Mengapa Dana Daerah Mengendap dan Bagaimana Mengatasinya?

Wait 5 sec.

Ilustrasi uang rupiah. Foto: Aditia NoviansyahSatu persoalan klasik yang terus berulang di berbagai daerah adalah tingginya dana pemerintah daerah (Pemda) yang mengendap di perbankan. Isu ini ramai dan memunculkan pertanyaan: Mengapa uang yang seharusnya digunakan untuk membiayai pembangunan justru tidur di rekening, baik dalam bentuk giro maupun deposito?Banyak faktor yang memengaruhi hal ini, mulai dari perencanaan anggaran yang tidak realistis, keterlambatan pelaksanaan proyek, hingga hambatan administratif. Namun, ada satu faktor penting yang jarang dibahas secara mendalam, yaitu ketidaktepatan waktu penyaluran Transfer ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat.Masalah ini mungkin terlihat teknis, tetapi dampaknya nyata terhadap kinerja fiskal dan manajemen kas daerah.Ketika Waktu Tidak SinkronMari kita ambil satu contoh yang cukup umum terjadi. Biasanya pada triwulan ketiga setiap tahun, pemerintah daerah melakukan proses APBD Perubahan (APBD-P). Proses ini krusial karena menjadi momen untuk menyesuaikan pendapatan dan belanja daerah berdasarkan realisasi dan proyeksi yang lebih mutakhir.Ilustrasi kebijakan pemerintah. Foto: SsCreativeStudio/ShutterstockDalam tahap tersebut, Pemda membutuhkan kepastian mengenai berapa besar pendapatan yang akan diterima hingga akhir tahun. Salah satu sumber pendapatan penting adalah transfer dari pemerintah pusat, terutama yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH).Namun, sering kali informasi mengenai penyaluran DBH kurang bayar (yakni dana yang seharusnya diterima daerah di tahun sebelumnya, tetapi baru bisa dibayar pada tahun berjalan) datang terlambat.Akibatnya, Pemda tidak bisa memasukkan angka tersebut dalam APBD-P karena dasar hukumnya belum jelas. Tanpa kepastian transfer, Pemda akan berhati-hati—dan itu langkah yang wajar. Sebab, kalau dana itu ternyata tidak kunjung ditransfer, mereka bisa mengalami defisit kas.Masalahnya, tak lama setelah APBD-P disahkan, pemerintah pusat akhirnya menyalurkan dana DBH kurang bayar tersebut. Uangnya masuk ke kas daerah, tetapi sudah terlambat. Anggaran tahun berjalan sudah terkunci. Karena tidak bisa langsung digunakan, dana itu akhirnya hanya “parkir” di rekening kas daerah hingga tahun berikutnya. Atau akan ditempatkan dalam bentuk rekening deposito.Ilustrasi Dana Daerah Mengendap. Ilustrasi dibuat dengan AIDana yang Mengendap, Siapa yang Rugi?Fenomena ini menunjukkan adanya mismatch atau ketidaksinkronan antara jadwal penyaluran TKD dengan siklus penganggaran daerah. Dampaknya tidak sederhana.Pertama, dari sisi Pemda. Uang yang sudah diterima, tetapi tidak bisa digunakan, membuat manajemen kas menjadi tidak efisien. Padahal, setiap rupiah yang mengendap itu pada dasarnya adalah potensi kegiatan pembangunan yang tertunda—mulai dari pembangunan jalan, pelayanan kesehatan, hingga bantuan sosial.Kedua, dari sisi pemerintah pusat. Fenomena ini bisa menimbulkan persepsi bahwa Pemda tidak mampu menyerap anggaran. Padahal faktanya, sebagian dana yang mengendap itu bukan karena kelalaian daerah, melainkan karena ketidaktepatan waktu transfer dari pusat.Ketiga, bagi masyarakat. Ujung dari masalah ini adalah tertundanya manfaat pembangunan. Jalan yang belum diperbaiki, sekolah yang belum direnovasi, atau fasilitas publik yang belum berfungsi—semua bisa bermuara pada satu hal: uangnya belum bisa digunakan karena salah waktu transfer.Akar Masalah: Koordinasi dan RegulasiIlustrasi Uang Rupiah Foto: ThinkstockMasalah ini pada dasarnya adalah soal koordinasi dan ketepatan waktu. Pemerintah pusat dan daerah bekerja dalam sistem fiskal yang saling bergantung. Ketika pusat terlambat memberikan informasi atau menyalurkan dana, daerah pun kesulitan melakukan penyesuaian anggaran.Selama ini, sistem penganggaran daerah memang cukup rigid. Perubahan APBD hanya bisa dilakukan dalam periode tertentu dengan mekanisme yang panjang dan birokratis. Begitu APBD-P ditetapkan, ruang gerak untuk menyesuaikan pendapatan tambahan menjadi sangat terbatas.Padahal, di lapangan, dinamika fiskal tidak selalu bisa diprediksi dengan presisi. Penyesuaian waktu penyaluran TKD yang tidak selaras dengan jadwal APBD membuat sistem menjadi tidak efisien. Akibatnya, uang publik yang seharusnya produktif justru menganggur.Langkah PerbaikanAda dua hal penting yang bisa menjadi solusi untuk memperbaiki situasi ini.Ilustrasi berbicara. Foto: Portrait Image Asia/ShutterstockPertama, peningkatan transparansi dan komunikasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah. Informasi mengenai jadwal dan besaran penyaluran TKD—terutama yang bersifat tambahan seperti DBH kurang bayar—perlu disampaikan lebih awal dan secara resmi. Dengan begitu, Pemda dapat mengantisipasi dan menyesuaikan rencana keuangan mereka sejak dini.Kedua, revisi regulasi agar lebih adaptif dan fleksibel. Pemerintah perlu mempertimbangkan mekanisme yang memungkinkan daerah menyesuaikan APBD secara terbatas ketika ada tambahan pendapatan yang datang setelah APBD-P ditetapkan. Bukan berarti membuka celah untuk manipulasi anggaran, melainkan memberi ruang bagi penyesuaian yang rasional dan terukur.Dengan mekanisme yang lebih lentur, dana yang datang terlambat tetap bisa dimanfaatkan pada tahun berjalan—tanpa harus menunggu tahun anggaran baru.Uang Publik Harus BekerjaDana publik seharusnya tidak berhenti di rekening. Uang negara, termasuk dana transfer ke daerah, harus bekerja: membangun infrastruktur, meningkatkan pelayanan publik, dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat.Ilustrasi masyarakat. Foto: Djem/ShutterstockNamun selama sistem transfer dan penganggaran tidak berjalan beriringan, kita akan terus melihat fenomena dana mengendap yang sama dari tahun ke tahun. Padahal, solusinya tidaklah rumit: cukup dengan memperbaiki koordinasi, memperjelas informasi, dan membuat aturan yang lebih adaptif terhadap dinamika fiskal.Pada akhirnya, persoalan ini bukan semata-mata soal teknis keuangan. Ini soal keadilan fiskal, soal bagaimana uang rakyat dikelola dengan cerdas dan tepat waktu.Karena ketika dana mengendap di kas daerah, yang dirugikan bukan hanya angka di neraca, melainkan juga harapan masyarakat yang menunggu hasil nyata dari pembangunan.