Foto karya Luthfiah VOIJAKARTA – Fenomena Purbaya Effect ternyata menggoda lembaga survei untuk mengetahui tingkat elektabilitas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk Pemilihan Umum atau Pemilu 2029 mendatang.Adalah Lembaga riset IndexPolitica Indonesia yang diketahui telah merilis hasil survei mengenai calon presiden, calon wakil presiden, hingga partai politik untuk Pemilu 2029. Tak tanggung-tanggung, nama Purbaya berada di posisi kedua dalam kategori elektabilitas calon presiden, tepat setelah Presiden Prabowo Subianto!Dalam survei ini, Purbaya bahkan mengalahkan figur politik seperti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Anies Baswedan hingga Ganjar Pranowo. “Untuk top of mind calon presiden 2029 Prabowo Subianto berada di urutan pertama dengan 40,12 persen, di peringkat kedua adalah Purbaya Yudhi Sadewa dengan 22,50 persen,” ungkap Direktur Eksekutif IndexPolitica Indonesia, Denny Charter, Rabu, 29 Oktober lalu.Data dari Netray Setelah nama Prabowo dan Purbaya, Anies menyusul di posisi ketiga dengan 13,40 persen, Ganjar di peringkat empat dengan 7,12 persen. Sementara elektabilitas Gibran sebesar 4,80 persen atau masih di bawah Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebesar 5,12 persen.Survei elektabilitas capres 2029 ini juga memunculkan nama-nama seperti Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (2,50 persen), Menteri Pemuda dan Olahraga Erick Thohir (1,12 persen), Mahfud Md (0,10 persen), serta Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra (0,10 persen).Selain di posisi capres, nama Purbaya juga muncul dalam survei elektabilitas calon wakil presiden. Mantan Kepala LPS itu bahkan menempati posisi tertinggi dengan 28,65 persen, mengungguli Dedi Mulyadi (20,15 persen), Agus Harimurti Yudhoyono (15,75 persen) dan Gibran (12,35 persen).Denny menyebut, hasil survei ini seperti mengakui eksistensi dari Purbaya Effect. Dalam waktu singkat, Purbaya berhasil mendapatkan popularitas yang tinggi dengan kebijakan dan tindakannya saat mulai menjabat sebagai Menteri Keuangan.Adapun survei IndexPolitica bertajuk Menakar Persepsi Masyarakat terkait Isu Politik Menuju Pemilu 2029 ini dilakukan pada 1 hingga 10 Oktober 2025 dengan metode multistage random sampling. Survei dilakukan dengan kuesioner yang terdiri atas kurang lebih 72 pertanyaan dengan jumlah sample 1.610 responden. IndexPolitica menyatakan tingkat kesalahan atau margin of error survei ini 1,6 persen, dengan tingkat kepercayaan 95 persen.Kegundahan Publik Dibalik Popularitas PurbayaPengamat sosio politik Helios Strategic Institute, Musfi Romdoni, menilai bahwa secara metode, Purbaya Effect memiliki kemiripan dengan Jokowi Effect maupun Dedi Mulyadi Effect. Ia menjelaskan bahwa saat ini politik Indonesia tengah memasuki fase yang disebut sebagai fenomena politik selebritas, di mana politik bekerja layaknya industri hiburan. Dalam konteks ini, sosok yang viral dan populer cenderung secara otomatis meningkatkan daya tarik dan tingkat kesukaan publik terhadap dirinya.“Ini yang kemudian dalam terminologi politik atau mungkin dalam bahasa-bahasa kekinian disebut dengan efek-efek yang tadi, kalau konteksnya Pak Purbaya tentu Purbaya Effect,” tuturnya.Kendati demikian, Musfi melihat adanya perbedaan signifikan antara Purbaya Effect dengan Jokowi Effect dan KDM Effect. Jokowi Effect terbentuk dalam rentang waktu yang panjang dan organik, sedangkan Purbaya Effect muncul secara cepat dan instan. Dalam waktu dua hingga tiga hari saja, persepsi publik yang semula negatif terhadap Purbaya dapat berbalik menjadi positif secara drastis.Data dari Netray Penilaian berbeda dilontarkan mantan anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Ferry Latuhihin. Menurutnya, popularitas Purbaya merupakan cermin daripada masyarakat yang tidak punya harapan. Figur Purbaya dengan gaya koboi membuat masyarakat seperti menemukan juru selamat.“Inilah Satrio Piningit gitu kan. Kenapa dia bisa tiba-tiba populer, figur yang from zero tiba-tiba jadi hero? Karena tadi ketika masyarakat gundah, ketika masyarakat tidak punya harapan, dia mencari figur yang bisa memberikan harapan, kan gitu. Jadi di balik popularitas Purbaya sebetulnya yang men-support adalah ketidakberdayaan masyarakat,” jelasnya.Dia membandingkan Purbaya Effect dengan Jokowi Effect saat 2014 silam, di mana Jokowi dilabeli sebagai New Hope atau Harapan Baru. Saat itu, di tengah kegundahan masyarakat yang tidak punya tabungan, susah mencari kerja, tingkat pengangguran tinggi, informal sektor semuanya mengandalkan UMKM, muncullah satu figur yang dianggap Satrio Piningit.“Sama pada waktu Jokowi (tahun) 2014. Banyak orang mencibir ini tukang mebel, gimana bisa jadi presiden? Tapi, di tengah kondisi masyarakat saat itu, figur Jokowi justru dianggap sebagai juru selamat walaupun dia tukang mebel kan gitu,” kata Ferry.Alumnus Erasmus University Rotterdam ini menegaskan, pertarungan politik memang ada di popularitas dibanding rasionalitas. Bukan hanya di Indonesia, hal yang sama juga terjadi di negara-negara super maju seperti Amerika Serikat. “Pertarungan politik memang ada di popularitas ketimbang rasionalitas. Bahkan di negara super maju macam USA. Apalagi di Konoha yang rakyatnya gampang sekali diiming-imingi janji-janji semanis teh botol,” tukas Ferry.Dia menambahkan, kekhawatirannya pada sosok Purbaya adalah pengetahuannya soal ekonomi yang dinilai masih minim untuk menjadi seorang pengambil kebijakan dan keputusan. “Yang sangat mengkhawatirkan, pengetahuan Purbaya soal ekonomi terlalu minim untuk menjadi decision and policymaker. Bahkan banyak hal-hal yang sangat basic dia tidak paham,” sambung Ferry.Kesuksesan Program Akan Membawa Purbaya ke Pilpres 2029Pengamat politik, Adi Prayitno mengakui, popularitas Purbaya saat ini memang tengah menjadi sorotan publik. Tapi hal itu bisa berubah sewaktu-waktu, mengingat dalam politik, tidak ada jaminan seseorang akan terus disukai atau berada di puncak survei elektabilitas.Dia menyebut bila popularitas bersifat sangat fluktuatif, tergantung dari langkah dan gaya politik yang dilakukan oleh tokoh tersebut. Adi menilai, karakter blak-blakan dan gaya ‘koboi’ Purbaya menjadi salah satu faktor yang membuatnya menarik perhatian publik. Namun, jika gaya itu mulai hilang, maka simpati publik bisa menurun drastis. “Kalau Purbaya tiba-tiba di kemudian hari tidak lagi memakai gaya koboinya, tidak lagi blak-blakan, tidak lagi gaspol, maka respons publik akan negatif. Siap-siap saja menteri ini akan dibully dan dikritik,” imbuhnya.Selain itu, popularitas juga tidak akan bertahan lama jika tidak diikuti dengan kebijakan nyata yang berdampak langsung pada masyarakat. “Kalau gaya politik Purbaya hanya sebatas gimik atau retorika politik tanpa melahirkan kebijakan yang esensial di bidang ekonomi, maka siap-siaplah, orang seperti Purbaya yang kini paling populer bisa kehilangan dukungan publik,” tegas Adi.Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro juga mengakui bila lonjakan elektabilitas Purbaya merupakan fenomena menarik dalam peta politik nasional. Tapi, posisi tersebut masih belum dapat dikatakan final karena masih bergantung kinerja Purbaya untuk menjawab ekspektasi publik terhadap pemulihan ekonomi. “Kalau dalam agenda politik, hukum elektoral itu ada tiga. Pertama popularitas, kedua akseptabilitas, dan yang ketiga elektabilitas,” ungkapnya.Dia menjelaskan, dari sisi popularitas, Purbaya dikenal publik berkat kiprahnya di sektor ekonomi dan posisinya sebagai menteri keuangan. Namun, ia menyebut popularitas tersebut masih relatif baru dan belum sepenuhnya mengakar di kalangan pemilih yang lebih luas. Sementara dalam aspek akseptabilitas, yakni sejauh mana Purbaya diterima oleh kalangan elit maupun masyarakat umum, responsnya masih beragam karena sebagian kaum elite contohnya partai politik mulai menyukai sosok Purbaya, tetapi di sisi lain sebagian publik masih berpikir-pikir.“Akseptabilitas tersebut akan diuji oleh kinerja Purbaya dalam menjalankan kebijakan perekonomian Indonesia, bagaimana beliau mengembalikan ekonomi ke jalur pertumbuhan tinggi, menekan angka pengangguran, mengatasi kemiskinan kota, dan menjaga kestabilan harga-harga,” katanya.Sementara untuk aspek elektabilitas, Agung menegaskan bila popularitas tanpa kinerja tidak akan bertahan lama. Banyak figur publik yang sangat populer pada awalnya, namun akhirnya kehilangan popularitas ketika masuk ke arena politik praktis. “Ada juga tokoh yang populernya 100 persen, tetapi ketika masuk ke ranah politik langsung unblock. Pada tahap elektabilitas justru makin tergerus,” tuturnya.Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa. (Foto: Dok. Antara) Di sisi lain, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa mengaku tidak tertarik untuk terjun ke dunia politik meskipun elektabilitasnya tercatat tinggi, seiring dengan namanya yang kian populer. “Saya enggak tertarik politik. Saya mau kerja aja,” ujarnya usai menghadiri rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta, beberapa waktu lalu.Ketika ditanya lebih lanjut soal elektabilitasnya yang tinggi, Purbaya kembali menjawab normatif soal dirinya yang tidak tertarik bergabung ke politik. “Saya enggak tertarik politik, Mas,” tukasnya.Sebagai pejabat yang memegang jabatan sangat strategis dan memiliki popularitas serta elektabilitas tinggi, terutama untuk posisi calon wakil presiden pada Pilpres 2029, pilihan untuk terjun ke politik praktis memang berada di tangan Purbaya Yudhi Sadewa sendiri. Tapi akan lebih baik jika dia fokus bekerja sebagai teknokrat dengan jabatan politis sebagai Menteri Keuangan.Pada saatnya tiba, terutama jika semua kebijakan yang diucapkan dan tersimpan dalam memori publik berhasil diimplementasikan dengan baik, maka tawaran dan pinangan untuk mengisi posisi calon wakil presiden pada Pilpres 2029 akan datang dengan sendirinya. Sebab, hal itu sudah lazim dan biasa saja dalam dunia politik, terutama di Indonesia.