Mewahnya Akun Mental Masyarakat terhadap Redenominasi

Wait 5 sec.

Ilustrasi Uang Euro Foto: VAKS-Stock Agency/ShutterstockNegeri ini selalu mempunyai kebiasaan unik, yaitu selalu memoles cermin sebelum memperbaiki wajahnya. Kini, wacana redenominasi rupiah kembali diangkat kembali; bukan karena ekonomi kita goyah, melainkan demi simbol efisiensi dan martabat. Bank Indonesia menyebut redenominasi ini sebagai “penyederhanaan nilai tanpa mengubah daya beli,” sebuah proyek jangka panjang yang disiapkan sejak tahun 2010.Namun, di luar ruang rapat, rakyat tidak membaca angka dengan logika spreadsheet; mereka membaca dengan rasa. Setiap angka punya cerita di baliknya, seperti kepercayaan, trauma, dan kebingungan yang tak pernah hilang dari sejarah uang kita.Redenominasi digadang-gadang sebagai bukti kesiapan Indonesia menuju status negara maju, seolah rupiah yang lebih ramping akan terlihat lebih gagah di mata dunia. Namun bagi banyak orang, kebijakan ini terasa seperti investasi imajiner dikarenakan mengeluarkan tenaga besar untuk mempercantik tampilan, tanpa menyentuh makna.Uang akan tampak lebih rapi, tapi apakah nilainya akan lebih dipercaya? Sebab, persoalan terbesar bukan pada angka nol yang dihapus, melainkan pada kepercayaan yang perlahan mulai terhapus dari ingatan kolektif bangsa.Akun Mental Pertama: Jangkar TraumaBagi para teknokrat, redenominasi hanyalah soal memangkas tiga nol di kertas. Namun bagi rakyat, nol-nol itu menyimpan bobot sejarah serta bukan sekadar pada nilai, tapi juga luka. Setiap lembar rupiah memuat kenangan tentang masa ketika kepercayaan terhadap negara diuji hingga ke akar.Ilustrasi uang rupiah. Foto: Maciej Matlak/ShutterstockSejak “Gunting Syafruddin” pada tahun 1950, hingga lonjakan inflasi pada tahun 650% pada 1965, terjadilah krisis moneter pada tahun 1998 yang membuat rupiah terjun dari Rp2.400 menjadi Rp16.800 per dolar AS. Dari kejadian itu, rakyat belajar satu hal, yaitu angka bisa berubah, tapi trauma masih terbayang.Kini, Bank Indonesia menyebut kondisi makroekonomi “stabil” karena dipicu faktor inflasi di kisaran 2,7% per September 2025, cadangan devisa di atas 140 miliar dolar AS dan pertumbuhan ekonomi stabil pada angka kisaran 5,1%.Namun, stabilitas makro tidak serta-merta berarti stabilitas psikologis. Sebab, di rumah-rumah sederhana, uang bukan sekadar alat tukar, melainkan alat yang dipercaya. Sekali saja kepercayaan itu retak, nilainya tak lagi ditentukan oleh logika, tetapi oleh ingatan.Cerita tentang sanering dan krisis dituturkan seperti dongeng gelap yang diwariskan agar anak dan cucu belajar berjaga-jaga, mawas diri, serta tahu diri. Ketika negara bicara tentang “mengubah nilai nominal,” gema masa lalu itu kembali berdengung. Bukan karena rakyat tidak paham ekonomi, melainkan karena mereka terlalu paham makna kehilangan.Pemerintah sah-sah saja berupaya meyakinkan masyarakat bahwa perkara redenominasi “bukan sanering,” tetapi di telinga rakyat, kalimat itu terdengar seperti pengulangan masa lalu dengan kostum baru. Mereka tidak mendengar rasionalitas; mereka mendengar rasa takut.Ilustrasi belanja online. Foto: ShutterstockKetakutan itu telah hadir dalam bentuk yang halus dalam perilaku konsumen yang terlihat di masyarakat. Misalnya, penundaan belanja yang tecermin dari kaum ROJALI (rombongan jarang beli), ROHANA (rombongan hanya bertanya), ROHALUS (rombongan hanya mengelus barang), dan sejenisnya. Mereka belanja pada saat promosi di tanggal kembar di pasar digital (e-commerce), melakukan penarikan uang tunai, pembelian emas, atau konversi tabungan menjadi dolar yang terlihat sebagai sebuah pola perilaku yang dahulu tercatat oleh Bank Dunia pada studi 2018 tentang financial distrust di Asia Tenggara.Inilah paradoks besar dari logika teknokratis karena semakin keras upaya pemerintah menegaskan bahwa semuanya “terkendali,” semakin rakyat akan mengingat bahwa dahulu pun mereka pernah dijanjikan hal serupa.Semakin jauh negara bicara dengan angka, semakin rakyat menilai dengan kenangan. Kepastian di atas kertas tak pernah bisa menandingi kepastian di meja makan. Kepercayaan, pada akhirnya, adalah mata uang yang lebih langka daripada rupiah itu sendiri. Begitu kepercayaan itu hilang, setiap kebijakan ekonomi hanya akan menjadi pidato dari menara gading yang indah dari jauh, tapi tak berjejak di lumpur kehidupan rakyat. Ketika jangkar kepercayaan tertanam di masa lalu, jangkar itu akan menahan kapal ekonomi dari berlayar ke depan. Namun, dari trauma yang membatu ini, akan muncul ilusi baru yang tak kalah halus: keyakinan semu bahwa angka yang lebih sedikit berarti hidup yang lebih mudah.Akun Mental Kedua: Ilusi PembulatanSetelah trauma membuat rakyat berhenti percaya, ilusi membuat mereka berhenti berhitung. Inilah wajah lain dari biaya psikologis redenominasi yang bukan sebatas merasa kehilangan uang, melainkan kehilangan rasa terhadap uang itu sendiri. Harga mie instan yang dahulu Rp 2.800,- nantinya akan menjadi Rp 2,8,-.Ilustrasi membayar. Foto: Odua Images/ShutterstockSekilas nilainya terlihat sama, akan tetapi sensasinya berubah. Harga “dua koma delapan” terdengar ganjil, kurang beruntung, seolah belum tuntas. Maka, tangan yang bertindak secara naluriah membulatkan angka itu menjadi Rp3,-. Begitulah domino pertama jatuh. Pedagang menyesuaikan harga karena “lebih enak dilihat”, edangkan pembeli akan mengangguk karena “bedanya sedikit”.Namun di balik perbedaan tipis itu, inflasi kecil mulai menetes. Hal tersebut diperkuat sebuah studi IMF (2023) yang mencatat bahwa di negara-negara yang melakukan redenominasi, efek psikologis terhadap rounding-up inflation bisa mencapai 0,4–1,2% pada tahun pertama, terutama di sektor makanan dan transportasi.Efek berikutnya datang dari rasa kehilangan semu. Ketika uang Rp100.000,- berubah menjadi Rp100,-, otak di dalam benak konsumen akan menafsirkan bahwa uangnya berkurang. Padahal daya belinya sama, tapi emosinya tidak.Seperti petani yang panennya dikemas dalam karung lebih kecil, padi tetap banyak, tapi rasa puasnya menurun. Dari rasa kehilangan yang semu itulah muncul dorongan untuk membeli lebih banyak karena terpicu oleh motif ingin menebus kekosongan yang tidak nyata.Setelah itu datanglah fenomena boros mikro di mana uang kecil terasa ringan. Sebuah studi dari Universitas Indonesia (2024) menemukan bahwa masyarakat kelas menengah menghabiskan rata-rata 14% pengeluaran bulanannya untuk “pembelian impulsif bernilai kecil”.Ilustrasi Belanja Online. Foto: ShutterstockSebuah fenomena—yang memperlihatkan adanya peningkatan konsumsi pada saat nominal uang—tampak lebih kecil di layar digital. Redenominasi berisiko memperkuat bias tersebut, meneteskan kebocoran kecil yang tanpa disadari menjadi sungai pengeluaran besar.Akhirnya, munculah beban paling halus, yaitu kelelahan kognitif. Setiap kali sistem berubah, pikiran harus bekerja dua kali hanya untuk bisa menerjemahkan harga lama, menyesuaikan angka baru, dan mengingat nilai tukar di kepala.Dalam Laporan Keuangan Inklusif BI (2023), 64% responden menyebut “rasa takut salah hitung” sebagai penghalang utama dalam memahami inovasi keuangan baru.Bayangkan beban mental itu ketika semua angka di pasar berubah dalam semalam. Transaksi yang sebelumnya diniatkan untuk memenuhi kebutuhan dan memenuhi kepuasan batin karena wishlist terpenuhi dan keranjang belanja sudah kosong, sekejap mata menjadi teka-teki kecil yang menimbulkan pertanyaan di benak konsumen: Apakah ini mahal atau murah?Rakyat mulai menyerah pada kebingungan, berkata, “Sudah, seratus saja kembaliannya.” Uang masih beredar, tapi rasa percaya terhadap nilainya terkikis, seperti tinta di uang lusuh yang pudar di genggaman.Mahal Sekali Harga KepercayaanIlustrasi uang koin pecahan Rp 1000. Foto: ShutterstockRedenominasi bisa menata angka, tapi belum bisa menata rasa; redenominasi bisa menyederhanakan tampilan, tapi tak bisa menggantikan kepercayaan.Sebab, kepercayaan bukan dibangun lewat pidato, melainkan lewat pengalaman yang konsisten dan empatik. Jika pemerintah benar ingin rakyat menerima nilai baru, negara harus lebih dahulu menepati nilai lama: kejujuran, empati, dan keberpihakan.Sebelum menuliskan nominal deretan angka nol yang baru pada selembar uang, negara perlu menghapus jarak antara menara gading dan lumpur rakyat. Sebab ketika kepercayaan hilang, setiap kebijakan, betapapun elegannya, hanyalah investasi imajiner yang menjadi sebuah monumen kebanggaan yang berdiri di atas pasir psikologis masyarakat yang masih goyah.Nilai uang—seperti halnya nilai bangsa—tidak ditentukan oleh berapa nol yang dihapus, tetapi seberapa besar kepercayaan yang tertulis di hati rakyatnya.