Tak Semua Anak Memulai dari Titik yang Sama

Wait 5 sec.

Ilustrasi Anak Belajar Matematika. Foto: ShutterstockDi tengah kota Jakarta, sekolah sering dianggap sebagai tangga menuju masa depan yang lebih baik. Tapi di balik semangat “pendidikan untuk semua”, ada kenyataan yang jarang diucapkan bahwa tidak semua anak punya kesempatan yang sama untuk menaiki tangga itu. Anak-anak dari keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas sering kali harus berjuang dua kali lebih keras hanya untuk tetap berada di jalur pendidikan. Sementara sebagian anak lain melangkah dengan tenang, berbekal dukungan penuh dari keluarga yang mampu, yang lain harus menapaki jalan pendidikan dengan kaki telanjang.Ketimpangan ekonomi di Jakarta bukan hal baru. Ia tampak jelas di antara gedung pencakar langit dan deretan rumah padat di pinggiran kota. Tapi yang lebih menyedihkan adalah bagaimana ketimpangan itu merembes ke ruang-ruang sekolah. Di satu sisi, ada sekolah unggulan dengan fasilitas lengkap, guru berkualitas, dan kegiatan ekstrakurikuler yang beragam. Di sisi lain, ada sekolah-sekolah di kawasan padat penduduk yang masih berjuang dengan ruang kelas sempit dan sumber belajar yang terbatas. Dalam dunia pendidikan, uang bukan hanya soal biaya sekolah, tetapi juga modal sosial dan kultural yang menentukan seberapa jauh seorang anak bisa melangkah.Pierre Bourdieu, menjelaskan bahwa ketimpangan ini bukan hanya soal uang, tetapi juga tentang modal sosial, kultural, dan simbolik. Anak-anak dari keluarga berpenghasilan tinggi memiliki “habitus” yang membuat mereka terbiasa dengan dunia pendidikan formal, mereka dibesarkan di rumah yang menyediakan buku, percakapan tentang masa depan, bahkan les tambahan sejak dini. Sementara anak-anak dari keluarga kurang mampu mungkin tumbuh di lingkungan yang lebih fokus pada bagaimana bertahan hidup hari demi hari. Bukan karena mereka kurang cerdas, tapi karena sistem sosial sudah menempatkan mereka dalam posisi yang tidak menguntungkan sejak awal.Bourdieu menyebut proses ini sebagai “reproduksi sosial”, di mana sekolah, tanpa sadar, justru memperkuat ketimpangan yang ada. Sekolah tampak netral, tapi sebenarnya lebih mudah diakses dan dipahami oleh mereka yang sudah memiliki modal kultural. Guru mungkin tidak bermaksud membeda-bedakan, tapi anak dari keluarga mampu lebih fasih berbicara dengan bahasa yang dianggap “benar” di dunia pendidikan. Mereka tahu bagaimana bersikap, bagaimana menjawab, dan bagaimana tampil “pantas” di mata institusi. Sementara anak dari keluarga dengan latar ekonomi lemah sering kali harus menyesuaikan diri bukan hanya secara akademik, tapi juga secara simbolik.Di Jakarta, hal ini bisa kita lihat dalam perbedaan cara anak-anak berinteraksi dengan sekolah. Bagi sebagian, sekolah adalah ruang aktualisasi dan kesempatan. Bagi sebagian lain, sekolah adalah perjuangan. Banyak anak harus bangun lebih pagi karena jarak rumah ke sekolah jauh, atau bahkan harus membantu orang tua bekerja sebelum berangkat belajar. Tidak jarang, kelelahan itu membuat mereka sulit fokus di kelas. Lalu ketika nilai mereka menurun, sistem sering kali melihatnya sebagai “kurang rajin”, bukan sebagai hasil dari beban sosial yang lebih besar.Sementara itu, anak-anak dari keluarga mapan bisa dengan mudah mengakses les tambahan, perangkat teknologi, bahkan konselor pendidikan. Ketimpangan kecil ini, ketika dikumpulkan, membentuk jurang yang besar. Di sinilah terlihat bagaimana ekonomi bukan hanya memengaruhi pilihan sekolah, tapi juga cara anak-anak mengalami pendidikan itu sendiri. Ketika yang satu mendapat ruang belajar nyaman dan tenang, yang lain belajar di kamar sempit yang dibagi dengan adik-adiknya. Ketika yang satu bisa fokus pada nilai, yang lain harus memikirkan apakah uang bulan depan cukup untuk biaya sekolah.Namun, di tengah semua ini, tidak sedikit anak-anak dari keluarga sederhana yang menunjukkan daya juang luar biasa. Mereka belajar bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk keluarga. Mereka menjadi simbol keteguhan di tengah sistem yang sering kali tidak berpihak. Tapi kisah perjuangan mereka tidak seharusnya jadi alasan untuk menormalisasi ketimpangan. Menganggap keberhasilan segelintir orang miskin sebagai bukti bahwa “asal mau berusaha, semua bisa berhasil” justru menutupi fakta bahwa sistem masih timpang sejak awal.Pendidikan, dalam idealnya, seharusnya menjadi ruang pembebasan yaitu tempat setiap anak, tanpa memandang asal-usul, punya kesempatan yang sama untuk berkembang. Tapi kenyataannya, sekolah sering kali memantulkan kembali struktur sosial yang sudah ada. Menurut Bourdieu, sekolah bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga arena di mana kekuasaan sosial dipertahankan lewat simbol-simbol yang tampak “alamiah”. Dan selama akses terhadap modal ekonomi dan kultural tidak merata, pendidikan akan terus jadi cermin ketimpangan, bukan solusi atasnya.Jakarta, dengan segala modernitasnya, seharusnya bisa jadi contoh bagaimana pendidikan bisa memutus rantai kemiskinan. Tapi hal itu hanya bisa terjadi jika sistem pendidikan benar-benar peka terhadap konteks sosial siswanya. Bantuan biaya mungkin membantu sebagian, tapi perubahan yang lebih mendalam harus menyentuh cara kita memaknai “keadilan pendidikan”. Keadilan bukan berarti memberi hal yang sama untuk semua orang, tapi memberikan dukungan sesuai kebutuhan agar setiap anak bisa benar-benar memulai dari titik yang setara.Anak-anak dari keluarga kurang mampu tidak meminta belas kasihan. Mereka hanya butuh kesempatan yang adil. Mereka ingin belajar tanpa harus memikirkan ongkos harian, ingin bermimpi tanpa harus khawatir apakah itu terlalu tinggi untuk dicapai. Dan di situlah peran pendidikan seharusnya berdiri, bukan sebagai penjaga gerbang yang hanya membiarkan segelintir orang masuk, tetapi sebagai jembatan yang membawa semua orang menuju masa depan yang sama.Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya tentang siapa yang paling pintar, tetapi tentang siapa yang diberi kesempatan untuk berkembang. Ketika kita menyadari bahwa tidak semua anak memulai dari titik yang sama, mungkin di situlah awal dari perubahan dimulai, perubahan cara kita memandang sekolah, ekonomi, dan keadilan sosial di negeri ini.