Ekspedisi Arah Singgah 2025, Menyigi Tanah Kehidupan di Papua Lewat Pameran Bertajuk “Makan Key Almig”

Wait 5 sec.

Ilustrasi pameran ekspedisi Arah Singgah bertajuk “Makan Key Almig” yang berarti Tanah Kehidupan dari Suku Malind dan masyarakat adat lainnya di Tanah Papua (Dok. spesial)YOGYAKARTA - Sore di Omah Budoyo terasa lebih hangat dari biasanya. Dalam pancaran lampu temaram, TelusuRI resmi membuka pameran Ekspedisi Arah Singgah 2025: Makan Key Almig, sebuah perjalanan ekspedisi yang menghadirkan arsip visual dan naratif serta mengajak pengunjung menelusuri relasi manusia, tanah, dan alam di Tanah Papua.Makan Key Almig, yang dalam bahasa masyarakat adat Malind berarti Tanah Kehidupan, menjadi tajuk yang menggambarkan esensi ekspedisi tahun ini. Melalui arsip foto, video, dan catatan lapangan, pameran ini memperlihatkan bagaimana masyarakat adat di Sorong, Tambrauw, Jayapura, hingga Merauke menumbuhkan praktik ekonomi dan budaya yang berakar pada harmoni dengan alam.Dalam pembukaannya, pengunjung disambut pertunjukan seni Bara Sunyi di Tanah Harmoni oleh Ikatan Keluarga Mahasiswa Timur (IKMT) ISI Yogyakarta, yang menggambarkan pergulatan antara manusia dan tanah dalam wujud simbolik.Ilustrasi pameran ekspedisi Arah Singgah bertajuk “Makan Key Almig” yang berarti Tanah Kehidupan dari Suku Malind dan masyarakat adat lainnya di Tanah Papua (Dok. spesial) “Ada semacam benturan antara proyek strategis pemerintah untuk memperkuat ketahanan pangan dengan perencanaan membangun ‘lumbung’ pangan di Merauke. Pasalnya, masyarakat adat Suku Malind memiliki hak hidup yang perlu didengar”, jelas Ayos Purwoaji sebagai Kurator dari pameran ini.Kurator juga menjelaskan, tim ekspedisi juga ke Jayapura bertemu dengan Suku Tobati di Teluk Youtefa. Masyarakat adat Tobati memiliki hutan adat mangrove, yang hanya bisa dimasuki oleh perempuan saja untuk mencari kerang sebagai mata pencaharian mereka. Belakangan ketika terjadi perluasan kota Jayapura, dibangun jalan raya yang membelah laut sehingga melintasi hutan adat. Perempuan masyarakat adat Tobati, mengaku khawatir saat memasuki hutan adat ini karena bukan lagi menjadi wilayah aman bagi perempuan suku ini.Ekspedisi juga menyigi masyarakat adat Suku Moi di Sorong. Mereka punya hutan yang sangat terawat, di mana hutan ini adalah habitat burung Cenderawasih dan burung-burung endemik lainnya, jelas Ayos. Karena arsip foto dan catatan yang  bersifat jurnalistik dirasa perlu digenapi dengan kolaborasi bersama seniman dari Papua, maka pameran ini juga mengajak Kolektif Seni Udeido.Ilustrasi pameran ekspedisi Arah Singgah bertajuk “Makan Key Almig” yang berarti Tanah Kehidupan dari Suku Malind dan masyarakat adat lainnya di Tanah Papua (Dok. spesial) Para ekspeditor Arah Singgah, Mauren Fitri, Rifqy Faiza Rahman, dan Deta Widyananda, juga berkisah tentang perjalanannya di tanah Papua. Ekspeditor menggambarkan cerita bahwa tanah bagi masyarakat adat di Papua adalah kehidupan. Seperti di Suku Malind, suku yang memiliki beberapa fam dengan nama tertentu menandai tanaman pangan atau hewan. Nama ini memiliki tujuan untuk melindungi habitat yang hidup di tanah yang mereka hidupi supaya ekosistem hidup harmonis. Lewat pameran ini, harapannya dapat mengambil makna dan pemahaman tentang apa yang luput dari yang kita pahami selama ini tentang tanah Papua, jelas Deta.Pameran yang berlangsung hingga 5 Desember 2025 ini menghadirkan berbagai kegiatan pendukung. Mulai dari lokakarya, diskusi publik, hingga pertunjukan seni yang membicarakan topik ekologi, kearifan lokal, dan keberlanjutan. Melalui “Makan Key Almig”, TelusuRI tak sekadar menampilkan hasil perjalanan, tetapi juga mengundang publik untuk merenungi makna tanah kehidupan, sebuah ruang yang memberi napas, cerita, dan arah bagi manusia yang tinggal di dalamnya.