Menanti mergernya Goto dan Grab. (IST)JAKARTA - Wacana merger Grab dan GoTo terus menjadi sorotan publik. Tidak hanya media nasional, Financial Times turut menyoroti potensi penggabungan dua raksasa teknologi Asia Tenggara tersebut. Media berbasis London itu mencatat bahwa jika merger terjadi, entitas baru itu dapat menguasai hingga 90 persen pasar ride-hailing Indonesia, menjadikannya pemain dominan di kawasan.Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi membuka peluang penyatuan Grab dan GoTo dengan melibatkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) untuk mengonsolidasikan aset strategis keduanya. Proses ini juga berkaitan dengan pembahasan perpres terkait perlindungan dan pengaturan tarif mitra ojek online (ojol).Pakar Hukum: Dominasi Pasar dan Perlindungan Pekerja Gig Harus DiantisipasiPakar hukum Lita Paromita Siregar, S.H., LL.M., M.Kn, menilai merger dua perusahaan besar ini akan membawa tantangan regulasi yang signifikan, terutama terkait perlindungan pekerja gig seperti pengemudi ojek online yang menjadi tulang punggung operasional.“Jika merger ini benar terjadi, pemerintah harus memastikan tidak lahir praktik monopoli atau dominasi pasar berlebihan. Konsolidasi dua raksasa ini tidak boleh menciptakan ketimpangan baru, tetapi harus memperkuat ekosistem digital yang adil dan berkelanjutan,” ujar lulusan Faculty of Law Newcastle University itu melalui keterangan tertulis, Sabtu (15/11/2025).Lita menambahkan, algoritma Grab dan GoTo harus menjadi perhatian utama. Tanpa transparansi algoritma, ia khawatir muncul ketimpangan distribusi order dan pendapatan pengemudi.“Pengemudi ojol sering terjebak dalam ketidakpastian status—mitra atau pekerja. Ini menyulitkan mereka untuk mendapatkan jaminan sosial yang layak,” tegas Managing Partner BP Lawyers Counselors at Law (BPL) itu.Ia mengingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru menerbitkan regulasi baru mengingat besarnya dampak sosial pada jutaan mitra pengemudi.Potensi Monopoli Pasar Jika merger Grab–GoTo terealisasi, konsolidasi keduanya diperkirakan menguasai sekitar 91 persen pasar ride-hailing nasional. Kondisi ini bersinggungan langsung dengan UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.Dominasi tersebut berpotensi menekan pemain lain seperti Maxim dan InDrive, yang dapat berimbas pada:terbatasnya pilihan konsumen,potensi kenaikan tarif,risiko bias algoritma,dan penurunan pendapatan pengemudi.Lita menegaskan peran krusial KPPU untuk memastikan merger tidak menciptakan “raksasa tunggal” yang bebas menentukan harga dan aturan pasar. Pengawasan ketat dan transparansi harus berjalan paralel untuk menjaga ekosistem kompetitif.Penggabungan Grab dan GoTo juga menimbulkan kekhawatiran terkait keamanan data dan kedaulatan digital, mengingat keduanya menangani data puluhan juta pengguna. Konsentrasi data yang terlalu besar berpotensi meningkatkan risiko kebocoran atau akses oleh yurisdiksi asing, apalagi sebagian server dan aktivitas teknologi berada di luar negeri.Lita menilai pemerintah wajib memastikan data pengguna tetap dikelola sesuai standar keamanan nasional, termasuk melalui mekanisme pengawasan dan peran BPI Danantara.“Regulasi harus mengarah pada model win-win. Perusahaan tetap bisa berkembang, tetapi perlindungan data pengguna harus menjadi prioritas utama,” ungkapnya. Regulasi Adil untuk Pengemudi Ojek OnlineLita menekankan bahwa perubahan besar ini harus diiringi regulasi komprehensif yang memberikan kepastian hukum bagi pengemudi, termasuk:transparansi algoritma,skema persaingan usaha yang sehat,jaminan sosial dan perlindungan kerja,serta kepastian pembagian pendapatan yang lebih adil.Rencana merger Grab dan GoTo berpotensi mengubah lanskap ekonomi digital Indonesia dan Asia Tenggara. Namun pemerintah memikul tanggung jawab besar untuk memastikan proses ini tidak menciptakan monopoli baru dan tetap memberikan keadilan bagi jutaan pengemudi yang bekerja dalam ekosistem transportasi daring.