Menakar Arah Transformasi Digital Indonesia

Wait 5 sec.

Ilustrasi media digital. Foto: sdecoret/ShutterstockTransformasi digital telah menjadi jargon yang nyaris sakral dalam setiap pidato pejabat publik Indonesia beberapa tahun terakhir. Dari ruang rapat kabinet hingga panggung kampanye, digitalisasi dijanjikan sebagai solusi untuk segala masalah klasik bangsa, birokrasi lamban, ekonomi tidak inklusif, dan pelayanan publik yang berbelit.Namun setelah satu dekade lebih sejak peluncuran visi digital nasional, pertanyaan mendasarnya: Ke mana sebenarnya arah transformasi digital Indonesia dan siapa yang paling diuntungkan darinya?Menurut laporan IMDI tahun 2024, skor nasional berada di angka 43,34 (skala 0-100). Ini menunjukkan bahwa kapasitas masyarakat digital Indonesia meliputi infrastruktur dan ekosistem, keterampilan digital, pemberdayaan, dan pekerjaan berbasis digital masih jauh dari ideal. Sementara itu, hasil pemetaan awal TDN menunjukkan bahwa banyak provinsi masih berada pada level cukup rendah dalam transformasi digital nasional.Angka‐angka tersebut menegaskan bahwa digitalisasi di Indonesia belum menjadi gerakan nasional yang merata, melainkan masih terkonsentrasi di wilayah dan sektor tertentu.Ilustrasi kebijakan pemerintah. Foto: SsCreativeStudio/ShutterstockLebih jauh, banyak kebijakan digital justru masih terjebak pada pendekatan seremonial mengganti kertas dengan layar, bukan mengubah logika birokrasi dan pola pikir pelayanan publik.Antara Infrastruktur dan Tata KelolaPemerintah memang telah menempuh berbagai langkah untuk memperkuat fondasi digital nasional. Salah satu instrumen pengukuran resmi, TDN, mencakup lima pilar utama, yaitu infrastruktur digital, pemerintahan, ekonomi, masyarakat, dan ekosistem digital. Namun, hasil pemetaan awal menunjukkan banyak provinsi yang masih berada dalam klasifikasi menengah atau rendah.Masalah mendasar terletak pada tata kelola dan integrasi sistem. Hingga kini, banyak aplikasi layanan publik yang tidak terintegrasi secara lintas instansi dan koordinasi antarlembaga masih belum optimal. Kondisi ini menggambarkan bahwa transformasi digital belum menyentuh dimensi institusional dan budaya organisasi birokrasi.Digitalisasi birokrasi seharusnya bukan sekadar pengalihan layanan ke aplikasi, melainkan juga transformasi cara berpikir dalam melayani publik secara efisien, transparan, dan berbasis data.Ilustrasi informasi digital. Foto: Shutter StockJika transformasi digital diibaratkan sebagai kendaraan menuju kemajuan, saat ini Indonesia telah memiliki bahan bakar (infrastruktur dan akses), tetapi belum memiliki peta jalan dan koordinasi pengemudi yang jelas.Dimensi lain yang jarang dibicarakan secara terbuka adalah persoalan kedaulatan data. Di tengah gempuran investasi asing dan dominasi global platform, Indonesia masih kesulitan memastikan bahwa data warganya benar‐benar dikelola dengan prinsip keadilan dan keamanan.Instrumen seperti IMDI mencatat bahwa pilar pemberdayaan dan pekerjaan memiliki skor jauh lebih rendah dibanding infrastruktur dan keterampilan, misalnya pemberdayaan dengan skor 25,66 dan pekerjaan dengan skor 38,09.Angka ini menandakan bahwa meski akses dan ekosistem semakin membaik, dampak langsung terhadap pemberdayaan masyarakat dan integrasi digital ke dalam pekerjaan masih terbatas.Ilustrasi Data Analytics. Foto: Dok. Kuncie/TelkomselPadahal, data kini adalah sumber daya strategis baru minyak abad ke-21. Negara yang tidak mampu mengelola data warganya akan kehilangan kendali atas arah pembangunan ekonominya sendiri.Oleh karena itu, arah transformasi digital seharusnya tidak hanya menekankan pemerataan akses (digital inclusion), tetapi juga kedaulatan atas data dan teknologi (digital sovereignty). Ini berarti Indonesia perlu membangun sistem nasional yang kuat: pusat data pemerintah, regulasi yang melindungi data warga dari eksploitasi komersial, dan kebijakan interoperabilitas yang ketat.Selain itu, literasi digital masyarakat harus menjadi agenda utama. Meskipun skor pilar keterampilan digital mencapai 58,25 (menjadi komponen tertinggi IMDI 2024), tetap diperlukan peningkatan signifikan agar masyarakat mampu berpartisipasi penuh dalam ekonomi digital serta terlindungi dari risiko keamanan siber dan disinformasi.Transformasi digital yang sejati adalah perubahan sistemik, bukan sekadar teknologi baru. Pemerintah perlu menata ulang arah kebijakan agar berpijak pada tiga prinsip utama.Ilustrasi informasi digital. Foto: Shutter StockPertama, integrasi lintas sektor dan lembaga. Setiap kebijakan digital harus bersandar pada satu arsitektur nasional yang interoperabel, dengan data platform bersama yang diawasi oleh lembaga independen.Kedua, kedaulatan dan etika data. Penggunaan data publik harus tunduk pada prinsip transparansi, privasi, dan akuntabilitas, agar digitalisasi tidak berubah menjadi instrumen pengawasan berlebihan.Ketiga, inklusivitas dan keadilan sosial. Arah transformasi digital harus memastikan manfaatnya menjangkau petani, nelayan, dan pelaku UMKM di pelosok, bukan hanya perusahaan raksasa teknologi di Jakarta.Transformasi digital juga perlu diposisikan sebagai proyek kebangsaan yang melibatkan perguruan tinggi, komunitas teknologi lokal, dan masyarakat sipil. Pemerintah bukan satu-satunya aktor; peran warga digital baik sebagai produsen maupun penjaga etika teknologi menentukan keberlanjutan ekosistem digital nasional.Ilustrasi digital nomad. Foto: Getty ImagesDengan demikian, ukuran keberhasilan transformasi digital bukan hanya seberapa canggih sistem yang dibangun, melainkan seberapa adil manfaatnya dirasakan masyarakat. Indonesia telah melangkah cukup jauh dalam membangun infrastruktur dan kerangka pengukuran digital (seperti TDN dan IMDI). Namun, langkah tersebut akan sia-sia bila arah kebijakannya tidak berpihak pada kepentingan publik dan kedaulatan bangsa.Transformasi digital bukan sekadar urusan kecepatan internet atau jumlah aplikasi, melainkan tentang bagaimana teknologi digunakan untuk memperkuat demokrasi, memperluas kesejahteraan, dan menegakkan keadilan sosial di ruang digital.Kini saatnya pemerintah menakar ulang arah transformasi digital Indonesia. Apakah ia menuju kemandirian dan keadilan, atau justru terjebak dalam arus teknologi yang dikendalikan oleh segelintir elite dan korporasi global?