Indikator SDGs (Sumber: Kumparan.com)Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2015 melahirkan sebuah kesepakatan global yang ambisius, yakni Sustainable Development Goals/SDGs. Selama periode 2015–2030, dunia diharapkan bergerak menuju kondisi yang lebih adil dan manusiawi. Di Indonesia, harapan itu seharusnya tercermin dalam hilangnya kemiskinan ekstrem, berkurangnya banjir yang datang tiap musim hujan, sampai pekerjaan yang lebih layak bagi jutaan pekerja informal.Agenda ini dirangkum dalam empat pilar. Pilar pertama berfokus pada peningkatan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, yang menekankan pertumbuhan kualitatif dan merata, bukan sekadar kenaikan angka Produk Domestik Bruto (PDB). Pilar kedua bertujuan menjaga keberlanjutan kehidupan masyarakat, yang diterjemahkan sebagai tatanan sosial yang adil, bebas dari kemiskinan, kelaparan, serta diskriminasi. Pilar ketiga berfokus pada menjaga kualitas lingkungan hidup yang dipadukan dengan pembangunan yang inklusif dan ramah lingkungan. Sementara pilar keempat menekankan perlunya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi selanjutnya, yang pelaksanaannya menuntut keterlibatan aktif semua pihak. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga dunia usaha, komunitas lokal, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.Indikator Membaik Meski Menyisakan “PR”Indonesia merespons agenda ini melalui komitmen nasional yang dikoordinasikan Bappenas. Sejumlah target dipasang: penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, perluasan akses air minum dan sanitasi, perbaikan layanan kesehatan dan pendidikan, hingga peningkatan rasio elektrifikasi dan energi terbarukan. Di atas kertas, peta jalannya tampak meyakinkan. Berbagai lembaga dibentuk, laporan disusun, dan indikator dipetakan hingga level daerah. Namun, sebagaimana sering terjadi dalam sejarah pembangunan di Indonesia, jurang antara rencana dan kenyataan acapkali tetap lebar. Di banyak daerah, prinsip SDGs sudah masuk ke berbagai peraturan daerah dan dokumen perencanaan. Jawa Barat, misalnya, memiliki Perda tentang pengelolaan lingkungan (No. 4 Tahun 2023) yang, secara normatif, ingin menahan laju kerusakan ekologis. Tetapi praktik di lapangan menunjukkan cerita lain: penambangan liar terus berlangsung, alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri atau properti berjalan tanpa kendali memadai, sementara banjir dan tanah longsor menjadi bencana yang berulang. Di sisi sosial-ekonomi, kemiskinan dan pengangguran masih menjadi wajah sehari-hari di banyak desa dan kantong permukiman miskin kota. Meski ada penurunan, masalah ini masih ada. Tingkat kemiskinan nasional turun menjadi 8,47% pada Maret 2025 (terendah dalam 20-30 tahun, dari 9,03% tahun sebelumnya). Tingkat pengangguran turun menjadi 4,85% pada Q3 2025 (dari 4,91% tahun sebelumnya) dan 4,76% pada Februari 2025 (terendah sejak 1995). Namun, sayangnya, penurunan angka kemiskinan nasional ke level 8,47% (Maret 2025) disertai tantangan kesejahteraan struktural. Kualitas pekerjaan masih menjadi isu besar, di mana 57,80% tenaga kerja (Agustus 2025) masih terjebak di sektor informal yang rentan. Selain itu, meskipun rasio gini nasional membaik tipis ke 0,375, ketimpangan di perkotaan masih tinggi di level 0,395, yang menunjukkan rapuhnya posisi kelas menengah rentan. Hal ini membuktikan masalah kesejahteraan masih eksis, terutama di daerah pedesaan yang tingkat kemiskinannya masih 11,03%, hampir dua kali lipat perkotaan, dan di kantong-kantong kota miskin di mana angka kemiskinan justru menunjukkan sedikit kenaikan.Angka-angka ini adalah bukti nyata bahwa Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk memenuhi agenda SDGs. Mengapa kesenjangan struktural ini terus terjadi, bahkan ketika angka kemiskinan makro terlihat menurun? Jawabannya tidak semata-mata terletak pada kekurangan anggaran atau lemahnya kapasitas teknis birokrasi. Akar persoalannya, salah satunya, justru bersifat politik.Potret komiskinan dan kondisi lingkungan yang tidak sehat (Sumber: Kumparan.com)Pembangunan PolitikTujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) menuntut keputusan yang seringkali tidak sejalan dengan kepentingan ekonomi konvensional, antara lain membatasi eksploitasi sumber daya alam, menertibkan izin usaha yang merusak lingkungan, mengalihkan subsidi dari proyek mercusuar ke layanan dasar warga. Keputusan-keputusan ini sulit diambil jika arena politik didominasi oleh kepentingan jangka pendek, seperti siklus pemilu, transaksi dukungan elite, dan kepentingan ekonomi yang terlanjur mengakar di masyarakat. Di titik inilah pembangunan politik menjadi kunci. Secara sederhana, pembangunan politik dapat didefinisikan sebagai proses peningkatan kapasitas kelembagaan negara untuk dapat merespons tuntutan publik secara efektif, sekaligus memastikan partisipasi dan akuntabilitas demokratis. Pembangunan politik bukan sekadar konsep penguatan lembaga negara, tetapi upaya menata ulang hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat. SDGs sesungguhnya tidak bisa dipahami hanya sebagai agenda teknokratis, melainkan proyek politik yang menuntut pergeseran cara kita memandang kekuasaan dan akuntabilitas. Oleh karena itu, pembangunan politik melibatkan setidaknya lima aspek utama yang perlu diperkuat.Pertama, pembangunan politik mensyaratkan pendidikan politik warga. Masyarakat perlu memahami bahwa isu lingkungan, kemiskinan, dan ketimpangan bukan sekadar urusan pemerintah, melainkan hasil dari pilihan politik yang bisa dan layak dipersoalkan. Warga yang melek politik akan lebih kritis terhadap janji kampanye yang hanya menjual proyek infrastruktur tanpa bicara dampak sosial dan ekologis, dan lebih berani mempertanyakan kebijakan yang mengorbankan ruang hidupnya. Kedua, pembangunan politik berarti memperluas dan memperdalam partisipasi politik. Dalam banyak kasus, partisipasi publik masih bersifat simbolik: undangan rapat tetapi hanya terbatas seremonial. Agar SDGs benar-benar berpihak pada kelompok rentan seperti perempuan, anak muda, pekerja informal, masyarakat adat, maka suara mereka harus hadir sejak tahap perumusan agenda. Desain partisipasi yang inklusif akan memaksa pemerintah dan pelaku usaha mempertimbangkan konsekuensi sosial dan ekologis dari proyek-proyek pembangunan. Ketiga, diperlukan kepemimpinan transformatif. Pemimpin di level nasional maupun lokal memegang peran sentral dalam menentukan apakah SDGs menjadi sekadar jargon atau sungguh diarusutamakan dalam kebijakan. Kepemimpinan transformatif ditandai oleh keberanian mengambil keputusan yang melawan arus kepentingan sempit dan kesediaan membuka data serta mengundang kritik, bukan sekadar merayakan pencapaian angka-angka formal. Keempat, pembangunan politik menuntut penguatan sistem akuntabilitas. Mekanisme pengawasan internal pemerintah tidak akan cukup jika tidak ditopang lembaga independen, kebebasan pers, dan masyarakat sipil yang kritis. Transparansi anggaran, pelibatan publik dalam evaluasi program, serta sanksi tegas bagi pelanggar aturan adalah prasyarat agar SDGs tidak berhenti pada slogan. Di era digital, inovasi seperti portal data terbuka atau aplikasi pelaporan warga hanya berguna jika benar-benar direspons dan diintegrasikan dalam perbaikan kebijakan. Kelima, pencapaian SDGs bergantung pada kualitas kemitraan lintas aktor. Pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi keagamaan, dan komunitas lokal sering menyebut kata “kolaborasi”, tetapi praktiknya masih berjalan sektoral. Pembangunan politik yang sehat akan mendorong terbentuknya tata kelola kolaboratif, di mana masing-masing aktor tidak hanya mengejar citra, melainkan bersedia diukur kontribusinya terhadap target-target konkret: penurunan emisi, pembukaan lapangan kerja layak, perlindungan kelompok rentan, hingga pemulihan ekosistem. PenutupPada akhirnya, keberhasilan SDGs di Indonesia tidak dapat dinilai hanya dari laporan-laporan resmi atau jumlah proyek yang diresmikan. Ukurannya adalah sejauh mana struktur politik kita mampu menjamin bahwa keputusan pembangunan tidak lagi mengorbankan kelompok paling lemah dan tidak terus-menerus merusak alam. SDGs, jika ingin sungguh bermakna, harus berjalan bersama dengan demokrasi yang lebih substantif, di mana warga bukan sekadar penonton, tetapi aktor yang diakui hak, suara, dan partisipasinya. Pada titik ini, keberhasilan SDGs bukan hanya soal komitmen pemerintah, tetapi juga sejauh mana kita berani berpartisipasi sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial.