Anatomi Fans K-pop di Indonesia: 'Kami Tidak Dipahami secara Utuh'

Wait 5 sec.

Suasana acara kumparan hangout Noraebang Special Edition BTS di The Park Pejaten, Sabtu 24 Februari 2024. Foto: Jamal Ramadhan/kumparanPenggemar K-pop, atau fandom, di Indonesia berkembang begitu pesat seturut dengan terbukanya akses ke internet, beragamnya platform media sosial, hingga menjamurnya industri hiburan di Korea Selatan. Dimensi tentang fandom tidak sekadar hubungan penggemar dan idola. Bicara fandom lebih dari itu.Adalah Kim Seok-jin yang membuat Kerigit, perempuan muda di Jakarta, menyodorkan hati kepada kelompok musik asal Korea Selatan, Bangtan Boys alias terkenal dengan BTS. Jin merupakan salah satu personel BTS. Rasa suka Kerigit kepada BTS itu muncul saat Jin, nama panggung Kim Seok-jin, menyanyikan lagu berjudul "Epiphany."Awalnya Kerigit hanya tertarik pada musikalitas lagu itu. Dia tidak mengerti lirik dan pesan di dalamnya karena lagu itu ditulis dalam bahasa Korea Selatan. Lewat mesin penerjemah, Kerigit lantas mencari tahu makna di balik "Epiphany."Begitu dia paham, "aku langsung suka dan beralih ke lagu Jin yang lain," ujar Kerigit. Di titik itu pula dia mengenal BTS.Jin di sebuah acara di Seoul, Korea Selatan.Menurut Kerigit, lagu "Epiphany" bercerita tentang "bagaimana kita belajar mencintai diri sendiri." Dia berkata, lagu itu menyentuh perasaannya."Mungkin pada saat itu momennya pas. Aku lagi ngerasa jatuh sekali. Lagi ada masalah pribadi juga," kata Kerigit kepada BBC News Indonesia.Jin dan "Epiphany" mendekatkan Kerigit kepada BTS. Kerigit bilang, dia belajar memahami koneksi antarpersonel di grup vokal itu. Walaupun usia masing-masing member BTS masih sangat muda saat Kerigit pertama kali mengenal BTS, dia mengklaim mereka sebagai figur yang bijaksana.Kerigit mencontohkan Jin. Dari Jin, Kerigit menyadari betapa "kita tidak perlu mengejar pengakuan orang lain," paparnya. Yang terpenting adalah "kita mengakui diri kita sendiri sebaik mungkin," tambah Kerigit."Jin itu di antara semua member BTS, dia adalah yang paling tidak punya background untuk menjadi idol. Dia tidak bisa menyanyi, tidak bisa menari. Tapi, dia belajar, dan akhirnya, sekarang, kalau konser, misalnya, suara Jin itu yang paling stabil," kata Kerigit."Jadi, aku belajar kayak begitu. Maksudnya, I've done my job, and I've done my best. That's it," tuturnya.Menurut Kerigit, BTS, lewat lagu-lagu yang mereka ciptakan, mengajak pendengar serta penggemar berefleksi tentang banyak hal, terlebih yang berurusan dengan sudut pandang personal. Menurutnya, mendengarkan dan mengikuti karya BTS seperti sebuah pengalaman spiritual.Kerigit mengklaim BTS telah menyelamatkannya dari keputusasaan. Andaikata dulu tidak mengenal BTS, kata Kerigit, "mungkin sekarang aku sudah masuk ke 'jurang' yang paling dalam.""Kenapa? Karena lagu-lagu mereka ada saat aku menemukan kebahagiaan, pada saat aku menemukan ketenangan, pada saat aku merasa mereka itu berada di dalam hampir semua situasi yang aku alami sehari-hari," ujarnya."Dan itu yang membuat aku semakin into BTS, menjadi seorang ARMY," kata Kerigit.RM dan V, dua personel BTS, setelah wajib militer.ARMY adalah sebutan penggemar, atau fandom, yang terafiliasi ke BTS. Menurut Kerigit, ARMY bukan semata fandom, tapi juga representasi relasi sesama penggemar yang dibalut solidaritas. Mereka menyebutnya, "ARMY jaga ARMY."Sikap saling menjaga itu terwujud saat BTS mengadakan konser, kata Kerigit. Di lokasi konser misalnya, ARMY akan membagikan berbagai kebutuhan, dari minum, makanan, hingga aksesoris, kepada ARMY yang lain secara cuma-cuma alias gratis.Saat di tengah pertunjukan BTS terdapat seorang ARMY yang hamil, ARMY bakal membuka antrean agar yang bersangkutan dapat segera masuk ke dalam arena dengan aman.Sejumlah "aksi kecil" seperti itu, bagi Kerigit, merupakan gambaran nyata bagaimana ARMY menerapkan pesan-pesan yang disebarkan BTS lewat lagu mereka. "Biasanya yang penggemar yang berbuat negatif mengidolakan member sampai tidak melihat pesan yang disampaikan BTS secara keseluruhan. Bahkan ada juga yang, misalnya, sampai saling jelek-jelekin segala macam," kata Kerigit.Kerigit berkata, kecintaan kepada K-pop, atau kalau dalam pengalamannya 'kegemaran terhadap BTS', sering kali diasumsikan sebagai sikap fanatik, rela membela mati-matian seorang idol atau grup. Walau mengaku "cinta dengan BTS," Kerigit berkata dia kerap mengingatkan anggota ARMY yang lain "untuk tetap bernalar dan waras.""Aku selalu bilang sama teman yang lain: mereka [personel BTS] itu manusia. Seperti halnya manusia pada umumnya, mereka juga bisa bikin salah," kata Kerigit.'Fandom K-pop Erat dengan Stigma'Sepanjang 2019 hingga 2020, kelompok penggemar K-pop merupakan motor penggerak dalam meramaikan tagar bersangkutan, berdasarkan riset peneliti media sosial yang tergabung di Drone Emprit.Dalam kurun dua tahun itu, demonstrasi meluas terjadi di Indonesia dalam tajuk 'Reformasi Dikorupsi' dan 'Mosi Tidak Percaya.' Tajuk pertama dibikin untuk merespons revisi Undang-Undang KPK, sementara yang kedua menargetkan pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja.Merujuk temuan Drone Emprit, tagar #MosiTidakPercaya digaungkan oleh akun-akun dengan foto idol K-pop. Berbagai akun itu, menurut Drone Emprit, "dalam waktu singkat bersatu mengangkat tagar tersebut dan tagar-tagar lain sehingga menjadi trending topic dunia."Riset berjudul Break the Structure: BTS ARMY Digital Activism and State Surveillance in Indonesia's Omnibus Law Protest yang disusun Karlina Octaviany menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi lantaran fandom K-pop dapat meruntuhkan hierarki sistem sosial. Oleh karenanya, langkah itu memudahkan budaya partisipatoris dalam mempraktikkan nilai kolektif."Fandom K-pop, yang mayoritas perempuan, bertumbuh seperti rhizoma yang egaliter, tanpa komando, dan dalam identitas internet yang anonim," kata Karlina kepada BBC News Indonesia.Potret sejumlah mahasiswa yang berunjuk rasa di Jakarta, pada Oktober 2019.Karlina menjelaskan, fandom K-pop di Indonesia sudah mengalami lokalisasi dengan kekhasan yang mudah dikenali. Di luar aktivisme digital, seperti yang lahir ketika protes 'Reformasi Dikorupsi' maupun penolakan UU Cipta Kerja, fandom K-pop identik atas lelucon, meme, fanedit ala sinetron, sampai donasi untuk Palestina. Namun, Karlina memandang kehadiran fandom K-pop dimaknai tidak utuh."Selayaknya fandom K-pop maka dia erat dengan stigma patriarki dan diskriminasi gender seperti histeris, obsesif, bocil gila, sampai budhe kurang kasih sayang," ujarnya."Fandom K-pop juga kerap mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO). Media di Indonesia pun menarasikan stigma ini dalam pemberitaan."Menurut Karlina, publik tak semestinya menyalahkan fandom tanpa mengkritisi patriarki dan perlindungan komunitas di media sosial.Berdasarkan pemantauan Karlina, fandom K-pop, yang sebagian besar perempuan, justru berada dalam situasi terjepit.Media sosial, kata Karlina, memelihara algoritma berdasarkan tingkat engagement konten yang tinggi, termasuk "merekomendasikan fan war dan ujaran kebencian terhadap fandom tertentu."Beragam topik yang menyenggol K-pop, menurut Karlina, turut menjadi ajang netizen sampai brand mendulang viralitas. "Tidak terkecuali komentar yang negatif," ujarnya."Platform media sosial merekomendasikan paparan konten negatif secara terus-menerus karena potensi viralitas itu tadi sehingga sulit untuk melihat penyebab awalnya," kata Karlina."Hanya tampak ujung ketika terjadi fan war, misalnya, hingga konten itu yang terus mengemuka."Pengunjung di sebuah pameran BTS di Jakarta, Indonesia.Keadaan ini, tutur Karlina, "makin sulit dihentikan sebab keterlibatan buzzer yang meniru anonimitas avatar K-pop dalam mengatur pengalihan narasi yang trending.""Penelitian saya menemukan ketika terjadi avatar K-pop tiruan, justru fandom yang bisa mendeteksi karena lingo dan konteks tentang idol mereka sudah khatam. Tapi, sulit untuk menjelaskan ketika misinformasi beredar di luar komunitas, apalagi ketika dikompori opini stigma negatif fandom tertentu," sebut Karlina.Kekhawatiran Karlina makin meluas seiring posisi fandom K-pop di Indonesia yang, menurutnya, "sudah menjadi aktor non-negara dengan kekuatan siber yang penting mengingat jumlahnya besar di media sosial."Partisipasi aktif fandom K-pop di beberapa kesempatan politis membikin peran mereka tidak sebatas pembahasan atau permasalahan K-pop semata.Fenomena aktivisme digital fandom K-pop tidak menutup kemungkinan lahirnya pengawasan sistematis (surveillance), manipulasi konten dalam rangka memancing kemarahan (rage baiting), hingga doxxing maupun perisakan terstruktur."Padahal fandom bisa menjadi ruang aman kebebasan berekspresi dan merasakan emosi, meregulasi emosi tanpa takut penghakiman," ujar Karlina.Pengunjung di pameran BTS di Jakarta.'Saya Dituduh Memprovokasi Serangan kepada ARMY'Prasetya melihat keributan antarpenggemar K-pop sebagai sesuatu yang lumrah. Tidak sekali saja dia menyaksikan fandom K-pop saling berdebat panjang di media sosial; membela masing-masing idol.Dia merasa itu bagian dari "dinamika kelompok ketika sebuah komunitas terbentuk.""Tapi, selama itu hanya ribut-ribut di media sosial, seharusnya tidak terlalu signifikan dampaknya ke dunia nyata. Itu enggak terlalu saya pusingin," cerita Prasetya, seorang pekerja di Jakarta, saat dihubungi BBC News Indonesia.Ternyata Prasetya keliru.Dalam beberapa hari belakangan, jagat platform X diramaikan keriuhan yang melibatkan ARMY—pendukung BTS—dengan warganet. Penyebabnya yakni tudingan ARMY kepada netizen yang merisak pentolan BTS, Kim Nam-joon, biasa dipanggil RM. Tuduhan ARMY ramai-ramai dibantah netizen.Perdebatan tersebut meluas ke platform yang lain ketika sebuah brand perawatan melakukan sesi live di TikTok. Prasetya, waktu itu, kebetulan sedang mengikuti live dari brand tersebut untuk mencari diskon. Di tengah-tengah, Prasetya merasa ada keanehan."Saya melihat jumlah pesertanya naik tinggi banget. Yang awalnya cuma puluhan, ini sampai ratusan. Dan komentarnya berisi kemarahan. Mereka menyebut BTS," ujarnya.Prasetya lalu menengok ke platform sebelah, X, dan berupaya mengurai asal-usul kemarahan itu. ARMY menganggap brand ini turut ikut serta mengolok-olok RM. Prasetya tidak mendapati tudingan para ARMY."Ketika saya baca lagi, enggak ada mengejek. Karena memang sebuah brand, bagi saya, untuk bisa marketing mereka akan mencoba relevan [terhadap yang lagi ramai]," tuturnya.Keramaian di sesi live dari brand itu terus berjalan. Prasetya mulai tidak nyaman lantaran komentar-komentar yang ditujukan justru mengganggu pembawa acara live yang, menurut Prasetya, tidak ada sangkut pautnya dengan keributan di X. Sang host pun bahkan meminta maaf kepada akun-akun yang menyambangi live.Dari situ, Prasetya merekam bentuk-bentuk gangguan di sesi live dan mengunggahnya ke X. Prasetya mengingatkan supaya ARMY tidak mengusik pekerjaan host bersangkutan. Unggahan Prasetya viral dan huru-hara kian panjang.Yang tidak diperkirakan Prasetya ialah posting-an di X mendorong beberapa ARMY untuk melaporkannya ke kantor tempatnya bekerja. Dia dituding melakukan manipulasi opini publik. Atasan Prasetya diminta menegurnya. Tidak hanya lewat email, ARMY juga menelepon kantor Prasetya. Tujuannya sama."Di awal email, pengirim ini mengaku adalah individu biasa yang merasa sangat resah. Tapi, setelahnya muncul kalimat bahwa perilaku saya menimbulkan keresahan serta memprovokasi serangan kepada komunitas ARMY dan BTS," papar Prasetya."Kemudian di email itu saya juga mengecek bahwa penerima email ada BIGHIT dan Hybe, dua-duanya label dan agensi BTS."Prasetya bingung dengan kemunculan email tersebut. Dia mengklaim, semata-semata ingin meredamkan aksi yang dia pandang sudah tidak kondusif. Kantor Prasetya bekerja lantas merespons laporan itu melalui investigasi internal, mencari kebenaran atas tuduhan "provokasi" serta "manipulasi opini publik."Hasilnya: Prasetya tidak melakukan hal seperti yang disebut pengirim email.Prasetya hanya bisa tertawa.Di luar surat yang membawa embel-embel ARMY, perbincangan di linimasa X masih bersambung, bahkan berujung saling doxxing (pembukaan identitas) antara dua kubu: warganet dan mereka yang mengaku ARMY.'Kalau Pengin Viral Sentil Saja K-pop'Perkenalan Nabiri Tata dengan dunia K-pop dimulai pada lebih dari satu dekade yang lalu, tepatnya 2011. Kala itu, Tata, panggilan akrabnya, menyaksikan video musik BIGBANG. Tata dibuat terkesima lantaran merasa lagu BIGBANG "tidak biasa." Tidak butuh waktu lama baginya untuk mendapuk diri sebagai fans BIGBANG yang biasa disebut 'V.I.P.' Intensitasnya ke dunia K-pop perlahan tumbuh dengan terlibat dalam interaksi sesama fans. Tata, beserta V.I.P. lainnya, aktif membahas album BIGBANG, selain proyek masing-masing personel, konser, bahkan sampai bermacam rumor yang menerpa mereka.Di taraf tertentu, komunikasi antara fans dapat berujung perdebatan sengit. Lingkup aksi ini menyasar dua jangkauan, menurut Tata."Dulu kebanyakan perang antara fandom. Tapi, war juga bisa terjadi di satu fandom yang sama," terangnya saat dihubungi BBC News Indonesia.Dalam konteks war semacam ini, pemicunya tidak pernah tunggal dan biasanya berkutat seputar "kualitas.""Misalnya fans BIGBANG ngerasa lagu paling keren, ya, [punya] BIGBANG. Apa itu Super Junior yang cuma joget-joget doang," cerita Tata."Padahal kalau mau dilihat, dua grup ini berbeda. Enggak bisa disamakan. War-nya kayak begitu."Penggemar Blackpink di Jakarta.Sepengalaman Tata, fandom pada eranya "jarang berdebat gara-gara urusan fisik." Fisik yang dimaksud di sini lebih mengarah ke klaim siapa penyanti K-pop yang paling rupawan.Kecintaan terhadap K-pop, di lain sisi, Tata tuangkan pula dalam perkara akademis. Tugas akhir Tata membahas soal fan fiction, salah satu medium yang dipakai para penggemar untuk menyusun cerita fiksi dengan idola mereka (idol) bertindak sebagai karakternya.Lambat laun, fokus Tata tak sepenuhnya ditujukan untuk K-pop. Kesibukan bekerja serta berkeluarga, dia mengakui, "membuat euforia terhadap K-pop sudah habis.""Sekarang cuma suka dengar-dengar saja. Tapi, untuk tahu ini grup mana, sudah enggak tahu lagi," tuturnya disusul gelak tawa.Meski demikian, ada satu grup yang dia familier: BTS.Bagi Tata, dinamika di dalam dunia fandom K-pop tidak kelewat mengalami perubahan signifikan dari pertama kali dia terjun dengan situasi saat ini. Keributan sesama fandom atau di luar penggemar sering kali menyeruak ke permukaan.Tata berpandangan "keriuhan" fandom K-pop, yang tak jarang disebut bernuansa negatif, didorong setidaknya tiga faktor.Faktor pertama yaitu karakter fandom yang "terlalu cepat memberikan reaksi" terhadap penghinaan-penghinaan yang diterima idol mereka."Karena merasa memiliki, karena merasa harus membela, mereka masih banyak tenaga untuk melakukan itu," tandasnya.Tata mendeskripsikan penggemar seperti ini ke dalam kategori "fans tahap awal." Sifat meledak-ledak yang lahir di fase pertama bergabung ke fandom K-pop bakal berkurang mengikuti pertambahan usia, jelas Tata.Lalu yang kedua yakni platform media sosial yang semakin banyak tersedia. Tata berkisah bahwa dulu komunikasi antarpenggemar mayoritas dibangun di Facebook dan Twitter (X). Kini, "ada Instagram, YouTube, sampai TikTok," ucap Tata."Bahkan sekarang sampai ke fitur live segala," tambahnya.Dengan keberadaan platform yang beragam, maka distribusi perbincangan yang melibatkan fandom akan menemui audiens yang berlipat. Jadilah viral.Dan terakhir, ketiga, Tata melihat sifat fandom K-pop yang reaksioner tersebut "dimanfaatkan banyak pihak guna memperoleh exposure." Pendek kata: ajak kelahi penggemar K-pop dan kelak 'ketenaran' bakal di tangan."Kalau pengin viral di Indonesia, sentil saja konsep agama atau penggemar K-pop. Rumusnya kayak begitu, kalau dari aku," katanya.Pengunjung memasuki arena konser Blackpink di Jakarta.Saat BIGBANG begitu tenar di kalangan anak muda Indonesia, Tata mengingat, seorang stand-up comedian "mencari gara-gara" dengan 'menyenggol' penggemar BIGBANG. Tak lama, sorot perhatian ke komika itu meningkat."Nah, untuk sekarang ini yang 'kena' adalah ARMY. Karena apa? Dia fandom paling besar dan reaksinya juga cukup cepat," terang Tata.Tata tidak menampik pernah dalam posisi yang disebutnya "fanatisme berlebihan." Dia berpendapat hal itu mampu menuntun kepada tindakan-tindakan yang merugikan seperti perisakan atau penyebaran identitas pribadi tanpa persetujuan (doxxing).Dia berharap penggemar K-pop bisa menahan diri agar tidak terjebak dalam siklus yang berulang: perdebatan maupun keributan tanpa henti di media sosial. Penggemar K-pop, dalam pandangan Tata, "mesti mulai melihat dunia secara lebih luas dan dari banyak sudut pandang.""Aku sendiri juga mengakui K-pop itu kalau bereaksi memang terlalu cepat. Kami itu terlalu cepat kepancing," tegasnya."Pada intinya adalah jika menyukai sesuatu kalau terlalu berlebihan, apa pun itu, memang enggak baik."Tidak sekadar kepada fandom K-pop, Tata juga mengingatkan "untuk pihak luar yang tidak menggemari K-pop" bahwa—pertama-tama—tidak perlu merespons fandom secara agresif.Pasalnya, "kita berada di sepatu yang berbeda," ujar Tata."Misalnya kalian menganggap mereka lebay banget dari dulu, itu mungkin berlebihan untuk kalian, tapi itu wajar untuk mereka," paparnya."Kalau, misalnya, kegiatan fangirling itu bisa menjadi wajah seseorang untuk healing, untuk mendapatkan hiburan, untuk seseorang bisa menenangkan hati dia, ya sudah biarkan saja. Kita punya dunia sendiri-sendiri."Menonton Blackpink dari laptop.Fandom di Antara Hallyu dan 'Kesamaan Nilai'Kultur fandom K-pop hari ini jejaknya dapat dilacak sejak 1996 bersamaan debut boyband H.O.T. yang berada di bawah agensi SM Entertainment, demikian kata dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Annisa Pratamasari."Meskipun kalau lagu [K-pop], mungkin, sudah ada dari Seo Taiji and Boys pada 1992 sampai 1996. Cuma, kalau maksudnya dari prototipe fandom culture-nya yang punya warna, kultur fandom seperti menulis fan fiction atau menjodohkan member, itu dimulai dari H.O.T.," Annisa menjelaskan kepada BBC News Indonesia.Perkembangan fandom bisa dibilang kemudian mengikuti pembagian babak periode. Setidaknya, sejauh ini, terdapat lima generasi fandom.Generasi pertama muncul pada awal 1990 hingga 2002 dengan grup macam H.O.T., SECHSKIES, sampai SHINWA.Lalu di generasi kedua, yang masa debutnya mulai 2004 sampai 2011, ada kelompok musik seperti BIGBANG, Girls Generation, KARA, SHINee, Super Junior, hingga Secret.Generasi ketiga diisi BTS, EXO, Blackpink, Red Velvet, sampai NCT. Masa generasi ketiga dimulai pada 2011 hingga 2017.Sedangkan generasi keempat, 2018 sampai 2023, memuat NewJeans, Aespa, TREASURE, hingga Rocket Punch.Dan terakhir, generasi kelima, menyertakan nama-nama seperti BABYMONSTER, BOYNEXTDOOR, hingga ZEROBASEONE. Kemunculan generasi ini diyakini pada 2023.Grup NCT di Seoul.Kelahiran fandom, di waktu yang sama, tidak terpisah dengan gelombang hallyu (hallyu wave) tatkala produk budaya populer Korea Selatan—film, musik, series—diekspor ke mancanegara. Indonesia bukan pengecualian.Penerimaan yang positif atas hallyu disebut Annisa karena cultural proximity, kedekatan budaya. Masyarakat menilai kebudayaan Indonesia serta Korea Selatan tidak jauh berbeda lantaran masih sama-sama berasal dari Asia.Dalam konteks K-pop, Annisa melanjutkan, "musiknya sendiri sebetulnya sudah digabung dengan hip-hop serta pengaruh genre dari Barat sehingga audiens Indonesia tidak susah menerimanya.""Ada yang disebut cultural hybridity. Jadi kultur ini meskipun dia Korea Selatan, meskipun dia menyanyi dengan bahasa Korea, tapi ini sesuatu yang terlihat seperti Hollywood," ucap Annisa.Annisa, yang turut meneliti mengenai fenomena pop culture Korea Selatan, melihat fandom dulu dan sekarang mirip belaka. Komunikasi sesama penggemar terbentuk atas dasar kesukaan terhadap boyband. Mereka rajin mengoleksi album, mendatangi konser, serta tidak ragu bergesekan dengan fandom lainnya.Geliat fandom yang kian masif, menurut Annisa, didorong kemunculan teknologi media sosial."Kalau saya melihatnya karena kebanyakan orang Indonesia punya akses ke media sosial. Dengan begitu, kita jadi semakin mudah mengakses informasi atau join ke fandom tertentu," tandasnya.Laporan We Are Social pada 2024, misalnya, menunjukkan pengguna internet di Indonesia menyentuh 185,3 juta orang, naik 0,8% dari tahun sebelumnya. Penggunaan smartphone (dan internet) untuk media sosial berada di angka 97,8%, tertinggi daripada kebutuhan lain seperti streaming, berita, atau musik.Dahyun, Nayeon, dan Jihyo dari TWICE meninggalkan bandara di Seoul.Fenomena fandom, dalam perspektif Annisa, tidak seharusnya ditempatkan di balok yang berbeda. Kemunculan fandom K-pop, pada dasarnya, "sama seperti fans di bidang lainnya," ujar Annisa.Eksistensi fandom apa pun, entah itu sepakbola, musik, atau film, "diikat oleh satu common value [kesamaan nilai] yang membikin mereka kompak," jelas Annisa."Kalau orang suka Manchester United, walaupun dia kalah terus, fans akan tetap di situ karena seperti itulah model fans," kata Annisa.'Semua Sengaja Didesain oleh Industri K-pop'Data yang disusun Chartmetric pada 2024 memperlihatkan Indonesia merupakan pangsa pasar K-pop terbesar di dunia, sekitar 18,47%. Indonesia mengungguli Amerika Serikat, Filipina, sampai negara asal K-pop itu sendiri: Korea Selatan.Riset Katadata Insight Center yang ditempuh Juni 2022 menunjukkan K-pop berada di posisi kedua serta ketiga jenis hiburan Korea Selatan yang dinikmati responden di Indonesia. Angkanya yaitu 55,1% untuk boyband dan 50,5% di girlband. Di atas K-pop terdapat K-drama dengan 60,3%.Kalau dibedah lagi, BTS menjadi boyband yang paling digemari (46%), unggul dari NCT (26%), EXO (21%), Super Junior (14%), dan Seventeen (11%). Dari sisi girlband, Blackpink jawaranya dengan 46,3%—melewati TWICE (17,4%), Girls' Generation (17,3%), Red Velvet (16,6%), serta ITZY (11,8%).Sementara dari aspek fandom, ARMY paling dominan (32,3%), disusul BLINK (Blackpink), EXO-L (EXO), dan NCTZen, masih mengacu pada temuan Katadata Insight Center. Keempatnya merupakan fans dari idol generasi ketiga.Selain mereka, fandom dari idol generasi kedua yang masuk 10 besar ialah E.L.F (Super Junior) serta SONE (SNSD). Sisanya diisi fandom generasi empat: STAY (Straykids), MOA (TXT), MY (aespa), dan Teume (Treasure).Pengunjung mal berfoto di depan poster BTS.Masifnya fandom K-pop di Indonesia dipengaruhi oleh desain industri K-pop yang berorientasi kepada keuntungan, atau profit, ungkap dosen Hubungan Internasional di Universitas Brawijaya, Amalia Nur Andini.Industri K-pop, Andini menerangkan, menyediakan berbagai elemen dalam marketing mereka guna menarik sebanyak-banyaknya orang bergabung menjadi seorang fans."Mereka jualan merchandise seperti lightstick atau tawaran membership. Keduanya seperti wajib dipenuhi kalau kita sudah masuk fanbase NCT, Super Junior, atau BTS," ujar Andini yang beberapa kali meriset perihal K-pop."Semakin kita banyak mengumpulkan perintilan-perintilan itu, semakin mengokohkan identitas kita sebagai fans K-pop sejati."Indikator lainnya tersaji melalui konstruksi "kedekatan" emosional antara idol dengan fandom yang sejak awal, lagi-lagi, dirancang menjadi pintu masuk mengumpulkan massa dalam volume yang besar, tambah Andini.Hubungan yang terjalin antara idol dan fandom kerap didefinisikan sebagai parasosial. Artinya, Andini menuturkan, fans "merasa mempunyai kedekatan emosional kepada idol mereka.""Walaupun idol-nya juga bahkan enggak tahu kita itu siapa. Mereka enggak kenal kita. Tapi, di sini, kita merasa sedekat itu dengan idol," ujarnya.Cara industri K-pop memupuk sisi emosional tersebut yakni dengan menyodorkan konten-konten di luar profesi idol, seperti aktivitas keseharian atau behind the scene, supaya semakin merekatkan kedekatan bersama fandom."Kalau dulu waktu awal-awal generasi dua, saya melihat idol itu ada dance practice. Dari situ kita bisa lihat kehidupan idol di luar panggung itu seperti apa. Tahu cara mereka ngomong, hobinya apa, makanan favoritnya apa, bahkan warna kesukaannya apa," sebut Andini."Hal-hal seperti ini, yang kemudian membikin fandom jadi seperti obsesif, itu memang sengaja dilakukan dari industri K-pop."Andini menambahkan bahwa melihat fandom K-pop tidak seharusnya bertumpu semata hanya di individu-individu di dalamnya.Segala konsekuensi yang dilahirkan fandom, positif serta negatif, merupakan output dari pengelolan, atau kapitalisasi, industri K-pop.Seulgi Red Velvet di Korea Selatan.Andini menganggap dinamika fandom akan senantiasa bergulir, termasuk dengan kemungkinan-kemungkinan perseteruan, perisakan, atau "pembelaan yang berlebihan."Walaupun demikian, langkah preventif tetap dapat diambil, menurut Andini."Salah satu cara untuk mencegah ini adalah dengan memperkuat relasi digital dan hubungan di dalam fandom itu sendiri, dan saya melihat pentingnya peran admin [grup fandom] karena dia yang memoderasi informasi yang masuk," paparnya."Kalau dari platform media sosial, kita bisa responsif untuk report ketika ada akun-akun yang, misalnya, menyulut emosi atau ada peluang melakukan bullying."