideal untuk redenominasi. Stabilitas makroekonomi menjadi syarat mutlak sebelum langkah besar seperti ini diambil.Sistem Keuangan: Fondasi yang Tidak Boleh RetakMerujuk dalam suatu penelitian, ekonom Amri Amir menulis bahwa “redenominasi tidak akan memperbaiki nilai mata uang jika sistem keuangannya belum sehat.” Pernyataan ini dinilai sejalan, sebab apa artinya memangkas angka jika fondasi keuangannya masih belum kuat?Bayangkan sebuah rumah dengan dinding retak dan atap bocor, mengganti nomor rumah menjadi lebih kecil tidak membuat bangunan itu lebih kokoh. Begitu pula dengan redenominasi, tanpa reformasi sistem pembayaran, peningkatan inklusi keuangan, dan pengawasan yang kuat, perubahan nominal hanyalah ilusi perubahan.Indonesia masih menghadapi tantangan seperti literasi keuangan yang timpang, inklusi digital yang belum merata, serta sistem pembayaran yang belum sepenuhnya terintegrasi antarwilayah. Jika faktor-faktor ini tidak diperkuat lebih dulu, redenominasi bisa berubah menjadi beban, bukan solusi.Apakah Sekarang Momentum yang Tepat?Ilustrasi rupiah digital atau uang digital. Foto: Wael Khalill alfuzai/ShutterstockPemerintah menargetkan RUU redenominasi rampung pada 2027. Target tersebut menuntut kesiapan di semua lini, dari sisi kebijakan fiskal, moneter, sistem keuangan, dan komunikasi publik. Tanpa mekanisme koordinasi yang rapi, kebijakan ini bisa menimbulkan efek domino yang justru mengganggu kestabilan ekonomi.Redenominasi yang sukses harus berjalan dalam kondisi ekonomi yang stabil, inflasi yang relatif rendah, dan sistem keuangan yang tangguh. Selain itu, yang lebih penting lagi, bahwa publik harus percaya penuh pada kebijakan tersebut. Sebab dalam pandangan ekonomi, persepsi publik sering kali lebih kuat daripada sekadar nominal angka.KesimpulanRedenominasi rupiah bisa menjadi momentum penting dalam perjalanan ekonomi Indonesia jika dijalankan dengan niat reformasi, bukan sekadar simbol modernisasi. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap langkah dalam proses ini memperkuat fondasi keuangan nasional, memperbaiki sistem pembayaran, memperluas literasi dan inklusi keuangan, serta memperkuat kepercayaan publik terhadap rupiah.Jika tidak, semua ini hanya akan menjadi perubahan angka belaka, operasi besar yang tanpa menyentuh akar persoalan. Karena sejatinya, kepercayaan terhadap mata uang tidak ditentukan oleh jumlah angka nol di belakangnya, tetapi oleh kekuatan sistem keuangan yang menopangnya.