Kesepian dan Kesendirian, Saatnya (Harus) Diakui sebagai Isu Kesehatan Publik

Wait 5 sec.

Sendiri dan kesepian walau di tengah keramaian. (Dokumen Pribadi) Kesepian yang Tak Terlihat, Tapi TerasaPerasaan sendiri dan sepi bisa terjadi di tengah keramaian. Di tengah riuhnya dunia yang terkoneksi 24 jam, ada jutaan orang yang merasa tak tersentuh. Mereka hadir di ruang-ruang publik, tapi tak pernah benar-benar dilihat. Mereka tertawa di media sosial, tapi menangis dalam diam. Mereka adalah para jomblo, para penyintas relasi, para perantau, para lansia, para penyendiri yang tak memilih sendiri. Dan pada 11 November, dalam Hari Jomblo Sedunia, mereka tak hanya merayakan status, tapi juga menyimpan luka yang tak pernah diakui negara, yaitu kesepian.Kesepian bukan sekadar perasaan. Kesepian adalah epidemi sunyi yang merayap di balik statistik pembangunan. Tak tercatat dalam RPJMN, tak dibahas dalam Musrenbang, dan tak masuk dalam indikator kinerja kementerian. Kesepian tidak diakui dalam konteks pembangunan. Padahal, kesepian membunuh perlahan. Mulai dari keterasingan sosial, depresi, sakit fisik, dan kematian. Bahkan bisa berujung pada bunuh diri. Pertanyaannya, sampai kapan negara akan terus abai?Kesendirian adalah Masalah Publik, Bukan Urusan PribadiMelalui tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa kesepian, termasuk yang dialami para jomblo, bukan sekadar urusan pribadi. Namun, merupakan isu kesehatan publik yang mendesak. Negara-negara maju seperti Jepang dan Inggris telah mengakui “loneliness epidemic” sebagai ancaman serius bagi kesejahteraan warganya. Indonesia, dengan populasi muda yang besar dan tekanan sosial yang tinggi, justru masih menertawakan kesendirian sebagai lelucon.Melalui Hari Jomblo Sedunia, kita punya momen reflektif untuk mendorong negara hadir. Bukan untuk mencarikan pasangan, tapi untuk menciptakan ekosistem sosial yang sehat, inklusif, dan empatik. Kesepian harus diakui, diukur, dan ditangani; sebagaimana kita menangani stunting, kemiskinan, atau pandemi.Kesepian bukan sekadar perasaan, melainkan ancaman kesehatan yang nyata dan kompleks. (Dokumen Pribadi)Kesepian Bukan Sekadar PerasaanKesepian sebagai Epidemi GlobalKesepian telah diakui sebagai ancaman kesehatan publik di berbagai negara maju. Pada tahun 2018, Inggris menunjuk "Minister for Loneliness" atau Menteri untuk Kesepian pertama di dunia, menyusul laporan dari Jo Cox Commission on Loneliness yang menyebut bahwa lebih dari 9 juta warga Inggris merasa kesepian “sering” atau “selalu”. Jepang, yang menghadapi fenomena “hikikomori” dan meningkatnya angka kematian akibat kesendirian, juga telah mengembangkan kebijakan intervensi sosial untuk mengatasi isolasi.Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kesepian dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, demensia, dan depresi. Sebuah studi dari Brigham Young University bahkan menyebut bahwa kesepian memiliki dampak kesehatan yang setara dengan merokok 15 batang sehari. Ini bukan sekadar metafora, melainkan fakta medis yang menunjukkan bahwa kesepian adalah ancaman nyata. Dalam laporan terbaru, WHO menyatakan bahwa setiap jam, sekitar 100 orang meninggal akibat penyebab yang terkait dengan kesepian, termasuk gangguan jantung dan kesehatan mental. WHO juga menekankan bahwa kesepian sangat berdampak pada remaja, lansia, dan masyarakat berpenghasilan rendah, yang cenderung memiliki akses terbatas terhadap dukungan sosial.Budaya Romantis dan Tekanan Sosial di IndonesiaDi Indonesia, status jomblo seringkali menjadi bahan olok-olok. Acara televisi, meme, dan konten media sosial menjadikan kesendirian sebagai lelucon; bukan sebagai kondisi yang perlu dipahami. Budaya patriarki dan norma sosial menekan individu untuk menikah di usia tertentu, seolah-olah relasi romantis adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan.Tekanan ini tidak hanya bersifat psikologis, tapi juga struktural. Perempuan yang belum menikah di usia 30-an sering kali dianggap “tidak laku”, sementara laki-laki jomblo dianggap belum mapan. Dalam birokrasi dan organisasi publik, status pernikahan bahkan masih menjadi pertimbangan dalam promosi atau penempatan kerja. Ini menunjukkan bahwa kesendirian bukan hanya soal pilihan pribadi, tapi juga soal akses dan keadilan sosial.Fenomena ini diperparah oleh algoritma media sosial dan aplikasi kencan yang memperkuat bias visual dan kelas. Mereka yang dianggap “tidak menarik” secara fisik atau ekonomi cenderung tersingkir dari peluang relasi. Kesepian menjadi sistemik, bukan sekadar individual, namun sudah menjadi masalah publik. Dan negara, melalui regulasi dan kebijakan sosial, punya tanggung jawab untuk mengintervensi.Negara (Harus) Hadir dalam SunyiKebijakan Publik yang Mengakui KesepianLangkah pertama adalah mengakui kesepian sebagai isu kesehatan publik yang sah. Pemerintah Indonesia perlu memasukkan indikator kesepian dalam survei kesehatan nasional, seperti Riskesdas atau Susenas. Dengan data yang terukur, intervensi bisa dirancang secara lebih tepat sasaran. Inggris, misalnya, telah mengembangkan strategi nasional untuk mengatasi kesepian sejak 2018, termasuk pendanaan komunitas lokal dan pelatihan petugas kesehatan.Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial bisa berkolaborasi untuk membentuk unit kerja lintas sektor yang fokus pada isolasi sosial. Program seperti Posyandu Remaja, layanan konseling daring, dan kampanye anti-stigma bisa diperluas dengan pendekatan psikososial. Kesepian bukan hanya urusan psikolog, tapi juga urusan negara.Selain itu, pemerintah daerah dapat mengintegrasikan isu kesepian dalam Musrenbang dan RPJMD. Ruang publik yang ramah interaksi, taman komunitas, dan kegiatan sosial berbasis kelurahan bisa menjadi strategi preventif. Kesepian harus ditangani seperti kita menangani stunting dengan menggunakan data, empati, dan anggaran.Membangun Ekosistem Sosial yang InklusifSolusi kedua adalah membangun ekosistem sosial yang inklusif dan tidak mendiskriminasi status relasi. Organisasi publik, kampus, dan tempat kerja harus menghapus bias terhadap status pernikahan. Promosi jabatan, akses beasiswa, dan partisipasi sosial tidak boleh dikaitkan dengan apakah seseorang sudah menikah atau belum.Media massa dan influencer juga punya peran penting. Narasi tentang jomblo harus bergeser dari lelucon menjadi refleksi sosial. Kampanye seperti “Sendiri Tapi Peduli” atau “Jomblo Produktif” bisa menjadi gerakan budaya yang mengubah cara pandang masyarakat. Kita perlu lebih banyak tokoh publik yang berani bicara tentang kesepian tanpa malu.Di sisi teknologi, platform digital bisa didorong untuk menciptakan ruang interaksi yang sehat dan tidak hanya berorientasi pada relasi romantis. Forum komunitas, ruang diskusi, dan algoritma yang mendorong koneksi berbasis minat bisa menjadi alternatif dari dating apps yang sering kali memperkuat bias visual dan kelas.Yang tak kalah penting adalah pendidikan. Kurikulum sekolah dan kampus perlu mengajarkan literasi emosional dan relasi sosial yang sehat. Anak muda harus dibekali kemampuan untuk membangun koneksi yang bermakna, bukan sekadar mencari pengakuan romantis. Kesepian bisa dicegah jika kita membangun generasi yang empatik dan inklusif.Sapa dan ajak bicara orang yang merasa sendiri, upaya kecil yang cukup berarti. (Dokumen Pribadi)Menyalakan Lilin di Tengah SunyiHari Jomblo Sedunia bukan sekadar perayaan status, tapi bisa menjadi momentum advokasi. Kita bisa mendorong pemerintah untuk menyusun kebijakan yang lebih empatik, membangun ruang sosial yang inklusif, dan menghapus stigma terhadap kesendirian. Kita bisa mengajak organisasi publik, kampus, dan komunitas untuk menciptakan ruang interaksi yang sehat dan bermakna.Dan kita, sebagai warga, bisa mulai dari hal kecil, menyapa tetangga yang jarang keluar rumah, mengajak teman lama untuk ngobrol, atau sekadar menulis pesan “apa kabar?” kepada seseorang yang mungkin sedang merasa sendiri. Karena kesepian tidak selalu butuh solusi besar. Kadang, ia hanya butuh satu lilin kecil yang dinyalakan di tengah gelap.Mari kita nyalakan lilin itu. Mari kita hadir, bukan hanya sebagai individu, tapi sebagai masyarakat yang peduli. Karena negara yang kuat bukan hanya yang membangun jalan dan gedung, tapi juga yang membangun koneksi antar jiwa.