Dí DPR RI RUU Perampasan Aset masuk Prolegnas 2025. (Foto: Dino Januarsa, under the Unsplash license)Selama ini, pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung fokus pada pemidanaan individu. Pelaku dijatuhi hukuman, namun aset hasil korupsinya sering kali tidak kembali ke kas negara. Dalam konteks itu, kehadiran RUU Perampasan Aset bisa menjadi terobosan strategis. Undang-undang ini diharapkan dapat mengubah paradigma penegakan hukum: dari “memburu orang” menjadi “memulihkan uang.”RUU ini sejatinya merupakan implementasi konkret dari United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2006. Dalam Pasal 54 ayat (1) huruf (c), UNCAC mewajibkan negara-negara pihak untuk mengadopsi mekanisme penyitaan aset tanpa harus menunggu adanya vonis pidana terhadap pelaku kejahatan. Artinya, aset yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dapat langsung disita negara melalui keputusan pengadilan perdata, tanpa harus bergantung pada vonis pidana yang kerap memakan waktu panjang.Pendekatan ini bukan hal baru di dunia. Amerika Serikat, misalnya, telah menerapkan mekanisme serupa dan pada tahun 2006 berhasil menyita aset hasil kejahatan senilai US$1,2 miliar. Filipina pun sukses memulihkan sekitar US$657 juta aset hasil korupsi mantan presiden Ferdinand Marcos. Kedua negara tersebut menjadi contoh konkret bahwa perampasan aset tanpa vonis pidana bisa berjalan efektif, selama ada sistem peradilan yang akuntabel dan transparan.Sebagaimana ditulis Kurnia Ramadhana dalam artikelnya berjudul “Prabowo’s leadership challenge and the case for asset forfeiture reform” di The Jakarta Post (25 Oktober 2025), RUU Perampasan Aset menghadirkan paradigma revolusioner dalam penegakan hukum. Fokusnya bukan lagi pada keberadaan pelaku, melainkan pada asal-usul kekayaan yang diduga diperoleh secara ilegal. Jika pemilik aset tidak dapat membuktikan sumber kekayaannya yang sah, maka negara berhak merampasnya melalui putusan pengadilan.---Antara Efektivitas dan Risiko DemokrasiNamun, di sinilah muncul sejumlah kekhawatiran. Dalam praktiknya, pembalikan beban pembuktian — di mana individu harus membuktikan bahwa hartanya bukan hasil korupsi — bisa disalahgunakan jika tidak diimbangi dengan prinsip due process of law. Dalam konteks demokrasi, prinsip ini sangat penting untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia dan memastikan bahwa hukum tidak dijadikan alat politik untuk menekan lawan-lawan pemerintah.Menurut Robert Klitgaard, pakar antikorupsi dari Claremont Graduate University dan penulis buku “Controlling Corruption” (1988), korupsi tumbuh subur ketika ada “monopoly + discretion – accountability.” Artinya, di mana ada kekuasaan yang terlalu besar dengan keleluasaan tinggi tetapi tanpa pengawasan yang efektif, di sanalah korupsi berakar. RUU Perampasan Aset bisa menjadi obat, namun juga bisa menjadi racun jika dijalankan tanpa kontrol publik yang kuat.Dalam konteks kepemimpinan, Presiden Prabowo menghadapi ujian penting. Reformasi hukum semacam ini menuntut integritas politik dan keberanian moral untuk memastikan undang-undang dijalankan dengan niat baik, bukan sebagai alat kekuasaan. Sejarah Indonesia menunjukkan, hukum sering kali tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. RUU ini hanya akan berarti jika prinsip kesetaraan di hadapan hukum benar-benar ditegakkan.---Harapan Baru dan Tantangan IntegritasDi sisi lain, penerapan UU ini membawa potensi besar bagi bangsa. Jika dijalankan dengan benar, Indonesia dapat memulihkan triliunan rupiah aset hasil korupsi yang selama ini menguap. Dana tersebut bisa dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kesejahteraan masyarakat — hal-hal yang selama ini menjadi korban tidak langsung dari praktik korupsi.Ilustrasi: Sidang pengadilan tindak pidana korupai. (Foto: Dok. Syaefunnur Maszah)Lebih jauh, keberhasilan implementasi UU Perampasan Aset akan memperkuat kepercayaan publik terhadap negara hukum dan demokrasi. Dalam negara demokratis, transparansi dan akuntabilitas adalah fondasi moral kekuasaan. Penegakan hukum yang tegas terhadap kejahatan finansial akan menunjukkan bahwa negara benar-benar berpihak kepada rakyat, bukan kepada oligarki.Namun demikian, transparansi dalam pelaksanaan undang-undang ini mutlak diperlukan. Mekanisme pengawasan dari lembaga independen seperti KPK, pengadilan yang terbuka, dan partisipasi masyarakat sipil akan menjadi kunci keberhasilan. Tanpa itu, undang-undang ini bisa berubah menjadi senjata hukum yang membahayakan demokrasi.RUU Perampasan Aset juga perlu memperhatikan aspek waktu. Seperti disinggung Kurnia Ramadhana, proses hukum yang berlarut-larut sering membuat nilai aset menurun drastis. Maka, sistem percepatan penyitaan dan penyelesaian perkara perlu dirancang secara efisien, tanpa mengorbankan hak-hak dasar warga negara.Selain itu, pembentukan pengadilan khusus perampasan aset bisa menjadi opsi penting agar penanganan kasus lebih profesional dan bebas intervensi. Model semacam ini telah terbukti berhasil di beberapa negara, termasuk Hong Kong dan Singapura, yang berhasil menekan tingkat korupsi secara signifikan melalui pendekatan hukum ekonomi.Akhirnya, keberhasilan undang-undang ini tidak hanya bergantung pada teks hukum, tetapi pada political will dan integritas aparat penegak hukum. Indonesia sudah terlalu lama berada dalam pusaran korupsi sistemik. Jika RUU ini dijalankan dengan semangat keadilan dan bukan balas dendam politik, maka ia bisa menjadi tonggak penting dalam membangun peradaban hukum yang bersih, berintegritas, dan demokratis.Sebagaimana pernah dikatakan Mohammad Hatta, “Korupsi adalah musuh utama dari demokrasi, karena ia menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap negara.” Kalimat itu kembali terasa relevan hari ini. RUU Perampasan Aset bukan sekadar instrumen hukum, tetapi cermin sejauh mana bangsa ini berani memerangi penyakit lama yang melemahkan moral dan masa depan republik. Bila dijalankan dengan niat yang lurus, hukum bisa kembali menjadi jalan menuju keadilan — bukan sekadar alat kekuasaan.