Profesor Hukum AS Gugat Universitas Tempatnya Mengajar Gegara Larangan Berargumen Tentang Israel

Wait 5 sec.

Ilustrasi aktivitas belajar mengajar di universitas. (Pixabay-Nikolayhg)JAKARTA - Seorang profesor hukum Amerika Serikat (AS), Ramsi Woodcock, menggugat universitas tempatnya mengajar setelah institusi pendidikan tersebut melarangnya mengajar dan berargumen negatif tentang IsraelThe Guardian melaporkan, gugatan Woodcock itu diajukan ke Pengadilan Federal AS terhadap Universitas Kentucky.Berkas gugatan Woodcock menjabarkan bahwa amandemen pertama dan hak proses hukumnya dilanggar ketika Universitas Kentucky menginvestigasinya pada Juli 2025, beberapa hari setelah ia dipromosikan menjadi profesor penuh.Investigasi tersebut didasarkan pada tuduhan bahwa Woodcock telah melanggar kebijakan universitas tentang aturan antidiskriminasi.Namun, aturan-aturan tersebut sebagian didasarkan pada definisi antisemitisme dari Aliansi Peringatan Holocaust Internasional, yang telah terbukti sangat kontroversial dan diperdebatkan oleh berbagai akademisi dan organisasi hak asasi manusia.Apa yang dialami Woodcock disebut sebagai eskalasi dari reaksi keras universitas-universitas di AS terhadap ujaran dan aktivitas pro-Palestina.Di seluruh AS, anggota fakultas di lembaga publik dan swasta telah diselidiki atas kritik terhadap Israel, dan dalam banyak kasus telah dipecat.Gugatan Perdana Gugatan Woodcock ini menjadi yang pertama diajukan oleh seorang profesor terhadap sebuah universitas yang menggugat konstitusionalitas definisi antisemitisme IHRA dan penerapan perlindungan antidiskriminasi federal berdasarkan Judul VI terkait kritik terhadap Israel.Gugatan tersebut menyatakan: “Judul VI tidak dan tidak dapat secara konstitusional melarang kritik terhadap Israel. Sejauh definisi IHRA melarang seruan untuk pembongkaran struktur negara kolonial, melarang akademisi hukum untuk memperdebatkan kontur hak penentuan nasib sendiri, melarang tuduhan diskriminasi rasial, dan melarang tuduhan genosida, definisi IHRA tersebut inkonstitusional.”Ilustrasi. Mahasiswa Universitas North Carolina, AS, mendirikan tenda dalam rangkaian demonstrasi di kampus menentang serangan Israel ke Gaza, Palestina pada akhir April 2024. (Instagram @uncsjp) Juru Bicara Universitas Kentucky, Jay Blanton mengatakan pihak universitas telah 'menghukum' Woodcock dengan memberikan pekerjaan yang berbeda. Blanton berdalih keputusan universitas tersebut salah satunya lantaran petisi yang diluncurkan oleh Gerakan Studi Hukum Antizionis, sebuah kelompok yang didirikan oleh Profesor hukum AS tersebut.Petisi tersebut menyatakan: “Kami menuntut agar setiap negara di dunia segera berperang melawan Israel dan sampai Israel tunduk secara permanen dan tanpa syarat kepada pemerintahan Palestina di mana pun, dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania.”Rektor Universitas Eli Capilouto menuduh kelompok tersebut "menyerukan penghancuran suatu bangsa berdasarkan asal-usul kebangsaan," dan menambahkan bahwa hal itu "mengancam keselamatan dan kesejahteraan mahasiswa dan staf universitas."Namun, Woodcock telah membantah tuduhan terhadap petisi tersebut.Universitas Kentucy kemudian mengajukan tuntutan lebih lanjut terhadap Woodcock pada September 2025 dengan tuduhan sang profesor hukum itu menciptakan "lingkungan yang tidak bersahabat" di kampus."[Woodcock] menyerukan kekerasan terhadap Israel, genosida rakyat Israel, dan penghancuran Israel sepenuhnya dengan cara yang menggunakan kiasan antisemit," bunyi tuduhan Universitas Kentucky dalam berkas gugatan.Woodcock menanggapi tuduhan tersebut dengan mengutip Universitas Kentucy mengalami kemunduran lebih dari 80 koloni Barat pada abad terakhir. Dia menambahkan: "Apakah Presiden Capilouto benar-benar percaya bahwa masing-masing koloni melibatkan penghancuran suatu bangsa, alih-alih pembebasan satu bangsa?"Woodcock diwakili oleh Dewan Hubungan Amerika-Islam dalam menanggapi tuntutan-tuntutan tersebut. Dewan itu juga telah menggambarkan petisi awal yang dikutip oleh Universitas Kentucy sebagai pernyataan yang dilindungi secara konstitusional.Wakil direktur litigasi CAIR, Gadeir Abbas, mengatakan kepada The Guardian bahwa seandainya Woodcock mengeluarkan pendapat atau argumen yang sama tentang negara lain, termasuk AS, "dia bebas berbuat sesuka hatinya ... tetapi karena ini tentang Israel, Universitas Kentucky telah menyerah pada histeria tersebut."Woodcock mengatakan kepada The Guardian: "Jika Israel memiliki hak untuk hidup, maka Aljazair Prancis memiliki hak untuk hidup dan Kemaharajaan Inggris memiliki hak untuk hidup."Dia mengatakan bahwa negara mana pun di masa depan yang berada di wilayah Israel saat ini harus mengizinkan Palestina untuk menentukan kebijakannya sendiri, dan "itu termasuk, menurut pendapat Palestina, hak untuk menentukan status hukum penduduk penjajah," sambungnya.“Meskipun prinsip bahwa hanya Palestina yang boleh memutuskan merupakan hal yang penting untuk mempertahankan aturan anti-kolonisasi, kemungkinan besar Palestina akan memberikan hak yang sama kepada penduduk penjajah,” kata Woodcock.