VISI dan AKSI Sepakat Penyanyi Tak Wajib Bayar Royalti Performing Rights

Wait 5 sec.

Ketua AKSI Satriyo Yudi Wahono atau Piyu bersama Ketua asosiasi penyanyi dari VISI Armand Maulana dan Wakil Ketua VISI Ariel menyampaikan pendapat saat RDPU dengan Baleg DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/11/2025). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTOPolemik mengenai kewajiban pembayaran royalti musik bagi para penyanyi atau EO akhirnya menemukan titik terang. Dua asosiasi yang kerap beda pandangan, Vibrasi Suara Indonesia (VISI) dan Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), sepakat bahwa penyanyi bukan pihak yang harus membayar royalti atas hak pertunjukan (performance rights).Kesepakatan ini didapat setelah mereka ikut Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Selasa (11/11).Ariel NOAH yang mewakili VISI, mengaku lega atas kesepahaman ini.Musisi sekaligus ketua VISI, Nazril Irham alias Ariel Noah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (11/11/2025). Foto: Abid Raihan/kumparan"Yang paling penting sebenarnya hari ini kami senang ada statement langsung dari pihak AKSI yang mengutarakan bahwa memang bukan penyanyi yang harus bayar untuk performance rights," ujar Ariel.Menurut Ariel, kesepahaman ini bisa menghentikan praktik somasi terhadap penyanyi yang masih terjadi hingga dua minggu lalu, meski sudah ada moratorium dari Menteri. Ia mencontohkan kasus seorang penyanyi legendaris yang disomasi karena membawakan lagu sendiri yang sudah lama ia populerkan."Karena statement itu datang langsung dari AKSI, mudah-mudahan bisa jadi lebih tegas ke orang-orang, apalagi oknum oknum, jangan sampai ada lagi," tegas Ariel.Rapat dengar pendapat (RDP) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama VISI, AKSI, dan ASIRI terkait RUU Hak Cipta di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat pada Selasa (11/11). Foto: Abid Raihan/kumparanDari pihak AKSI, Piyu gitaris Padi Reborn mengonfirmasi bahwa tanggung jawab utama pembayaran royalti memang berada di tangan penyelenggara acara (event organizer). Hal ini, menurutnya, sejalan dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 27 Tahun 2025."Itu mungkin berdasarkan Permenkumham. Tanggung jawab bayar royalti adalah dari penyelenggara. Kita sepakat, memang dari dulu seperti itu," ujar Piyu.Meski demikian, Piyu memberikan catatan bahwa apabila penyelenggara acara tidak transparan, kabur, atau tidak dapat dihubungi, maka pencipta seharusnya memiliki hak menagih kepada pihak yang tampil, yaitu penyanyi."EO-nya sudah bubar, EO-nya kabur. Nah, kita tagihnya ke siapa? Ya penyanyi dong. Itu aja sih logika yang sangat simpel," jelas Piyu.Terlepas dari perbedaan tersebut, mereka menunjukkan kesamaan untuk solusi jangka panjang, yaitu perbaikan tata kelola royalti melalui digitalisasi di bawah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).Baik Ariel atau Piyu sepakat bahwa sistem digital yang transparan adalah kunci memastikan semua pihak, baik pencipta lagu maupun penampil, mendapat kejelasan dan keadilan."Tadi juga di ruangan rapat semua sepakat bahwa LMK dan LMKN itu mesti segera diperbaiki," kata Ariel."Dengan digitalisasi, jelas siapa yang dapat, jelas semuanya, berapa jumlahnya, karena apa, dan di mana," tutup Ariel.