Indonesia's Foreign Policy dalam Konflik Laut Tiongkok Selatan

Wait 5 sec.

Ilustrasi pulau di Indonesia. Foto: nurulbadri29/Shutterstock"Indonesia, sebagai kekuatan utama di Asia Tenggara, perlu menyikapi konflik di Laut Tiongkok Selatan ini dengan saksama. Gesekan yang terjadi di antara claimant states tentu akan memberikan dampak, baik langsung ataupun tidak, terhadap Indonesia".Kawasan Laut Tiongkok Selatan saat ini bisa dikatakan sebagai salah satu titik terpanas dunia selain Timur Tengah. Di kawasan ini, konflik tidak hanya terjadi secara langsung di antara pihak-pihak yang bertikai (claimant states), melainkan juga melibatkan major powers yang berkepentingan atas perluasan pengaruh dan penguasaan sumber kekayaan alam di kawasan tersebut.Indonesia, sebagai negara kunci di kawasan Asia Tenggara, meskipun tidak terlibat secara langsung dalam konflik tersebut (non-claimant state), tetap perlu mencermati segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk hal-hal yang dapat berdampak negatif terhadap kedaulatan nasional.Indonesia memandang penting konflik di Laut Tiongkok Selatan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, empat dari enam negara yang bertikai—yakni Malaysia, Vietnam, Filipina dan Brunei Darussalam—adalah negara-negara yang berdekatan secara geografis dengan Indonesia di kawasan Asia Tenggara, sekaligus memiliki keanggotaan yang sama di ASEAN.Kedua, Tiongkok sebagai major power yang berkepentingan di kawasan tersebut merupakan mitra strategis Indonesia di bidang ekonomi, terlebih lagi status Tiongkok sebagai kekuatan baru dunia, sehingga potensial untuk dijadikan sebagai pangsa pasar bagi produk-produk eskpor Indonesia. Ketiga, meskipun Indonesia berstatus sebagai non-claimant state, terdapat potensi ancaman berupa dicaploknya wilayah Indonesia oleh Tiongkok.Ilustrasi bendera China. Foto: Samuel Borges Photography/ShutterstockHal ini terkait dengan persepsi Tiongkok bahwa beberapa wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia adalah wilayah tradisional mereka untuk menangkap ikan.Menurut Pakar Hukum Laut Internasional, Prof. Hasyim Djalal, terdapat sedikitnya tiga faktor yang menyebabkan konflik di Laut Tiongkok Selatan tidak kunjung selesai. Pertama, tidak tuntasnya permasalahan batas teritorial atau klaim wilayah di kawasan tersebut.Kedua, potensi sumber kekayaan alam di kawasan tersebut sangatlah besar; tidak hanya minyak bumi dan gas alam saja, tapi juga ikan, rumput laut dan sumber energi lainnya. Hal inilah yang menjadikan Laut Tiongkok Selatan sebagai wilayah yang diperebutkan oleh banyak negara. Terakhir, permasalahan lingkungan, yakni status Laut Tiongkok Selatan sebagai jalur perdagangan internasional.Bagi Indonesia sendiri. Laut Tiongkok Selatan merupakan jalur ekspor Indonesia ke negara lain seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea.Indonesia—sebagai kekuatan utama di Asia Tenggara—perlu menyikapi konflik di Laut Tiongkok Selatan ini dengan saksama. Gesekan yang terjadi di antara claimant states tentu akan memberikan dampak, baik langsung ataupun tidak, terhadap Indonesia. Terlebih lagi terdapat potensi konflik antara Indonesia dengan Tiongkok secara langsung terkait persepsi Tiongkok bahwa sebagian ZEE Indonesia merupakan wilayah tradisional mereka untuk menangkap ikan.Ilustrasi laut China Selatan. Foto: STR/AFPKeanggotaan Indonesia dalam ASEAN secara tidak langsung menuntut partisipasi Indonesia dalam mewujudkan stabilitas keamanan di kawasan. Fakta bahwa empat dari enam negara yang berkonflik adalah anggota ASEAN menjadi dilema tersendiri bagi Indonesia karena di satu sisi mereka adalah saudara satu kawasan, sedangkan di sisi lain Indonesia hendak melakukan penguatan hubungan perdagangan dengan Tiongkok.Adanya campur tangan kekuatan asing dalam konflik ini seperti Amerika Serikat, menambah kompleksitas tersendiri dalam upaya penyelesaian konflik.Dalam menyikapi konflik di Laut Tiongkok Selatan, Indonesia perlu merumuskan strategi komprehensif agar upaya untuk berpartisipasi dalam mewujudkan perdamaian di level regional dan global tidak berdampak kontraproduktif terhadap pencapaian kepentingan nasional dan kukuhnya ketahanan nasional Indonesia.Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh Indonesia. Pertama, menggunakan instrumen regional Asia Tenggara, yakni kerja sama ASEAN untuk mendorong terwujudnya stabilitas politik dan keamanan di kawasan. Kedua, mengedepankan mekanisme politik luar negeri bebas dan aktif dalam menjalankan hubungan diplomatik dengan claimant states, khususnya dengan Tiongkok sebagai major power.Ketiga, mendorong kepatuhan semua pihak terkait, baik claimant states maupun negara berkepentingan, untuk mematuhi hukum internasional yang berlaku.Pengelolaan Konflik melalui Mekanisme ASEANBendera negara-negara ASEAN. Foto: dok. KemenkeuASEAN merupakan mekanisme kerja sama negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang digagas sebagai upaya untuk mewujudkan stabilitas politik, ekonomi dan keamanan di kawasan. Terkait konflik di Laut Tiongkok Selatan, ASEAN menempatkan konflik ini sebagai prioritas penanganan merujuk fakta bahwa sedikitnya empat negara ASEAN berstatus sebagai claimant states vis a vis dengan Tiongkok.Sejak dekade 1990-an, ASEAN sudah menempuh beragam upaya dalam rangka mewujudkan perdamaian dan stabilitas kawasan. Pada 22 Juli 1992 di Manila, Filipina, para menteri luar negeri negara-negara anggota ASEAN telah menandatangani ASEAN Declaration on the South China Sea.Adapun prinsip-prinsip yang menjadi penekanan dalam deklarasi ini adalah perlunya penyelesaian sengketa secara damai, pentingnya eksplorasi kerja sama terkait dengan safety of maritime navigation and communication, perlindungan atas lingkungan laut, koordinasi search and rescue, serta upaya memerangi kejahatan di laut seperti pembajakan, perompakan bersenjata, serta perdagangan obat-obatan secara gelap.Sepuluh tahun kemudian, yakni 4 November 2002, bertempat di Phnom Penh, Kamboja, ASEAN mengeluarkan Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC). Deklarasi ini menuntut komitmen dari negara-negara ASEAN dan juga Tiongkok untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menghormati freedom of navigation di Laut Tiongkok Selatan, penyelesaian sengketa secara damai, serta menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik.Lebih lanjut, DOC menjadi pedoman bertindak bagi negara-negara anggota ASEAN dan Tiongkok dalam menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan dengan mengedepankan semangat kerja sama serta prinsip saling percaya.Sejumlah pemimpin negara menghadiri KTT ASEAN ke-47 dan KTT Terkait di Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu (26/10/2025). Foto: Chalinee Thirasupa/REUTERSPada 2011, saat pertemuan 44th AMM/PMC/18th ARF di Bali, ASEAN dan Tiongkok berhasil menyepakati Guidelines for the Implementation of the DOC. Keberhasilan menyepakati Guidelines ini merupakan suatu major breakthrough sekaligus major achievement dalam masa keketuaan Indonesia untuk tahun 2011.Kesepakatan itu membuka kesempatan bagi upaya implementasi DOC melalui pelaksanaan kegiatan atau proyek kerja sama antara ASEAN dan Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan dan bagi dimulainya pembahasan awal mengenai pembentukan suatu regional Code of Conduct in the South China Sea (CoC) yang akan berfungsi sebagai sebuah mekanisme operasional pencegahan konflik dan bertujuan untuk mengatur tata perilaku negara secara efektif.Indonesia terus-menerus menunjukkan komitmennya untuk menciptakan kawasan Laut Tiongkok Selatan yang aman, damai, dan stabil melalui berbagai upaya diplomasi. Pada 2012, menyikapi perbedaan pandangan mengenai situasi di Laut Tiongkok Selatan, Menteri Luar Negeri RI pada 18-19 Juli 2012 telah melakukan pendekatan dan konsultasi intensif dengan para menteri luar negeri negara-negara anggota ASEAN terkait posisi bersama.Upaya tersebut menunjukkan hasil dengan disepakatinya ASEAN’s Six Point Principles on the South China Sea pada 20 Juli 2012. Secara umum, upaya Indonesia memberikan kontribusi dalam penyelesaian sengketa Laut Tiongok Selatan melalui mekanisme ASEAN menunjukkan kepiawaian Indonesia dalam berdiplomasi.Di satu sisi, Indonesia dapat mencapai kepentingan nasionalnya, yakni berpartisipasi dalam mewujudkan perdamaian dunia serta penguatan pengaruh di kawasan, sedangkan di sisi lain, Indonesia mampu menunjukkan kontribusi dan menguatkan kapasitas kelembagaan ASEAN sebagai mekanisme dalam mewujudkan ketahanan kawasan.Implementasi Politik Luar Negeri Bebas dan AktifIlustrasi ASEAN. Foto: PAPALAH/ShutterstockIndonesia menganut konsepsi politik luar negeri bebas dan aktif sejak masa-masa awal kemerdekaan dan berlaku hingga saat ini. Politik luar negeri bebas dan aktif sendiri didefinisikan dalam beberapa bagian: bebas artinya Indonesia tidak memihak kekuatan politik manapun di dunia (sebagai contoh di masa Perang Dingin, Indonesia menolak untuk bergabung dengan Blok Barat atau Blok Timur). Aktif artinya Indonesia berpartisipasi aktif dalam upaya memelihara perdamaian dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.Konflik Laut Tiongkok Selatan yang bersifat kompleks karena terdiri dari beragam penyebab dan kepentingan (masalah klaim batas wilayah dan okupasi sumber kekayaan alam) memberikan dilema keamanan tersendiri bagi pihak-pihak yang bertikai. Indonesia sendiri terjebak pada dilema diplomasi mengenai bagaimana menyikapi konflik ini.Di satu sisi, empat negara Asia Tenggara yang menjadi claimant states merupakan saudara satu kawasan dan masih terlibat sebagai anggota aktif ASEAN, yakni organisasi di mana Indonesia berada di dalamnya dan menjadi negara kunci. Sedangkan di sisi lain, Tiongkok memiliki posisi penting dalam politik diplomasi Indonesia.Penguatan pengaruh dan kapasitas Tiongkok, khususnya di bidang ekonomi, seyogianya dapat dikonversi menjadi keuntungan dalam pencapaian kepentingan nasional Indonesia, khususnya dalam peningkatan volume perdagangan antarnegara.Indonesia juga menganggap rawan untuk berkonfrontasi langsung dengan Tiongkok karena tidak sesuai dengan pedoman diplomasi Indonesia yang mengedepankan mekanisme damai.Bendera merah putih berkibar saat terjadinya Halo Matahari di Kayu Aro Barat, Kerinci, Jambi, Jumat (28/8/2020). Foto: Wahdi Septiawan/ANTARA FOTOMenyikapi kondisi ini, Indonesia seyogianya meletakkan kembali posisi diplomasinya sesuai dengan haluan konsepsi politik luar negeri bebas dan aktif, sebagaimana Indonesia menerapkannya pada periode perang dingin. Indonesia tidak memihak pihak manapun, baik claimant states dari Asia Tenggara, Tiongkok, ataupun Taiwan.Yang dikedepankan oleh Indonesia adalah upaya para pihak untuk menahan diri agar tidak terlibat dalam konflik terbuka secara langsung, mengedepankan mekanisme dialog, membuat perjanjian atau kesepakatan bersama yang bersifat mengikat, serta mematuhinya dalam rangka mewujudkan stabilitas politik dan keamanan serta perdamaian dunia.Kepatuhan terhadap Hukum InternasionalSeperti halnya sebuah negara yang memiliki hukum positif dalam rangka mengatur warga negaranya, hubungan dan relasi antarnegara juga diatur oleh sebuh mekanisme hukum, yakni hukum internasional yang bersifat mengikat. Konflik Laut Tiongkok Selatan secara garis besar dapat dikatakan sebagai konflik mengenai batas-batas wilayah dan persoalan klaim teritorial.Oleh sebab itu, dalam rangka pengelolaan dan penyelesaiannya, sebaiknya upaya-upaya mewujudkan stabilitas dan perdamaian di kawasan tersebut ditempuh dengan meletakkannya pada kerangka hukum internasional.Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi kerja sama global telah mengeluarkan mekanisme pengaturan hukum laut sejak tahun 1982 yang dikenal dengan sebutan United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).Ilustrasi Laut China Selatan. Foto: Getty ImagesDalam konteks penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan, klaim teritorial masing-masing pihak yang bertikai harus disesuaikan kembali rujukannya terhadap mekanisme hukum internasional yang telah disepakati bersama ini.Keputusan Pengadilan Arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag, Belanda, pada 2016—dengan membatalkan klaim teritorial Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan—menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakpatuhan Tiongkok terhadap mekanisme hukum internasional yang berlaku.Ketidakpatuhan inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa konflik di wilayah ini menjadi berlarut-larut. Secara rinci, Pengadilan Arbitrase PBB menyatakan bahwa klaim Tiongkok terhadap kedaulatan maya di hampir keseluruhan Laut Tiongkok Selatan di bawah “Sembilan Garis Putus-Putus” yang terentang dari pantai selatan Tiongkok bertentangan dengan UNCLOS—yang menentukan batas maritim sebuah negara adalah 22 kilometer dari pantainya dan kendali atas seluruh aktivitas ekonominya ditentukan hingga sejauh 370 kilometer dari pantainya.Kepatuhan terhadap hukum internasional menjadi kata kunci dalam penyelesaian Konflik Laut Tiongkok Selatan. Ketidakpatuhan seperti yang ditunjukkan oleh Tiongkok—baik dari klaim kesejarahan maupun resistensi terhadap hasil putusan Pengadilan Arbitrase PBB pada 2016—hanya akan membawa Tiongkok pada posisi dikucilkan dalam pergaulan internasional.