Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Foto: Shutter StockAngin segar kembali berhembus di dunia tata kelola pemerintahan. Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan No. 121/PUU-XXII/2024, mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).MK meminta pemerintah agar membentuk lembaga independen yang melakukan pengawasan sistem merit, termasuk pengawasan terhadap penerapan asas, nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN paling lama dua tahun sejak Putusan a quo diucapkan.Momentum ini bukanlah hadiah cuma-cuma untuk ASN dari Mahkamah Konstitusi. Ini adalah manifestasi perjuangan kembali untuk menegakan sistem merit secara holistik. Pelaksanaan sistem merit yang menjadi prinsip dasar pengelolaan manajemen ASN memang sudah dirasakan lebih baik, tetapi dapat dikatakan belum sepenuhnya terwujud.Kita memang tidak menafikan bagaimana apiknya kinerja KASN sebagai lembaga pengawas meritokrasi kala itu. Pada Laporan KASN kepada Presiden 2024, tercatat hingga Juni tahun 2024, KASN telah menilai 617 instansi pemerintah di mana 311 instansi pemerintah dalam Indeks Sistem Merit dengan Kategori “Baik” dan “Sangat Baik”. KASN juga telah menerbitkan 1261 Rekomendasi hasil Pengawasan Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), dengan tingkat kepatuhan instansi pemerintah untuk menindaklanjuti rekomendasi sebesar 88%.Ilustrasi kebijakan pemerintah. Foto: SsCreativeStudio/ShutterstockNamun ini semua belumlah cukup. Ada hal fundamental yang harus ditinjau ulang. Bahkan, jika tidak dilakukan perubahan akan terus menjadi batu sandung bagi terselenggaranya sistem merit yang paripurna.Pejabat Politik Vis A Vis Pejabat BirokrasiKita tidak boleh berfokus diri hanya pada pembentukan lembaga pengawasnya saja. Penundukan aparatur birokrasi oleh pejabat publik, dengan pendekatan kekuasaan, terus terjadi. UU ASN menetapkan bahwa posisi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) secara nasional berada di tangan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kewenangan pembinaan ASN tersebut didelegasikan kepada menteri, gubernur, bupati dan wali kota. Semuanya adalah pejabat politik yang dicalonkan oleh partai politiknya masing-masing untuk menduduki jabatan tersebut.Alhasil, pola hubungan kerja yang terjadi selama ini antara pejabat politik dengan pejabat birokrasi bersifat Patron-Klien yang rentan disalahgunakan. PPK dapat mengeluarkan kebijakan apa saja terhadap aparaturnya. PPK bisa merekrut, memutasi, dan mendudukkan “orang-orang kepercayaannya” di jajaran birokrasi, bahkan memanfaatkan seluruh ornamen birokrasi di dalamnya untuk kepentingan-kepentingan politis jangka pendek.Kita bisa saksikan bagaimana praktik jual beli jabatan masih subur di Indonesia. Kita belum lupa dengan rentetan kasus pejabat publik di Kementerian Agama, Gubernur Maluku Utara, Sekretaris DPRD Pemalang, serta empat kepala desa di Sidoarjo yang tertangkap tangan oleh KPK atas kasus korupsi karena jual beli jabatan.Ilustrasi korupsi. Foto: LightField Studios/ShutterstockBelum lagi menjelang kontestasi politik seperti pilkada dan pemilu, para pejabat publik yang notabene PPK tersebut kerap bersikap culas memobiliasi ASN untuk mendongkrak elektabilitas politik mereka. Pada tahun 2024, KASN menerima 324 ASN yang diadukan atas dugaan pelanggaran netralitas. Para ASN yang tersandera harus mengerahkan sumber daya yang melekat dalam jabatannya untuk mengamankan kepentingan politik pejabat. Jika ASN bersikap netral, ancaman mutasi ataupun non-job menanti.Fungsi pembinaan ASN oleh PPK tidak boleh lagi diserahkan kepada pejabat politik, seperti menteri, gubernur, bupati, dan wali kota. PPK harus berada di tangan pejabat karier tertinggi ASN, seperti sekretaris jenderal kementerian, sekretaris utama, dan sekretaris daerah.Dengan demikian, ASN diharapkan dapat terhindar dari politisasi birokrasi dan bekerja sesuai dengan kompetensi, berintegritas, dan bebas dari intervensi faktor non-merit, seperti politik, ekonomi, suku, agama, ras, gender, dan keluarga.Independensi KelembagaanPutusan MK No. 121/PUU-XXII/2024 tidaklah boleh dimaknai secara sederhana hanya sebatas kewajiban konstitusional dibentuknya lembaga pengawas meritokrasi ASN. Apalagi secara historis, Indonesia pernah memiliki KASN yang saat kelahirannya disambut setengah hati.Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Foto: Shutter StockTidak sedikit kalangan, salah satunya DPR, yang menolak dan berinisiasi agar KASN segera dihapuskan dengan alasan perampingan organisasi, kewenangan yang belum jelas, bahkan kehadirannya dianggap membebani anggaran negara.Pembentukan lembaga pengawas nantinya harus disertai dengan penguatan kelembagaannya, terlebih MK menyandangkan dengan gagah kata “independen” pada lembaga yang nantinya dibentuk.Meminjam pandangan Zainal Arifin Mochtar (2016) yang menyebut basis argumentasi yang menjadi faktor kelahiran lembaga-lembaga negara independen di beberapa negara, salah satunya adalah upaya negara melakukan spesifikasi pengurusan hal tertentu dalam rangka capaian kinerja tertentu. Oleh karenanya, sifat independen menjadi penting agar lembaga pengawas meritokrasi dalam menjalankan tugasnya dapat fokus dengan mengedepankan prinsip checks and balances.Nantinya, lembaga pengawas meritokrasi ini tidak boleh berhenti hanya pada independensi yang bersifat kelembagaan (institutional independence) saja. Independensi tidak cukup sekadar memproklamirkan dalam Undang-Undang bahwa lembaga ini bebas dari intervensi lembaga mana pun. Perlu juga ditegakkan independensi secara fungsional (functional independence) dan administratif (administrative independence) (Jimly Asshiddiqie, 2008).Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty ImagesKita bisa mengambil pelajaran terdahulu dari KASN. Pada aspek independensi fungsional, kita lihat bahwa penegakan rekomendasi KASN hanya bersifat administratif dan bergantung pada itikad baik PPK untuk melaksanakannya. Jika tidak ditindaklanjuti, KASN hanya bisa lapor kepada Presiden. Ke depan, rekomendasi lembaga pengawas harus bersifat final dan mengikat (final and binding). Lembaga ini harus dilengkapi kekuatan eksekutorial untuk menegakkan sanksi pelanggaran sistem merit.Independensi administratif juga perlu diperhatikan. Selama ini KASN juga memiliki keterbatasan dari sisi anggaran dan SDM. Anggaran KASN saat itu menempel pada KemenPAN-RB yang tentunya mengganggu kelincahan gerak lembaga dalam menjalankan tugasnya. Oleh karenanya, lembaga pengawas perlu diberikan otonomi dalam pengelolaan anggaran dan SDM-nya sendiri. Caranya, lembaga ini perlu dilengkapi dengan struktur organisasi, seperti sekretaris jenderal yang merupakan pejabat setingkat eselon I.Luasnya cakupan objek pengawasan juga perlu diimbangi dengan kedudukan lembaga pengawas yang memiliki wilayah kerja di seluruh Indonesia. Lembaga pengawas harus memiliki kantor perwakilan di setiap provinsi. Ini menjadi pertimbangan, mengingat Jumlah ASN semakin meningkat, yakni per September 2025 sebanyak 5,3 juta (BKN, 2025) yang tersebar di setiap provinsi dan kabupaten/kota.Pada akhirnya, pembentukan lembaga independen pengawas meritokrasi ASN ini membutuhkan komitmen politik dari presiden, seluruh pejabat pemerintahan di pusat dan daerah, dan juga masyarakat dalam kerangka semangat membangun good governance dan negara yang lebih demokratis. Oleh karenanya, hadirnya lembaga independen sebagai guardian of system merit menjadi sebuah jalan yang tidak bisa ditawar lagi.