Redenominasi Rupiah: Ilusi Angka yang Mengganggu Fokus Ekonomi Bangsa

Wait 5 sec.

Ilustrasi redenominasi mata uang rupiah yang akan dilakukan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. (Instagram)JAKARTA - Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai rencana redenominasi rupiah hanya menjadi ilusi angka yang tak menambah nilai bagi perekonomian nasional dan justru mengalihkan fokus pemerintah dari persoalan yang lebih mendasar yakni produktivitas dan pertumbuhan riil.“Redenominasi tidak mengubah daya beli. Tidak mengubah pendapatan riil. Tidak mengubah harga relatif. Tidak menciptakan lapangan kerja. Tidak memperkuat struktur industri. Hanya mengubah angka yang tercetak di uang kertas, label harga, sistem akuntansi, dan papan pajak,” tuturnya dalam keterangan resmi, Minggu, 9 November.Contohnya, sambung Syafruddin, bila semangkuk bakso seharga Rp20.000 kemudian menjadi Rp20, daya beli masyarakat tetap sama.“Uang seratus ribu yang bisa membeli lima mangkok tetap bisa membeli lima mangkok. Redenominasi hanya menukar tampilan, bukan substansi,” katanya.Menurut Syafruddin, redenominasi hanya menawarkan efisiensi administratif yang bersifat simbolik. Penyederhanaan sistem mata uang memang tampak efisien secara administratif, namun tidak memperkuat sektor riil.“Keuntungan yang dijanjikan lebih bersifat psikologis dan simbolik. Padahal, stabilitas ekonomi sejati dibangun dari pondasi yang jauh lebih dalam, produktivitas, kredibilitas fiskal, dan kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi,” ujarnya.Selain tidak memberi manfaat nyata, sambung Syafruddin, proses redenominasi justru berbiaya besar, mulai dari pencetakan ulang uang kertas dan koin, pembaruan software dan sistem pencatatan. Belum lagi, pemerintah harus menjalankan kampanye sosialisasi nasional agar masyarakat tidak bingung dan pelaku usaha tidak salah menghitung.Meski begitu, menurut Syafruddin, selama masa transisi, potensi kekacauan administratif dan kebingungan publik sulit dihindari.“Selama masa transisi, akan terjadi duplikasi mata uang lama dan baru yang berjalan berdampingan. Ini menimbulkan potensi kekacauan administratif, keraguan konsumen, bahkan peluang kecurangan. Pelaku usaha kecil akan kesulitan beradaptasi,” jelasnya.“Masyarakat rentan terhadap money illusion—persepsi keliru bahwa harga-harga turun karena melihat angka yang lebih kecil, padahal daya beli tetap. Akibatnya, kepercayaan terhadap harga bisa terganggu, dan stabilitas ekonomi justru terancam,” sambungnya.Syafruddin mengatakan di banyak negara, redenominasi dilakukan karena kebutuhan mendesak seperti hiperinflasi. Indonesia, sebaliknya, berada dalam kondisi inflasi yang terkendali.“Jika pemerintah bersikukuh melakukannya, artinya mereka justru mengalihkan perhatian dari prioritas utama mendorong pertumbuhan ekonomi secara riil,” katanya.Syafruddin memandang wacana redenominasi adalah bentuk kegagalan memprioritaskan yang esensial. Daripada sibuk dengan tiga angka nol di mata uang, lebih baik pemerintah sibuk dengan reformasi struktural.“Alihkan energi dan anggaran untuk pendidikan vokasi, digitalisasi sektor pertanian, penguatan rantai pasok industri, dan pengentasan pengangguran,” tuturnya.Lebih lanjut, dia mengatakan Indonesia tidak butuh ilusi stabilitas dalam bentuk nominal baru. Kata dia, yang dibutuhkan adalah realitas pertumbuhan yang bermakna bagi rakyat.“Redenominasi bukan jawaban atas tantangan zaman. Redenominasi adalah pengalih perhatian dari kerja besar yang masih tertunda. Tunda atau batalkan kebijakan ini, dan arahkan semua sumber daya negara untuk satu hal yang benar-benar dibutuhkan, transformasi produktivitas demi masa depan Indonesia yang lebih kuat,” ujarnya.