Guru dan karyawan menikmati suasana rekreatif, sumber: Dok. Strada.Dalam kehidupan sehari-hari, banyak pendidik menghadapi tekanan luar biasa, yakni beban administrasi tinggi, ekspektasi publik, dan tuntutan perubahan kurikulum yang begitu cepat. Dalam situasi seperti itu, muncul rasa tidak berdaya yang kadang menjelma menjadi stres kronis dan kelelahan emosional. Fenomena demikian bukan melulu masalah individu, melainkan cerminan dari sistem pendidikan yang belum sepenuhnya menyeimbangkan antara produktivitas dan kemanusiaan. Pendidik diharapkan menjadi sumber inspirasi, padahal mereka sendiri sering kehilangan ruang untuk bernapas dan memulihkan tenaga batin. Di titik inilah relevansi pemikiran David Allen (2015) dalam Getting Things Done: The Art of Stress-Free Productivity menjadi penting untuk direnungkan secara mendalam.Allen menegaskan bahwa produktivitas sejati bukanlah tentang bekerja lebih keras, melainkan bekerja dengan pikiran yang jernih dan fokus (Allen, 2015:13). Prinsip dasarnya sederhana, yaitu otak bukanlah tempat menyimpan semua hal, tetapi berpikir kreatif dan mengambil keputusan. Dalam konteks pendidikan, ini berarti pendidik perlu membebaskan pikiran dari beban yang tidak perlu, agar energi mental dapat diarahkan pada hal-hal yang bernilai--yakni pembelajaran dan pelayanan manusia. Guru yang terus-menerus menumpuk beban tanpa manajemen diri yang sehat akan kehilangan kemampuan reflektif. Maka, sistem pengelolaan tugas dan emosi menjadi kebutuhan mendasar dalam pelayanan pendidikan berkelanjutan.Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan paradoks, yakni semakin keras seseorang berusaha produktif, semakin tinggi pula tingkat stresnya. Pendidik merasa terjebak antara idealisme dan birokrasi. Dalam konteks inilah, filsafat menawarkan ruang reflektif yang menenangkan. Friedrich Nietzsche pernah berkata, “He who has a why to live can bear almost any how” -- siapa yang memiliki alasan untuk hidup, dapat menanggung hampir segala cara (Nietzsche, Twilight of the Idols, 1889:17). Ketika pendidik menemukan kembali makna panggilan hidupnya sebagai pelayan kemanusiaan, tekanan eksternal menjadi lebih mudah dihadapi. Produktivitas bukan lagi sekadar hasil kerja, melainkan ekspresi dari makna eksistensial.David Allen menyarankan langkah-langkah konkret untuk mencapai ketenangan produktif: menangkap (capture), mengklarifikasi (clarify), mengorganisir (organize), merefleksi (reflect), dan menindaklanjuti (engage). Dalam dunia pendidikan, langkah ini dapat diadaptasi dalam perencanaan pembelajaran dan pelayanan murid. Guru yang mampu “menangkap” aneka kewajiban tanpa membiarkan menumpuk di pikiran akan lebih fokus menjalankan tugas dengan kehadiran penuh (mindfulness). Refleksi rutin membantu mereka melihat mana yang penting dan mana yang bisa didelegasikan atau ditunda. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efisiensi kerja, tetapi juga kualitas kehadiran seorang pendidik di ruang kelas.Senada dengan Allen, filsuf Stoik Marcus Aurelius dalam Meditations mengingatkan, “You have power over your mind—not outside events. Realize this, and you will find strength.” Kekuatan pendidik terletak pada kemampuan mengelola pikiran dan respons terhadap tekanan, bukan pada mengubah keadaan eksternal yang kadang di luar kendali. Pendidikan sejati bukan hanya membagikan ilmu, melainkan juga meneladankan keseimbangan batin dan ketenangan moral. Maka, guru yang mampu menjaga kejernihan pikiran di tengah kekacauan birokrasi merupakan wujud konkret dari kebijaksanaan praktis.Produktivitas pelayanan dalam pendidikan tidak bisa diukur hanya dari jumlah laporan atau indikator kinerja. Ia juga mencakup dimensi moral dan spiritual: bagaimana seorang pendidik mampu melayani murid dengan hati yang penuh dan pikiran yang sadar. Dalam tradisi Aristoteles, eudaimonia—kebahagiaan sejati—dicapai ketika seseorang menjalankan fungsi hidupnya dengan baik (Aristotle:15, Nicomachean Ethics). Jika fungsi seorang guru, membimbing manusia menuju kebaikan, maka produktivitas dirinya diukur dari sejauh mana mampu menumbuhkan potensi dan karakter peserta didik, bukan dari seberapa cepat menyelesaikan administrasi.Di sisi lain, tekanan dalam dunia pendidikan tidak akan hilang begitu saja. Justru, tugas utama lembaga pendidikan, yakni membangun budaya kerja manusiawi. Institusi perlu berani mengubah orientasi dari “manajemen hasil” menjadi “manajemen makna.” Artinya, pemimpin sekolah tidak sekadar menuntut output, tetapi juga menumbuhkan lingkungan kerja yang mendukung pertumbuhan mental dan spiritual guru. Hal ini sejalan dengan gagasan Hannah Arendt (1958:89) dalam The Human Condition, bahwa kerja manusia memiliki dimensi tindakan (action) yang membuat ruang publik penuh makna, bukan sekadar rutinitas tanpa arah.Untuk mencapai keseimbangan ini, perlu pendekatan integratif antara rasionalitas dan spiritualitas. Produktivitas tanpa kedalaman batin hanya menghasilkan kelelahan; sementara refleksi tanpa tindakan menghasilkan stagnasi. Di sinilah pendidikan perlu menghadirkan apa yang disebut oleh Martin Buber sebagai I-Thou relationship--relasi yang tulus dan dialogis antar manusia (Buber, I and Thou, 1937:56). Dalam relasi semacam ini, guru tidak sekadar menjalankan tugas, tetapi sungguh hadir bagi murid. Kehadiran semacam ini tidak mungkin muncul jika batin guru penuh tekanan dan kecemasan.Dengan demikian, produktivitas dalam pelayanan pendidikan sejati merupakan buah dari keteraturan batin. Ketika pendidik mampu menata dirinya, maka segala bentuk kerja—bahkan yang paling teknis—akan memiliki nilai etis dan spiritual. Seperti dikatakan oleh Søren Kierkegaard, “The greatest hazard of all, losing one’s self, can occur very quietly in the world, as if it were nothing at all” (The Sickness Unto Death, 1849:23). Dunia pendidikan modern sering kali membuat pendidik kehilangan dirinya sendiri dalam tumpukan rutinitas. Maka, manajemen diri bukan sekadar strategi, melainkan bentuk perlawanan terhadap kehilangan makna.David Allen menawarkan metode praktis; para filsuf menawarkan dasar reflektif. Jika keduanya dipadukan, akan lahir paradigma baru tentang produktivitas pendidikan yang berakar pada kesadaran diri. Guru tidak perlu menjadi “superhuman” yang mampu mengerjakan segalanya; cukup menjadi manusia sadar, teratur, dan memiliki arah hidup. Ketika setiap pendidik mengelola pikiran dengan baik, sekolah pun menjadi ruang yang lebih tenang dan kreatif. Dalam keadaan batin tertata, kemampuan berinovasi meningkat secara alami.Krisis produktivitas dalam pendidikan sering kali bukan karena kurangnya kemampuan, melainkan karena kaburnya tujuan. Ketika tujuan pendidikan direduksi menjadi sekadar angka dan laporan, maka hilanglah sisi kemanusiaan yang menjadi inti pelayanan. Dalam hal ini, refleksi terhadap Getting Things Done perlu diarahkan untuk meningkatkan efisiensi, dan juga menemukan keseimbangan antara “doing” dan “being.” Seorang pendidik yang sadar akan dirinya sebagai being for others--manusia bagi manusia lain--akan menemukan kembali keindahan dari profesinya.Akhirnya, produktivitas pelayanan pendidikan di tengah tekanan menuntut keberanian untuk menata ulang cara berpikir dan bekerja. Ia tidak dapat dicapai hanya melalui sistem, tetapi melalui pembaruan batin. Sebagaimana kata Lao Tzu dalam Tao Te Ching, “To the mind that is still, the whole universe surrenders.” Keheningan pikiran pendidik menjadi sumber kekuatan dirinya. Dengan menata batin, guru dapat melayani dengan damai, bekerja dengan makna, dan menumbuhkan kehidupan yang berkelanjutan bagi dirinya dan murid-muridnya. Produktivitas sejati bukan tentang banyaknya hal yang dilakukan, melainkan tentang kualitas kehadiran dalam setiap hal yang dilakukan.