Kala Hujan Menerjang, Saya Belajar Mencintai Samarinda

Wait 5 sec.

Saya belum lama ini pindah ke Kota Samarinda. Sejatinya kesan awal saya di kota ini cukup takjub. Deretan kapal tongkang menyusuri Sungai Mahakam membuat saya terkagum kala memandanginya dari Teras Samarinda. Sepertinya industri logistik maritim di kota satu ini memang sudah mapan dan jadi pemandangan biasa bagi masyarakatnya.Terlebih, kota yang acapkali disebut Negeri Tepian Mahakam ini, juga terkenal dengan demografinya yang plural. Beragam masyarakat dengan suku dan etnis yang berbeda ada di sini, mulai dari Banjar, Kutai, Dayak, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Begitulah Samarinda, kota dengan pluralisme dan kehangatannya yang membumi.Tapi ada satu momen yang membuat saya sampai mengernyitkan dahi. Kala itu saya heran memandangi hujan deras mengguyur di seberang jalan. Padahal posisi saya hanya selisih beberapa ratus meter menunggu lampu merah di aspal kering berdebu. Samarinda seperti punya batas dimensi ajaib di antara hujan dan terik.Memang kalau membahas perlangitan, Samarinda ini agak moody untuk persoalan cuacanya, kadang bersinar kadang murung. Cuacanya sukar ditebak. Kota ini bisa sewaktu-waktu sangat terik, sampai memekikkan kulit saking menyengatnya. Sekelebat kemudian hujan mendadak menerjang tanpa sempat memberi aba-aba, bak emosi yang meledak tanpa sebab.Kalau kalian berharap ramalan cuaca di ponsel pintarmu itu bisa menebak suasana hati Samarinda, percayalah, tambahkan itu dalam daftar kekeliruan kalian. Samarinda itu ibarat wanita yang coba kalian terka semiotikanya, dan kalian adalah pria-pria yang kerap gagal memahaminya. Kota tepian ini tampaknya memang senang bermain teka-teki.Karena cuacanya yang tak tertebak, saya merasa cemas, kala hujan menerjang tiba-tiba. Bagaimana tidak? Jalanan di sini bisa langsung beralih fungsi menjadi kolam hanya dalam hitungan menit. Genangan air bertumpah ruah begitu cepat, di jalan utama, di gang kecil, di mana saja, atau mungkin sampai di kosan kalian yang terkenal daerah rawan banjir itu.Pernah ketika pulang dari kantor, saya terjebak banjir dan memutuskan mencari jalur alternatif menghindari banjir di jalan utama. Naas, jalan yang saya jumpai malah banjirnya lebih parah, air hampir menelan setengah roda motor saya. Sejak saat itu, saya jadi percaya petuah warga. “Mending terobos hujannya aja mas, daripada keburu banjir.”Meski begitu, pemerintah di sini bukan tanpa upaya. Saya kerap menjumpai proyek pelebaran drainase di berbagai sudut kota, terlebih untuk kawasan rawan banjir. Namun entah mengapa, banjir seakan tak pernah bosan menyapa Samarinda. Mungkin karena curah hujan yang tinggi, atau mungkin karena sebagian wilayahnya berada di dataran rendah tepian Sungai Mahakam. Saya tak tahu pasti penyebabnya, saya hanyalah perantau yang belum lama tinggal di sini. Yang saya tahu pasti, pendapatku ini bisa benar, bisa salah. Anggap saja itu hanya opini ringan dariku, yang masih mencoba memahami seluk-beluk Kota Tepian ini.Sebagai pendatang, saya juga ingin mengakui suatu hal. Ada satu sisi Samarinda yang membuatnya terasa hangat dan ramah. Masyarakat di sini tampaknya sudah terbiasa berdampingan hidup dengan hujan dan banjir. Mereka menertawakan keadaan, meski tawa itu sejatinya adalah satire. Ungkapan “Mending terobos hujannya aja” bukan hanya sekadar candaan semata, melainkan itu cara mereka berdamai dengan realita. Bahkan cara mereka beradaptasi ini, seolah jadi keindahan tersendiri, seolah mereka benar-benar sudah belajar hidup berdampingan bersama air.Sungai Mahakam yang membelah kota, langit sore selepas hujan, dan keramahan masyarakatnya, menjadi pelengkap pesona Kota Tepian. Walau banjir kerap menghadang secara tiba-tiba, saya belajar memahami sisi manusiawi yang mewarnai kota ini.Samarinda seolah ingin mengajarkan saya, bahwa cinta pada tempat tinggal tidak melulu mengharuskan sebuah kesempurnaan. Terkadang manusianya yang perlu memahami ritmenya, dengan bersama dalam kebasahan, namun tetap menikmati tiap detiknya.Mungkin saya hanya perantau yang baru mengenal kota ini. Dan tak bisa dipungkiri, dalam proses perkenalan, sesuatu yang paling sering dilihat adalah sebuah kekurangan. Di manapun, di kota apapun, tidak ada yang sempurna. Samarinda pun tidak akan luput dari hal itu. Namun justru dari kekurangannya saya belajar mencintai Samarinda. Bahkan ketika kaki ini tergenang air, hati saya tetap merasa kehangatannya.