Ilustrasi sumber:Foto oleh Monstera Production: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-berkemeja-putih-menggendong-bayi-5996874/Di tengah peringatan Hari Ayah setiap 12 November, kita sering kali merayakannya dengan cerita tentang ketangguhan dan tanggung jawab ayah sebagai pencari nafkah. Namun, ada sisi lain yang tak kalah penting: peran ayah dalam menjaga kesehatan anak, khususnya mencegah stunting—kondisi di mana anak gagal tumbuh optimal karena kekurangan gizi kronis. Stunting bukan hanya masalah tinggi badan, tapi juga ancaman bagi kecerdasan dan masa depan anak. Sayangnya, selama ini perhatian lebih banyak tertuju pada ibu, padahal ayah punya andil besar. Dari berbagai penelitian global, jelas bahwa keterlibatan ayah bisa menjadi kunci pencegahan, tapi di Indonesia, kebijakan kita masih perlu mengejar ketertinggalan ini (Boibalan et al., 2025).Progress Penurunan StuntingStunting telah menjadi isu nasional yang mendesak di Indonesia. Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting pada anak di bawah lima tahun turun menjadi 19,8% pada 2024, meskipun target 14% pada 2024 belum tercapai sepenuhnya (Lestari, 2025). Kondisi ini tidak hanya memengaruhi pertumbuhan fisik anak, tetapi juga perkembangan kognitif, yang pada akhirnya berdampak pada produktivitas bangsa. World Health Organization (WHO) mendefinisikan stunting sebagai gangguan pertumbuhan kronis yang disebabkan oleh faktor multifaset, termasuk nutrisi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi yang tidak memadai selama 1.000 hari pertama kehidupan (WHO, 2023). Di Indonesia, stunting sering dikaitkan dengan kemiskinan, akses sanitasi yang buruk, dan pola pengasuhan yang tidak optimal. Namun, satu aspek yang sering terlupakan adalah peran ayah dalam dinamika keluarga ini.Peran AyahMari kita mulai dari akar masalahnya. Stunting sering kali dipicu oleh faktor keluarga, seperti akses makanan bergizi yang kurang, pola makan yang buruk, dan paparan penyakit. Di sini, peran ayah sering terabaikan, tapi justru bisa menjadi penyebab tidak langsung. Penelitian dari Universitas Indonesia menunjukkan bahwa ketika ayah kurang terlibat dalam pengasuhan, keluarga cenderung kurang sadar akan pentingnya gizi seimbang (Boibalan et al., 2025). Misalnya, ayah yang jarang ikut memantau pola makan anak atau tidak mendukung ibu dalam menyusui, bisa membuat risiko stunting meningkat. Studi di Bangladesh juga mengungkap bahwa jarak kelahiran anak yang terlalu dekat—sering kali karena kurangnya perencanaan keluarga bersama ayah—memperburuk kondisi ini, karena ibu belum pulih sepenuhnya dan sumber daya keluarga terpecah (Saha et al., 2025). Singkatnya, ketidakhadiran ayah dalam urusan sehari-hari bisa memperlemah fondasi kesehatan anak.Lebih lanjut, Bustami (2025) menegaskan hubungan antara peran ayah dan pencegahan stunting. Ayah yang berperan sebagai pengasuh, pendidik, pengawas, pembentuk disiplin, pelindung, dan pendukung secara signifikan mengurangi risiko stunting. Dalam konteks Indonesia, di mana norma budaya sering menempatkan ayah sebagai penyedia utama, kurangnya keterlibatan ini memperburuk masalah. Sebuah studi literatur menunjukkan bahwa ayah yang tidak aktif dalam pengasuhan meningkatkan kemungkinan anak mengalami malnutrisi, karena keputusan nutrisi sering jatuh pada ibu saja (Bustami, 2025). Faktor lain seperti pendidikan ayah yang rendah atau pekerjaan yang menuntut waktu panjang juga berkontribusi, membuat ayah sulit berpartisipasi dalam rutinitas harian anak.Sebaliknya, ayah yang aktif justru menjadi pelindung utama. Penelitian yang sama menekankan bahwa ayah yang terlibat dalam pengasuhan—seperti memastikan anak makan makanan bergizi, memberikan dukungan emosional pada ibu, dan mengelola keuangan keluarga untuk prioritas kesehatan—bisa menurunkan risiko stunting secara signifikan (Boibalan et al., 2025). Anak-anak dengan ayah seperti ini cenderung memiliki pola makan lebih baik, karena ayah membantu menciptakan kesadaran keluarga tentang nutrisi. Dukungan finansial dari ayah juga memastikan akses ke makanan sehat dan layanan kesehatan, sementara kehadiran emosionalnya membuat ibu lebih tenang dalam merawat anak. Ini bukan soal siapa yang lebih bertanggung jawab, tapi bagaimana ayah dan ibu bekerja sama untuk membangun masa depan anak yang lebih kuat.Studi dari UNICEF menambahkan bahwa ayah yang terikat dengan bayi sejak dini lebih mungkin memainkan peran aktif dalam perkembangan anak, termasuk nutrisi (UNICEF, 2023). Di Indonesia, penelitian dari Agincourt Resources menekankan bahwa stunting bukan hanya soal kemiskinan, tapi juga pola pengasuhan dan perilaku hidup bersih sehat, di mana peran ayah perlu ditingkatkan (Agincourt Resources, 2023). Sebuah penelitian komunitas di Indonesia menemukan bahwa ayah yang terlibat dalam pencegahan stunting secara harian, seperti persiapan makanan dan dukungan psikososial, mengurangi kejadian stunting (Rahmadiyah et al., 2024). Ini menunjukkan bahwa keterlibatan ayah bukan hanya tambahan, tapi esensial.Inovasi Puskesmas Meningkatkan Peran AyahDi tingkat lokal, sudah ada inovasi menarik dari puskesmas sebagai garda terdepan layanan kesehatan. Di Puskesmas Omben, Jawa Timur, program “Bapakku Hebat” berhasil melibatkan ayah melalui posyandu keluarga, di mana ayah diajak ikut penyuluhan gizi, pemantauan kesehatan anak, dan kegiatan bersama (Enggar et al., 2025). Hasilnya? Risiko stunting turun 10% dalam setahun, berkat kolaborasi dengan pemerintah desa dan komunitas petani. Program ini menggunakan jaringan lokal untuk mengubah pandangan bahwa pengasuhan hanya urusan ibu. Sementara itu, di Universitas Muhammadiyah Palembang, program pengabdian masyarakat fokus pada edukasi ayah tentang nutrisi, yang berhasil meningkatkan partisipasi ayah dalam pengasuhan (Sulistyorini, 2025). Inovasi ini sederhana tapi efektif: menggunakan jaringan lokal untuk mengubah norma budaya.Inovasi lain datang dari program ZeroStunting oleh Edu Farmers Foundation, yang menyediakan telur subsidi untuk anak stunting sambil melibatkan ayah dalam pemantauan nutrisi (Edu Farmers, 2025). Program ini bertujuan menurunkan stunting 20% dalam enam bulan dengan memberdayakan orang tua, termasuk ayah. Di tingkat nasional, The Power of Nutrition mendorong ayah aktif dalam pengembangan anak untuk mengatasi malnutrisi, dengan bukti bahwa anak dengan perawatan dari ayah memiliki risiko stunting 1,7 kali lebih rendah (Power of Nutrition, 2023). Di daerah pedesaan Indonesia, penelitian menunjukkan bahwa norma budaya sering menghambat, tapi inovasi berbasis komunitas seperti kelas ayah berhasil meningkatkan keterlibatan (Sugianti, 2024).Swedia-Negara Model Peran AyahIlustrasi latte papas di Swedia sumber: https://www.pressandjournal.co.uk/fp/education/3729300/paternity-leave-sweden-latte-pappas/Bandingkan dengan Swedia, negara yang sudah maju dalam hal ini. Di sana, kebijakan cuti ayah (paternity leave) selama berbulan-bulan memungkinkan ayah hadir penuh waktu sejak bayi lahir, yang terbukti meningkatkan ikatan emosional dan keterlibatan ayah dalam perawatan anak (Leanderz et al., 2025). Penelitian dari jurnal kesehatan pria menunjukkan bahwa ayah Swedia yang ambil cuti lebih aktif dalam memberi makan dan memantau kesehatan anak, sehingga tingkat stunting rendah (Leanderz et al., 2025). Kebijakan ini juga mendukung peningkatan menyusui dan mengurangi interval kelahiran pendek, yang terkait dengan nutrisi anak (Yale School of Public Health, 2018). Studi dari Sukmawati menambahkan bahwa cuti orang tua di Swedia memiliki dampak positif pada kesehatan anak, termasuk pencegahan malnutrisi (Juárez, 2021). Di Indonesia, kita belum punya kebijakan serupa secara nasional, meski cuti ayah sudah ada tapi terbatas hanya beberapa hari. Bahkan psikolog UGM melansir penelitian yang menyebutkan Indonesia masuk tiga negara terbesar fatherless (UGM, 2023).Sehingga ironi memang program penanganan stunting di Indonesia masih kurang melibatkan ayah secara eksplisit (Tanoto Foundation, 2025). Evaluasi kebijakan nasional tahun 2024 dari DPR RI menunjukkan penurunan stunting ke 19,8%, tapi tidak menyebut peran ayah sebagai faktor kunci (Lestari, 2025). Padahal, dalam rumah tangga Indonesia, urusan makanan masih sering dianggap tanggung jawab ibu semata—seperti yang disuarakan dalam aksi “Bunyikan Alat Masak” oleh para perempuan yang protes kegagalan program makan bergizi (Jurnal Perempuan, 2025). Ini mencerminkan norma budaya yang perlu diubah: ayah bukan hanya penyedia, tapi juga mitra pengasuhan.Evaluasi lebih lanjut dari UNICEF menunjukkan bahwa strategi nasional percepatan pencegahan stunting Indonesia fokus pada intervensi spesifik seperti pemberian makanan tambahan, tapi kurang menekankan keterlibatan ayah (UNICEF, 2024). Sebuah studi determinan stunting di Indonesia menemukan bahwa faktor orang tua, termasuk pendidikan ayah, berperan penting, tapi kebijakan belum mengintegrasikannya (Juniarti, 2025). Di Papua, misalnya, target kebijakan lebih pada ibu dengan pendidikan rendah, tapi mengabaikan ayah (Sukmawati, 2025). Ini menimbulkan ketimpangan, di mana beban pencegahan jatuh pada ibu, sementara ayah bisa menjadi sekutu kuat.Untuk itu, sudah saatnya program nasional seperti Percepatan Penurunan Stunting mengintegrasikan peran ayah. Mulai dari edukasi di posyandu, cuti ayah yang lebih fleksibel, hingga kampanye yang menargetkan ayah sebagai teladan. Inspirasi dari Swedia bisa diadaptasi, seperti memperpanjang cuti ayah untuk meningkatkan ikatan keluarga (IFAU, 2023). Di Indonesia, inovasi seperti program CARE Indonesia yang holistik, melibatkan ayah dalam screening nutrisi dan edukasi, bisa diperluas (CARE Indonesia, 2025). Selain itu, kolaborasi multisectoral seperti yang diusulkan KN E-Social, dengan inovasi berbasis teknologi seperti aplikasi pemantauan stunting yang melibatkan ayah (KN E-Social, 2025).Penting juga melibatkan masyarakat sipil dan kesehatan kader, yang berperan dalam deteksi dini stunting sambil mendorong keterlibatan ayah (Sukmawati, 2025). Edukasi berbasis budaya, seperti menggunakan kearifan lokal di pedesaan, bisa mengubah norma (Kusumawati, 2025). Akhirnya, evaluasi kebijakan harus menyertakan indikator keterlibatan ayah untuk memastikan keberlanjutan.Hari Ayah ini bisa jadi momentum: ayah, mari ambil bagian lebih besar. Karena mencegah stunting bukan tugas satu orang, tapi tanggung jawab bersama untuk generasi yang lebih sehat dan cerdas. Dengan mengadopsi prinsip keadilan dan keterlibatan seperti yang diajarkan para ahli, Indonesia bisa mencapai target stunting lebih cepat.