Perjuangan Panjang Marsinah, Buruh Perempuan yang Kini Jadi Pahlawan Nasional

Wait 5 sec.

Presiden Prabowo Subianto memberikan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional 2025 kepada ahli waris Marsinah di Istana Negara, Jakarta Pusat,Senin (10/11/2025). Foto: Youtube/Sekretariat PresidenPemerintah Indonesia resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada aktivis buruh perempuan Marsinah, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2025. Penghargaan ini menjadi penanda penting atas perjuangan seorang buruh perempuan yang dengan keberanian dan keteguhannya menentang ketidakadilan sistemik terhadap kaum pekerja.Lahir di Nganjuk, Jawa Timur, pada 10 April 1969, Marsinah tumbuh sebagai sosok sederhana yang gigih dan mandiri. Setelah menamatkan sekolah menengah, ia bekerja sebagai buruh di pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo. Di pabrik itulah kisah perjuangan Marsinah bermula. Sejarah mencatat, perempuan 24 tahun itu tidak gentar bersuara meski harus berhadapan dengan kekuasaan yang represif.Awal PerlawananAksi topeng Marsinah Foto: ANTARA FOTO/Hendra NurdiyansyahPada awal Mei 1993, situasi di pabrik tempat Marsinah bekerja memanas. Para buruh menuntut perbaikan kondisi kerja dan kenaikan upah yang lebih layak. Tanggal 2 Mei 1993, Marsinah tercatat hadir dalam rapat yang merencanakan aksi mogok kerja massal sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dialami para buruh.Aksi mogok dimulai keesokan harinya, 3 Mei 1993. Para buruh turun menuntut keadilan, namun aksi tersebut sempat mendapat tekanan dari aparat keamanan. Meski diwarnai intimidasi, pada 4 Mei 1993, para buruh akhirnya berhasil menggelar perundingan dengan perwakilan perusahaan. Dalam pertemuan itu, mereka mengajukan 12 tuntutan yang mencakup perbaikan upah, jam kerja, hingga jaminan kesejahteraan pekerja. Hasil kesepakatan dituangkan dalam Surat Persetujuan Bersama, yang menjadi kemenangan kecil bagi perjuangan buruh.Namun, kemenangan itu hanya bertahan sesaat. Pada 5 Mei 1993, sebanyak 13 buruh dipanggil ke Komando Distrik Militer (Kodim) 0816 Sidoarjo dan dipaksa mengundurkan diri dari pekerjaan mereka. Meski sempat menolak, tekanan dan intimidasi membuat mereka akhirnya menyerah. Mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri bersegel dan menerima pesangon yang diberikan di luar prosedur resmi.Hilangnya Sang AktivisAktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan membawa poster Marsinah saat mengikuti aksi Kamisan ke-860 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (8/5/2025). Foto: ANTARA FOTO/Asprilla Dwi AdhaMarsinah, yang dikenal vokal dan berani, tidak tinggal diam. Ia mengetahui tindakan represif tersebut dan sempat menulis petunjuk bagi kawan-kawannya tentang bagaimana menghadapi interogasi di kantor Kodim. Hari itu juga, ia mendatangi pabrik untuk menyampaikan surat protes, yang diterima oleh petugas keamanan pabrik. Ia juga berkunjung ke rumah sejumlah rekan kerja sebagai bentuk solidaritas.Namun pada malam hari, Marsinah hilang tanpa jejak. Rekan-rekannya tidak mengetahui ke mana ia pergi. Pencarian dilakukan, namun hasilnya nihil hingga tiga hari kemudian, 8 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan di sebuah gubuk di Desa Wilangan, Nganjuk. Tubuhnya penuh luka dan tanda-tanda penyiksaan berat. Ia diduga telah diculik, diperkosa, dan disiksa secara kejam sebelum meninggal.Kematian Marsinah mengguncang publik. Perempuan muda yang bermimpi kuliah di fakultas hukum itu menjadi simbol perlawanan terhadap kekerasan negara dan ketidakadilan sosial yang menimpa buruh. Kasusnya dianggap sebagai salah satu pelanggaran hak asasi manusia berat di Indonesia pada era Orde Baru, bahkan kasus yang hingga kini belum menemukan keadilan sepenuhnya.Simbol Perjuangan Perempuan PekerjaFoto Marsinah saat penganugerahan gelar Pahlawan Nasional 2025 di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025). Foto: Zamachsyari/kumparanMarsinah bukan hanya pejuang buruh. Ia juga mewakili suara perempuan pekerja yang selama ini sering berada di posisi paling rentan dalam struktur industri. Perempuan kerap digaji lebih rendah, tidak mendapat jaminan sosial yang layak, serta menjadi sasaran diskriminasi dan pelecehan di tempat kerja.Menurut Elza Qorina Pangestika, Kepala Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta, perjuangan Marsinah membuka bab penting dalam sejarah hubungan antara gender dan ketenagakerjaan di Indonesia.“Perjuangan Marsinah bukan hanya tentang buruh secara umum, melainkan juga tentang keberanian perempuan untuk menuntut hak dan kesetaraan di ruang publik yang sering mengabaikan suara mereka,” ujar Elza dilansir laman Kemendikbud Dikti.Dalam konteks tersebut, Marsinah dianggap mewujudkan semangat feminisme kerja (working feminism), sebuah gerakan yang menegaskan bahwa perempuan layak diakui bukan karena kelembutan atau peran tradisionalnya, melainkan karena kompetensi dan kontribusi nyata mereka di dunia kerja.Warisan dan Pengakuanilustrasi Marsinah. Foto: Toto Santiko Budi/ShutterstockLebih dari tiga dekade setelah kematiannya, nama Marsinah tetap hidup dalam ingatan publik. Ia menjadi inspirasi bagi gerakan buruh dan aktivis perempuan lintas generasi. Setiap tahun, peringatan atas kematiannya dijadikan momentum refleksi tentang perjuangan buruh, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender.Kini, pada 2025, pemerintah akhirnya memberikan pengakuan resmi atas jasa dan pengorbanannya dengan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional. Penghargaan ini tidak hanya menegaskan posisi Marsinah sebagai tokoh penting dalam sejarah perjuangan buruh Indonesia, tetapi juga sebagai simbol keberanian perempuan yang menolak bungkam di tengah penindasan.Saudara perempuan almarhum Marsinah, Wijiyati (kiri) dan Marsini (kedua kiri) mengikuti upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional 2025 di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERSPenganugerahan ini disambut haru oleh keluarga. Anugrah gelar Pahlawan Nasional bagi Marsinah diberikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara dan diterima oleh sang kakak, Marsini dan adik, Wijiyanti. Keduanya terlihat beberapa kali menangis selama acara penganugerahan pahlawan nasional. Gelar ini juga disambut hangat oleh serikat, komunitas buruh, dan kelompok perempuan yang selama ini menjadikan Marsinah sebagai figur teladan. Baca Juga: Sosok Marsinah, Aktivis yang Kehilangan Nyawa saat Perjuangkan Hak Buruh