Jaecoo J5 EV varian premium di diler Jaecoo Andalan Mampang, Jakarta Selatan. Foto: Alvian Yoga Yulianto/kumparanPengamat otomotif sekaligus akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Pasaribu mengatakan, produk mobil listrik di Indonesia mulai memiliki harga terjangkau. Namun di sisi lain, ini akan menciptakan yang disebutnya sebagai hyper competition di pasar.“Dengan banyaknya merek baru (terutama dari China) yang masuk ke segmen pasar terbesar mobil di Indonesia dengan harga Rp 200-300 jutaan, persaingan berubah dari kompetisi normal menjadi hyper competition,” buka Yannes kepada kumparan beberapa waktu lalu.Lebih lanjut, harga-harga yang ditawarkan pabrikan China memantik pergerakan sejumlah merek ternama dari Jepang yang telah berada di zona nyaman untuk menyesuaikan strategi kompetisi.Mobil listrik BYD ATTO 1 resmi meluncur di Indonesia, harga mulai Rp 195 juta, Rabu (23/7/2025). Foto: Sena Pratama/kumparan“APM (agen pemegang merek) lama yang mengandalkan loyalitas, jaringan, dan strategi perubahan bertahap serta harga jual yang secara teratur naik bertahap setiap tahunnya, kini dipaksa turun ke pertarungan harga,” jelasnya.“Terlebih sebelumnya belum pernah terjadi, para pemain lama yang sudah terlalu nyaman di comfort zone-nya dibuat tergagap-gagap karena tidak siap,” imbuh Yannes.Situasi tersebut menciptakan kompetisi antar pendatang baru dan lama dengan saling menggerus segmen satu sama lain.“Perang harga yang semakin berdarah-darah tampaknya tidak terhindarkan lagi,” ucapnya.Ilustrasi logo mobil listrik BYD. Foto: Sena Pratama/kumparanSaat ini, penetrasi mobil listrik atau electric vehicle (EV) di Indonesia memang tengah melesat cepat. Bahkan, merek-merek asal China telah mendominasi segmen tersebut dengan persaingan harga yang tajam.Terbaru, ada Jaecoo J5 EV dengan harga peluncuran sensasional. Mulai dari Rp 249,9 juta di tipe Standard dan Rp 299,9 juta untuk varian Premium. Banderol tersebut terbilang terjangkau pada sebuah compact SUV dengan limpahan fitur yang ada.Sebelumnya, pada gelaran GIIAS 2025 lalu, city car listrik BYD Atto 1 juga mengagetkan publik, lantaran harga jual mulai dari Rp 195 juta untuk tipe terendahnya.Pertanyaan lokalisasiAktivitas produksi mobil listrik murni atau Battery Electric Vehicle (BEV) GAC AION V di fasilitas perakitan PT Indomobil Sukses Internasional Tbk (IMAS) milik PT National Assemblers (Indomobil Group) di Purwakarta, Jabar, Selasa (10/6/2025). Foto: Indomobil GroupPolemik mobil listrik China tak berhenti di perang harga, tapi juga berkaitan dengan proses perakitan lokal. Saat ini, tak sedikit merek China yang mengandalkan fasilitas produksi pihak ketiga dengan skema Semi-Knocked Down (SKD) atau Completely Knocked Down (CKD). Yannes menyebut itu sebagai lokalisasi semu.”Situasi yang ada juga semakin mengerucut pada munculnya pertanyaan besar terkait lokalisasi semu dan krisis industri parts yang sudah ada di dalam negeri, terlepas dari pihak negara mana yang menjadi pemiliknya,” jelas Yannes.Skema produksi SKD dan CKD lebih fokus pada proses perakitan. Berbagai komponen masih dikirim dari negara importir, seperti bodi, rangka, hingga mesin dan komponen penggerak.Salah satu pendorong aktivitas produksi SKD dan CKD tersebut adalah pemberian insentif berupa keringanan PPN ditanggung pemerintah sebesar 10 persen, sesuai Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023. Syaratnya, harus mengantongi TKDN di atas 40 persen.BYD resmi memulai produksi di pabrik barunya yang berlokasi di Camacari, Brasil, pada awal Juli 2025. Foto: BYDAlhasil, timbul pertanyaan lagi tentang bagaimana Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) diperhitungkan.”Apakah nilai TKDN benar-benar berasal dari komponen bernilai tinggi? Atau sekadar dari perakitan dan komponen murah non-kritikal?,” tanyanya.”Jika ternyata sebagian besar komponen bernilai tinggi seperti baterai, motor listrik, dan kontroler tetap diimpor, maka efeknya ke industri komponen lokal akan kontraproduktif,” sambungnya.Skema perakitan seperti ini berpotensi mengancam eksistensi produsen komponen lokal, meliputi tier 2, 3, hingga 4. Menurut Yannes, aktivitas produksi tanpa melibatkan produsen lokal perlu diperhatikan lebih lanjut.”Jika ini tidak dikendalikan dengan serius, maka ekosistem industri yang ingin kita perkuat di dalam negeri rawan menjadi pasar rakitan, bahkan parts tier 3 atau 2 semata. Bukan menjadi pusat industri yang didukung sebanyak-banyaknya industri parts tier 4, 3, dan 2 yang riil,” tuntas Yannes.