Di sebuah ruang kecil di Darussalam, Banda Aceh, suara rapa’i dan gitar klasik berpadu di udara sore. Mahasiswa dari berbagai disiplin — musik, tari, rupa, dan drama — berlatih tanpa lelah. Di tengah semangat itu, terselip kegelisahan, yakni: sistem akademik yang menaungi mereka sering kali tak memahami apa yang sebenarnya mereka perjuangkan. Begitulah potret pendidikan seni di tempat saya berkiprah, Universitas Syiah Kuala (USK): gairah yang besar, tapi terhimpit dalam struktur yang seragam dan kaku.Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) FKIP, USK (Foto: Ari Palawi, 2025)Persoalan serupa sebenarnya juga terjadi di banyak universitas umum di Indonesia — ketika seni ditempatkan di ruang yang seragam dengan ilmu eksakta. Sistem tata kelola dan kebijakan pendidikan tinggi yang disusun berdasarkan paradigma ilmiah-rasional sering kali tidak memberi ruang bagi cara berpikir artistik yang lentur, reflektif, dan berbasis pengalaman. Akibatnya, seni di kampus umum berjalan dalam ambiguitas: diakui secara administratif, namun tak pernah sepenuhnya diterima sebagai pengetahuan yang sahih.Mengapa Suprastruktur Perlu Dibenahi Lebih DuluSebelum berbicara tentang kurikulum, fasilitas, atau laboratorium, kita harus membenahi cara berpikir yang menopang semuanya. Suprastruktur di sini bukan sekadar bagan organisasi, melainkan kerangka epistemik — bagaimana universitas memahami dan mengakui pengetahuan seni sebagai bentuk intelektualitas yang utuh.Selama ini, sistem tata kelola di perguruan tinggi, terutama di PTNBH seperti USK, terlalu banyak meniru pola dari disiplin ilmu eksakta dan sosial konvensional. Semua harus distandarisasi: mulai dari format Rencana Pembelajaran Semester (RPS) hingga metode penilaian. Dosen seni sering kali dihadapkan pada format administrasi yang tidak selaras dengan karakter kreatif proses pembelajaran. Akibatnya, yang diukur adalah angka dan indikator, bukan makna dan pengalaman.Dalam artikel saya sebelumnya, FKIP di Titik Kritis: Antara Warisan Sejarah dan Tuntutan Transformasi, saya menyebut hal ini sebagai gejala epistemik yang berbahaya: kampus sedang kehilangan keberanian untuk berbeda dalam berpikir dan mengajar. Padahal, pendidikan seni lahir dari keberbedaan itu sendiri — dari keberanian untuk menempuh jalan yang tak umum, menantang kelaziman, dan mencari bentuk pengetahuan baru.Empat Prinsip Tata Kelola Pendidikan Seni yang MajuUntuk mengembalikan vitalitas pendidikan seni di universitas umum seperti USK, ada empat prinsip suprastruktural yang perlu ditegakkan:1. Otonomi EpistemikProgram studi seni harus diberi ruang untuk mengembangkan kerangka pengetahuan dan metode penilaiannya sendiri. Otonomi ini bukan bentuk pemisahan, melainkan pengakuan terhadap keunikan cara berpikir artistik.Otonomi epistemik seperti ini terbukti berhasil di ISI Yogyakarta, yang kini diakui secara internasional melalui kolaborasi riset bersama lembaga seni Belanda dan Australia. Di sana, karya seni tidak hanya dianggap sebagai hasil ekspresi, tetapi sebagai bentuk riset dan pengetahuan yang dapat diuji serta diakui secara akademik.2. Dewan Kuratorial AkademikAlih-alih bergantung pada birokrasi linier, tata kelola pendidikan seni perlu memperkuat mekanisme kuratorial — melibatkan seniman, peneliti, dan tokoh budaya lokal dalam perumusan kebijakan program studi.Dewan ini dapat berfungsi sebagai jembatan antara kampus dan masyarakat seni, memastikan bahwa pendidikan seni selalu berpijak pada realitas kebudayaan dan kebutuhan zaman. Konsep ini sejalan dengan community-engaged learning, di mana kampus bukan menara gading, tetapi ruang kolaboratif.3. Kepemimpinan ReflektifPemimpin akademik di bidang seni harus lebih dari sekadar administrator; mereka perlu menjadi pemimpin intelektual yang memahami dinamika kreativitas dan perubahan budaya.Regenerasi kepemimpinan di bidang seni perlu berbasis sensitivitas estetika, empati budaya, dan kemampuan membangun dialog lintas disiplin. Dengan kepemimpinan reflektif, kebijakan akademik tidak akan berhenti pada angka dan laporan, tetapi menyentuh esensi pembelajaran.4. Evaluasi Berbasis Proses KreatifPenilaian karya seni tidak bisa disamakan dengan ujian teori. Diperlukan sistem evaluasi yang menghargai proses: riset, refleksi, dan transformasi ide menjadi karya.Beberapa kampus seperti ISI Yogyakarta dan NAFA Singapura telah mengembangkan model practice-based research yang diakui secara internasional, di mana karya seni dianggap sebagai bentuk riset ilmiah itu sendiri.Mengapa Penyeragaman Menjadi Masalah SeriusMasalah terbesar dalam suprastruktur pendidikan seni bukan kekurangan dana, melainkan penyeragaman kebijakan. Ketika setiap program studi diwajibkan mengikuti model Outcome-Based Education yang sama, seni kehilangan konteksnya. Format administrasi yang kaku menghapus spontanitas dan eksplorasi kreatif. Dosen dan mahasiswa mulai merasa bahwa yang dihitung hanyalah nilai, bukan makna.Dalam tulisan saya, Revolusi Epistemik Jad 2025: Pengakuan Karya Seni sebagai Pengetahuan Akademik, saya menegaskan bahwa seni bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan bentuk pengetahuan. Maka, sistem penjaminan mutu kampus seharusnya menilai keberhasilan seni dari daya ciptanya terhadap masyarakat, bukan dari kelengkapan dokumen.Kritik terhadap sistem seperti ini bukanlah bentuk penolakan terhadap modernisasi, melainkan panggilan untuk memperbaikinya dari dalam. Sayangnya, ruang dialog di tingkat pimpinan sering tertutup; kritik dianggap ancaman, bukan kontribusi.Belajar dari Praktik Baik: Nasional dan InternasionalAda banyak contoh baik yang bisa dijadikan inspirasi.Di dalam negeri, ISI Denpasar membangun kurikulum berbasis Tri Hita Karana — yang menyatukan seni, spiritualitas, dan lingkungan dalam satu kesadaran ekologis yang utuh. Sementara ISI Surakarta mengintegrasikan riset seni tradisi ke dalam skema practice-led research yang memperkuat posisi karya sebagai pengetahuan.Di luar negeri, University of the Arts London dan Goldsmiths, University of London mengembangkan creative research units sebagai jantung akademiknya, tempat mahasiswa lintas disiplin berkolaborasi tanpa sekat fakultas. Pendekatan serupa dilakukan oleh University of Melbourne melalui Centre for Cultural Partnerships, yang menghubungkan seniman, ilmuwan, dan komunitas untuk riset bersama.Pendekatan ini bukan hanya sejalan dengan semangat Kampus Merdeka — yang membebaskan mahasiswa — tetapi juga membebaskan struktur berpikir kampus itu sendiri. Di situlah pendidikan seni menemukan napasnya kembali: bebas, reflektif, dan bermakna sosial.Seni sebagai Napas Kebudayaan dan PengetahuanDalam artikel Seni dalam Lanskap Pengetahuan, Martabat, dan Diplomasi Global, saya menulis bahwa seni adalah bagian dari diplomasi kebudayaan — ia mempertemukan identitas, martabat, dan kemanusiaan. Kampus yang sehat seharusnya menempatkan seni bukan sebagai pelengkap administratif, tetapi sebagai pusat refleksi pengetahuan bangsa.USK dan Aceh memiliki potensi luar biasa untuk menjadi model pendidikan seni berbasis nilai lokal yang terbuka terhadap dunia. Tradisi Aceh yang sarat makna — dari Seudati, Didong, hingga Hikayat — bisa menjadi sumber epistemik baru dalam pendidikan seni Indonesia. Tapi semua itu hanya mungkin jika kita memiliki suprastruktur yang mampu mendengar, bukan hanya mengatur: yang menghormati sejarah pendidikan seni di lingkungan universitas umum—membuka ruang bagi inovasi, dan mengakui keragaman cara mengetahui.Seni, Dialog, dan Keberanian untuk MengubahPendidikan seni sejatinya adalah ruang dialog antara manusia, budaya, dan pengetahuan. Di titik inilah keberanian akademik diuji—bukan untuk menyesuaikan diri dengan sistem, tetapi untuk menata ulang cara kita memahami ilmu itu sendiri.Seperti pernah saya tulis dalam Menguji Perdamaian di Kota Pelajar Aceh, perdamaian sejati lahir dari keberanian berdialog, bukan dari keseragaman. Prinsip yang sama berlaku di dunia kampus: perubahan dimulai ketika universitas berani mendengar suara dari ruang-ruang kecil—studio, sanggar, dan komunitas.Menata ulang suprastruktur pendidikan seni bukan soal administrasi, melainkan keberanian akademik untuk memulihkan martabat pengetahuan. Ketika kampus memberi ruang bagi perbedaan cara berpikir dan mencipta, seni akan kembali menjadi jantung universitas—tempat ilmu, kebudayaan, dan kemanusiaan berjumpa dalam satu napas.