Pencemaran Radioaktif dan Tantangan Ekonomi Sirkular di Industri Indonesia

Wait 5 sec.

Ilustrasi udang. Foto: ShutterstockPada pertengahan 2025, publik dikejutkan oleh kabar bahwa produk udang beku asal Indonesia ditolak oleh Amerika Serikat karena terdeteksi mengandung isotop radioaktif Cesium-137 (Cs-137). Sekilas, masalah ini tampak sebagai isu keamanan pangan. Namun, di baliknya tersimpan masalah struktural yang jauh lebih besar: ketika ekonomi sirkular dijalankan tanpa sistem keselamatan dan ketertelusuran yang matang, daur ulang justru bisa menjadi sumber krisis baru.Daur Ulang Tanpa Ketertelusuran: Paradoks Ekonomi SirkularInvestigasi BAPETEN mengarah ke kawasan industri peleburan logam di Cikande, Banten—tempat logam bekas dari berbagai sumber, termasuk fasilitas medis, dilebur tanpa pemeriksaan radioaktif memadai.Alih-alih menjadi contoh efisiensi sumber daya, proses ini justru memperlihatkan wajah kelam “pseudo circular economy”: ketika aktivitas daur ulang dilakukan hanya untuk menghemat biaya bahan baku, bukan untuk menutup siklus material secara aman.Dalam banyak industri Indonesia, prinsip circular economy masih dipahami secara sempit sebagai reduce–reuse–recycle, tanpa mempertimbangkan kualitas, asal-usul, dan risiko material yang didaur ulang.Padahal, inti ekonomi sirkular bukan sekadar memutar kembali sumber daya, melainkan mendesain ulang sistem produksi agar tidak menciptakan eksternalitas baru—baik berupa polusi kimia, emisi, maupun kontaminasi radioaktif.Dampak Berbahaya bagi ManusiaIlustrasi zat radioaktif. Foto: andriano_cz/Getty ImagesCesium-137 adalah isotop buatan manusia yang memancarkan sinar gamma dan partikel beta—dua bentuk radiasi ionisasi yang dapat menembus jaringan biologis.Dengan paruh waktu 30 tahun, Cs-137 tetap aktif dalam jangka panjang di lingkungan, dan bila tertelan atau terhirup, dapat tersimpan di jaringan otot manusia selama berminggu-minggu.Paparan kronis dengan dosis tinggi meningkatkan risiko kanker jaringan lunak, gangguan sistem imun, dan kerusakan DNA. Namun, dalam kasus udang Indonesia, dosis yang terukur tidak cukup tinggi untuk menimbulkan efek akut—bahkan jauh lebih rendah daripada paparan alami dari radionuklida, seperti kalium-40 dalam pisang atau gandum.Namun, ada dimensi lain yang tak kalah penting: risiko ekologis kumulatif. Jika partikel Cs-137 menetap di dasar laut, partikel ini dapat diserap oleh plankton, kemudian berpindah ke ikan dan manusia melalui rantai makanan. Dengan paruh waktu panjang, isotop ini berpotensi menumpuk dari waktu ke waktu, menciptakan risiko laten bagi ekosistem dan kesehatan masyarakat pesisir.Dengan kata lain, tidak berbahaya hari ini bukan berarti aman untuk selamanya. Di sinilah pentingnya memandang isu ini dari lensa keberlanjutan lingkungan dan keselamatan industri, bukan sekadar kepanikan sesaat.Kelemahan Struktural: Celah di Hulu, Risiko di HilirIlustrasi pencemaran sungai Foto: Fahrul Jayadiputra/ANTARAKelemahan terbesar ekonomi sirkular Indonesia ada di hulu rantai pasok, yaitu tahap pengumpulan dan klasifikasi limbah. Selama material bekas dikumpulkan dari pasar sekunder tanpa sistem identifikasi (misalnya QR tagging atau basis data sumber limbah berbahaya), proses daur ulang berpotensi mencampur bahan aman dan berisiko tinggi.Dari sinilah muncul “orphan sources”—sumber radioaktif yang terlepas dari sistem lisensi dan masuk ke industri informal. Ketika material semacam ini dilebur, radioaktivitasnya tidak hilang, tetapi menyebar ke udara, tanah, bahkan laut.Dengan kata lain, kegagalan sistemik, dalam memetakan aliran material berbahaya, telah menciptakan ekonomi sirkular yang cacat secara ekologis.Banyak perusahaan kini menggunakan label circular, eco-friendly, atau green industry sebagai strategi reputasi. Namun, kasus Cs-137 menunjukkan bahwa keberlanjutan sejati tidak bisa diukur dari volume limbah yang didaur ulang, tetapi dari seberapa aman dan transparan prosesnya.Jika daur ulang dilakukan tanpa standar keselamatan radiasi, tanpa audit independen, dan tanpa pelacakan bahan berbahaya, praktik tersebut bukanlah circular economy, melainkan externalization of risk: memindahkan bahaya dari satu sektor ke sektor lain, dari pabrik ke laut, dari logam ke udang, dan akhirnya ke tubuh manusia.Ilustrasi udang. Foto: Jamal Ramadhan/kumparanEkonomi sirkular sejati harus menutup siklus risiko, bukan sekadar siklus material, melalui rekayasa ulang sistem produksi yang memprioritaskan keselamatan sosial dan ekologis di atas efisiensi biaya.Menuju Sistem Regeneratif: Rekomendasi TransformasionalPertama, membangun “material passport” nasional. Setiap logam dan bahan berpotensi berbahaya perlu memiliki digital material passport yang merekam asal, komposisi, dan siklus hidupnya. Teknologi seperti blockchain dapat digunakan untuk memastikan jejak limbah tidak hilang di rantai pasok informal.Kedua, redesign insentif ekonomi. Saat ini, industri daur ulang sering mengandalkan pasar bebas limbah tanpa pengawasan. Pemerintah perlu mendesain ulang insentif agar daur ulang aman menjadi lebih menguntungkan daripada daur ulang cepat. Misalnya, subsidi pajak bagi fasilitas yang memiliki portal deteksi radiasi dan sistem pelaporan publik.Ketiga, peningkatan kapasitas SDM dan kolaborasi lintas lembaga. Deteksi Cs-137 bukan hanya urusan BAPETEN. Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK), Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu bekerja bersama dalam sistem terpadu—dari sumber logam hingga ekspor produk laut.Kemudian, menciptakan keadilan lingkungan dalam ekonomi sirkular. Komunitas pesisir, pekerja daur ulang, dan petambak sering menjadi korban pertama kontaminasi. Ekonomi sirkular tidak akan berkelanjutan tanpa keadilan distributif—memastikan bahwa manfaat efisiensi sumber daya tidak dibayar dengan risiko kesehatan masyarakat kecil.Ilustrasi Masyarakat Indonesia. Foto: ShutterstockTerakhir, transparansi sebagai infrastruktur kepercayaan. Jepang dan Uni Eropa telah menunjukkan bahwa publikasi terbuka data radioaktif dapat meningkatkan kepercayaan global terhadap ekspor mereka. Indonesia harus menempatkan transparansi lingkungan sebagai bagian dari infrastruktur industri, bukan sebagai kebijakan tambahan.Momentum untuk Reformasi SistemikInsiden Cs-137 memberi kita pelajaran berharga: pencegahan selalu lebih murah daripada pemulihan. Krisis Cs-137 bukan hanya soal satu pengiriman udang yang ditolak, melainkan sinyal bahwa sistem produksi kita masih linear dalam struktur, meskipun dikemas dengan label “sirkular”.Circular economy sejati membutuhkan ekonomi pengetahuan di mana data, integritas, dan keselamatan menjadi komponen utama siklus produksi.Tanpa pembenahan tata kelola limbah, penerapan prinsip ketertelusuran, dan kesadaran bahwa “daur ulang yang tidak aman adalah polusi dalam bentuk baru”; Indonesia berisiko membangun masa depan yang tampak hijau di permukaan, tetapi rapuh di dalam.Membangun sirkularitas tidak berarti berputar di tempat, tetapi bertransformasi menuju sistem industri yang regeneratif, transparan, dan bertanggung jawab pada generasi berikutnya.