Jalan Purbaya: Dari Whoosh menuju Redenominasi Rupiah

Wait 5 sec.

Ilustrasi redenominasi rupiah. Generated with Gemini.Agaknya tumpul sudah sikap blak-blakan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa soal pembayaran utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh). Semula ia kukuh menolak pembayaran utang ini dengan tidak memakai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan menuntut Danantara yang harus mengurusnya. Namun, langkah Purbaya ini kemudian "terkunci" setelah Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa pemerintahannya akan bertanggung jawab penuh atas persoalan utang Whoosh, termasuk dengan menggunakan APBN atau memanfaatkan uang hasil sitaan dari para koruptor.Solusi pelunasan utang Whoosh tersebut sebetulnya belumlah jelas karena berbagai skenario konon masih dirundingkan, termasuk dengan pihak China. Kalaupun menggunakan uang sitaan korupsi, jumlahnya pun diyakini tidaklah seketika cukup dan kontinuitasnya pun masih diragukan. Padahal, cicilan utang Whoosh mencapai lebih dari Rp1.2 triliun per tahun. Artinya, hampir pasti harus ada kontribusi dari APBN untuk pembayaran utang tersebut.Menuju Redenominasi RupiahTak kurang langkah "menggigit", Purbaya baru-baru ini mengungkap rencana pemerintah untuk melaksanakan redenominasi rupiah. Ini adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah daya beli masyarakat, yakni Rp1.000 menjadi Rp1, tetapi nilai tukar dan harga barang tidak akan berubah. Jadi, hanya jumlah digitnya saja yang disesuaikan.Ilustrasi uang rupiah. Foto: Maciej Matlak/ShutterstockRencana ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025—2029, yang salah satu poin pentingnya adalah rencana penerapan UU Redenominasi Rupiah yang ditargetkan berlaku pada tahun 2027.Peningkatan efisiensi ekonomi nasional, terjaganya stabilitas nilai rupiah, serta penguatan kepercayaan publik dan kredibilitas mata uang Indonesia di mata dunia adalah tujuan utama yang hendak dicapai dengan langkah ini. Diharapkan juga, langkah ini mampu mendukung kelancaran transaksi ekonomi, memperbaiki sistem akuntansi, maupun memudahkan masyarakat dalam memahami nilai mata uang di masa depan. Apakah redenominasi rupiah pasti mampu mencapai tujuan-tujuan itu? Tentu tidak, apalagi bila kemudian ke soal ekspektasi dampak positifnya pada daya beli masyarakat. Praktik menghilangkan angka nol secara tidak resmi sebetulnya sudah terjadi, dengan penggunaan huruf kapital "K" di label harga. Misalnya, harga segelas kopi sebenarnya adalah Rp10.000, penjual menuliskannya menjadi Rp10K. Penggunaan huruf "K"—yang merupakan kepanjangan dari kilo—memang memendekkan penulisan angka harga. Dengan redenominasi, harga segelas kopi akan benar-benar menjadi Rp1, tanpa tambahan huruf "K" sama sekali.Ilustrasi gelas kopi berwarna hijau. Foto: Iuliia Pilipeichenko/ShutterstockSudah tentu, hanya yang mempunyai daya beli minimal Rp1 saja yang mampu membeli kopi seharga Rp1. Artinya, redenominasi rupiah juga menuntut langkah-langkah strategis dan struktural untuk memacu produktivitas ekonomi yang berdaya saing dan dapat menghasilkan lapangan kerja secara memadai, sehingga masyarakat pun mengalami peningkatan penghasilan dan kemudian daya beli, sejauh inflasi dapat dikendalikan.Dari sisi pelaksanaan, secara umum redenominasi mata uang menuntut setidaknya ekonomi yang stabil dan inflasi yang rendah sebagai syarat utama yang mendahuluinya. Apakah waktu dua tahun persiapan akan memadai? Yang diketahui pasti, kini stabilitas ekonomi nasional masih mudah goyang ketika ada gejolak, termasuk dari ekonomi global yang jelas di luar kendali Indonesia. Saat ini, inflasi Indonesia termasuk rendah dibandingkan sejumlah negara anggota kelompok G20. Namun, sebagaimana gejala deflasi beberapa waktu lalu, tingkat inflasi yang lumayan rendah tersebut masih menyisakan pertanyaan: Apakah hal ini jangan-jangan justru cerminan bahwa daya beli masyarakat masih belum benar-benar pulih dan aktivitas ekonomi produktif masih tersendat-sendat?Mitigasi RisikoDengan demikian, redenominasi haruslah dipersiapkan dengan matang agar tidak menjadi sekadar tindakan kosmetik. Ini bukan hanya langkah redenominasi rupiah itu saja, melainkan juga prakondisi yang harus ada. Seperti sudah disebutkan di atas, dibutuhkan ekonomi yang stabil dan produktif, inflasi yang cukup rendah dengan daya beli masyarakat yang kuat. Bagaimanapun harus diingat juga bahwa membesarnya skala nominal rupiah yang melekat harga sekarang adalah juga buah dari inflasi dalam kurun yang panjang.Ilustrasi rupiah digital atau uang digital. Foto: Wael Khalill alfuzai/ShutterstockSalah satu hal rawan lainnya yang juga harus diperhatikan adalah persepsi publik. Artinya dibutuhkan strategi komunikasi dan edukasi yang tepat sepanjang proses menuju realisasi rencana redenominasi. Cara pemerintah berkomunikasi sering kali justru melahirkan blunder dan tidak mengandung esensi mendidik; kerawanan pada persepsi publik tentu potensinya tidak bisa diabaikan. Ketika direalisasikan, perlu pula dipastikan tidak terjadi aksi ambil untung oleh pedagang atau penjual misalnya dengan mengubah rasio konversi harga jual barang, mulai dari Rp10.000 harusnya menjadi Rp10, tetapi dinaikkan menjadi Rp11. Tampak kecil, tetapi implikasi negatifnya besar, dengan segera merusak daya beli masyarakat dan berpotensi mendorong naiknya inflasi. Masyarakat pembeli yang gagal paham esensi redenominasi pun dapat terdorong belanja berlebih karena merasa harga barang Rp11 masih lumayan murah, dibandingkan sebelum redenominasi—walaupun sudah dinaikkan sebesar Rp1, padahal sebetulnya terjebak dalam praktik penipuan. Singkatnya, kalaupun manfaat redenominasi sudah dikaji ketat, mitigasi risiko negatifnya juga harus diidentifikasi dan dirumuskan secara presisi. Semoga Pak Purbaya juga kukuh dan ngotot dalam memastikan mitigasi risiko negatif rencana redenominasi rupiah tersebut.