Direktur Pengembangan Usaha Inalum Arif Haendra. (Foto: Theresia Agatha/VOI)BOGOR - Geliat sektor otomotif utamanya untuk kendaraan listrik yang semakin cepat bakal membuat hilirisasi bauksit menjadi alumina dan aluminium semakin tumbuh. PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) memproyeksi, lonjakan kebutuhan dalam negeri yang diprediksi naik hingga 600 persen dalam 30 tahun ke depan. Hal itu berdasarkan bahan paparan Direktur Pengembangan Usaha Inalum Arif Haendra dalam Media Gathering Forum Wartawan Industri (Forwin) di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Jumat, 14 November. Data itu menunjukkan, konsumsi aluminium Indonesia akan meningkat setidaknya sampai 600 persen dalam 30 tahun ke depan. Terutama untuk keperluan pengembangan EV Community yang menggunakan material aluminium. Hal itu semakin menguatkan posisi Indonesia yang sedang di momentum penting untuk memperkuat industri aluminium terintegrasi dari hulu hingga hilir. "Konsumsi aluminium nasional akan meningkat sangat pesat, terutama karena kebutuhan untuk baterai kendaraan listrik dan pembangunan pembangkit energi surya. Satu battery pack EV menggunakan sekitar 18 persen aluminium dan pembangunan pembangkit surya membutuhkan sekitar 21 ton aluminium untuk setiap 1 MW. Kebutuhan ini menjelaskan urgensi percepatan hilirisasi," katanya. Di sisi lain disebutkan pada periode 2018-2024, pasokan aluminium nasional masih bergantung pada impor sebesar 54 persen, sedangkan kontribusi Inalum baru 46 persen. Ketergantungan tersebut dinilai menjadi tantangan, mengingat aluminium adalah material strategis bagi sektor industri masa depan. Karena itu, kata dia, percepatan hilirisasi tidak dapat dijalankan hanya oleh satu perusahaan. Industri aluminium merupakan sektor energi intensif yang membutuhkan dukungan lintas kementerian, termasuk soal energi, tata ruang, lingkungan, pembiayaan dan regulasi industri. Arif menjelaskan, percepatan pembangunan smelter baru membutuhkan kolaborasi antara Kementerian BUMN, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian ATR/BPN serta Pemerintah Daerah Kalimantan Barat sebagai lokasi proyek. "Aluminium adalah industri energi-intensif. Konsistensi pasokan listrik, lebih baik lagi jika berbasis energi hijau menjadi faktor penentu daya saing. Karena itu, dukungan pemerintah sangat penting untuk memastikan semua proyek hilirisasi dapat berjalan cepat," tuturnya. Adapun pada industri perakitan kendaraan listrik, tercatat ada 7 pabrikan bus listrik dengan kapasitas produksi 3.100 unit per tahun, 9 perusahaan mobil listrik dengan kapasitas produksi 70.060 unit per tahun serta 66 perusahaan kendaraan roda dua dan tiga dengan kapasitas produksi 2,37 juta unit per tahun. Total investasi ketiga industri tersebut mencapai Rp5,65 triliun, dengan porsi terbesar disumbang industri mobil listrik sebesar Rp4,12 triliun. "Saat ini, ada 7 pabrikan untuk bus listrik, 9 pabrikan untuk mobil listrik dan 66 perusahaan untuk roda dua dan tiga listrik, dengan total investasinya Rp5,6 triliun," terang Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kemenperin Mahardi Tunggul Wicaksono dalam diskusi media bertajuk Polemik Insentif BEV Impor di Jakarta, Senin, 25 Agustus.Dia mengungkapkan, adanya kenaikan populasi kendaraan listrik berkat pemberian insentif program percepatan pengembangan ekosistem kendaraan listrik. Pada 2024, total populasi mencapai 207.000 unit, meningkat sebesar 78 persen dibandingkan dengan 2023 sebanyak 116.000 unit. "Dan sampai Juni tahun ini, populasinya sudah mencapai kurang lebih 270.000-an. Nah, ini terdiri dari kendaraan listrik roda 4, kemudian ada juga roda 2 kurang lebih 200.000-an dari angka itu. Selebihnya, yaitu kendaraan listrik seperti bus dan kendaraan komersial lain," pungkasnya.