Konsepsi Tanah Negara

Wait 5 sec.

Ilustrasi tanah sengketa. Foto: Jamal Ramadhan/kumparanDiksi “tanah negara” diterjemahkan dari istilah staat lands domein yang pertama kali dikenalkan oleh Kolonial Belanda. Diksi itu ditulis dengan diksi yang berbeda-beda dalam berbagai -bagai peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pada masa Kolonial Belanda. Seperti yang tercantum dalam Burgerlijk Welboek (BW), Agrarich Besluit Staatblad 1870-118, Koninklijk Besluit (staadblad 1872-117), dan Zelfsbestuurs Regelen staadblad 1875-199a). Burgerlijk Welboek misalnya memuat dua istilah yang berbeda yaitu pasal 519 dan Pasal 520 Burgerlijk Welboek. Yang pertama Pasal 519 BW menggunakan istilah “Eigendom of van den lande” (milik dari negara yang bersangkutan) dan yang kedua Pasal 520 BW, menggunakan istilah “Behoren aan de lande” (dikuasai oleh negara).Tafsir Pasal 519, untuk membedakannya dengan tanah-tanah yang telah dilekatkan hak subjek hukum seperti tanah milik persekutuan (of van gemeenschappen) dan tanah milik perorangan (of van bijzondere personen), selebihnya adalah tanah-tanah milik dari negara yang bersangkutan. Sedangkan tafsir Pasal 520 BW, untuk tanah yang tidak dipelihara dan tanah yang tak ada pemiliknya seperti tanah yang dimiliki oleh seseorang yang meninggal dunia yang tak ada ahli warisnya, menjadi "Groenderven behoren aan de lande” (Tanah di bawah kekuasaan negara atau tanah yang dikuasai oleh negara).Jika dicermati kedua redaksi tersebut, istilah staat lands domein menjadi kurang tepat kalau kemudian dimaksudkan ‘negara” menjadi pemilik atau eigenaar atau owner. Kata “domein” lebih tepat dimaknai menjadi “di bawah kekuasaan atau di bawah kewenangan”. Domein dapat juga dimaknai sebagai kompetensi atau rezim. Misalnya ketika menggunakan istilah untuk menyebutkan Hukum Agraria itu masuk dalam rezim hukum atau kompetensi kajian hukum Administrasi negara, bukan rezim atau kompetensi kajian hukum perdata. Akan tetapi kajian tentang tanah sebagai benda tidak berwujud yang tidak bergerak, tunduk pada rezim kajian Hukum Perdata. Itulah sebabnya dalam BW, hak-hak atas tanah diatur dalam Buku II BW tentang Benda (van Zaaken). Sedangkan kajian terhadap proses atau prosedur pemberian hak-hak atas tanah dan tata guna tanah tunduk pada rezim kajian Hukum Administrasi Negara. Banyak Fakultas Hukum kemudian menempatkan Hukum Agrari di bawah naungan Kaprodi Hukum Administrasi Negara.Oleh karena itu, kata staat lands domein lebih tepat dimaknai menjadi tanah-tanah yang berada di bawah kekuasaan atau di bawah kewenangan negara. Oleh karena negara Belanda bentuk negaranya adalah kerajaan, maka tanah-tanah dimaksud menjadi di bawah kekuasaan atau di bawah kewenangan Kerajaan Belanda (Nederlands Koninkrijk). Jika pemaknaan staat lands domein diartikan tanah negara, maka hal ini dapat menimbulkan tafsir yang bias dan bisa juga menyesatkan. Sebab diksi tanah negara bisa diartikan tanah milik negara. Negara di sini seolah-olah menjadi subjek hak atas benda berupa tanah. Seperti tanah si Agam, tanah si Uncu, tanah si Ucok, tanah si Udin, tanah si Buyung, Tanah si Mamat, tanah si Ujang, tanah Pak Raden, tanah si Beli, tanah Daeng, tanah Bace dan lain sebagainya.Mengacu pada diksi tersebut, maka Negara bisa memiliki kedudukan sederajat dengan subyek hukum perorangan, padahal Negara adalah organisasi kekuasaan tertinggi dari rakyat Indonesia yang memiliki kewenangan untuk mengatur hubungan hukum antara tanah dengan warga negaranya. Negara selamanya-baik dalam peraturan perundang-undangan Kolonial Belanda maupun Hukum Pertanahan di Indonesia (UU No.5 Tahun 19060 Tentang ketentuan Pokok-Pokok Agraria)-tak pernah menyebutkan “dirinya” sebagai pemilik (eigenaar) atas tanah. Negara bukanlah owner atas tanah. Karena itu pemaknaan staat lands domein tak boleh ditafsirkan menjadi staat lands eigendom, tetapi Behoren aan de lande (di bawah kekeuasaan negara).Selanjutnya Algemen Domein verklaring (pernyataan umum kepemilikan tanah) sebagaimana termaktub dalam pasal 1 Algemen Besluit tahun 1870 No. 118 yang berbunyi, “Dengan pengecualian atas tanah-tanah yang dicakup dalam paragraf 5 dan 6 Indische Staatsinrichting van Nederland Indie, “Semua tanah yang tidak dilekatkan hak yang dapat dibuktikan-seperi hak milik (eigendom)-maka tanah tersebut secara otomatis menjadi tanah yang pengaturannya di bawah domein Kerajaan Belanda”. Ketentuan ini memiliki latar bepakang politik. Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan peraturan ini untuk kepentingan Investasi perusahaan-perusahaan swasta Eropa di wilayah jajahannya ketika itu. Ketentuan ini merupakan instrumen politik hukum Pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil alih tanah-tanah milik persekutuan yang saat itu tunduk pada sistem hukum adat.Pada kata “Domein Negara” terselit makna fungsi, struktur, dan organ badan-badan negara. Hukum yang mengaturnya adalah Hukum Tata Negara terkait tugas dan kewenangan serta hubungan antar Lembaga negara. Sedangkan bagaimana badan-badan negara itu menjalankan tugasnya tunduk pada rezim Hukum Adminstrasi negara. Perbedaan antara keduanya terletak pada cara melihat fungsi dan tugas badan-badan negara tersebut. Jika badan negara itu dilihat dari aspek keberadaan tugas dan fungsinya secara statis atau diam (staat in rust) maka itu masuk pada ranah Hukum Tata Negara, namun jika dilihat dari perspektif bagaimana badan-badan negara itu menjalankan tugasnya dalam arti melihat negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging), maka hal itu masuk dalam ranah kajian Hukum Administrasi Negara.Setelah Indonesia merdeka, pengaturan tentang tanah masih melanjutkan konsepsi dan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh pemerintah Hindia Belanda, antara lain BW atau KUH Perdata Belanda yang termuat dalam BUKU II yakni yang mengatur tentang Hukum Benda, dan semua peraturan yang diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda sampai dengan terbitnya UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria yang diberlakukan tanggal 24 September 1960.Sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, secara inplisit mengandung filosofi domein verklaring khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara negara dan tanah. Negara selalu dimaknai sebagai pemilik tanah dalam hubungan yang bersifat keperdataan. Di dalam Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1953, ketentuan ini memuat dua terminologi yaitu tanah negara yang dikuasai penuh dan tanah negara yang tidak dikuasai penuh. Peraturan Pemerintah ini menyatakan tanah negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Perlu diketahui bahwa Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1953 ini diterbitkan berdasarkan hukum peninggalan Kolonial Belanda, ketika itu. Bukan diterbitkan berdasarkan Undang Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria.Tujuh tahun setelah terbitnya Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1953, Indonesia menerbitkan undang-undang terkait pertanahan yang mengacu pada nilai-nilai ke-Indonesia-an. Itulah yang dikemudian hari dikenal sebagai UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria atau selalu disingkat dengan UUPA No.5 Tahun 1960.Terbitnya UUPA No,5 Tahun 1960 ini, telah menghapuskan semua aturan-aturan terkait agraria yang berbau Kolonial, yaitu: Agrarische Wet yang dimuat dalam Staatsblad 1870 No. 55, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Wet op de Statsinrichting van Nederlands Indie, Staatsblad 1925 No.447, Domein Verklaring yang termuat dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit, Statatsblad 1870 No.118, Algemene Domeinverklaring yang diatur dalam Staatsblad 1875 No.119A, Domeinverklaring untuk Sumatera yang diatur dalam Pasal 1 Statasblad 1874 No.94f, Domeinverklaring untuk Keresidenan Manado diatur dalam Pasal 1 Staatsblad Statasblad 1877 No.55, Domeinverklaring untuk Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo yang diatur dalam Pasal 1 Staatsblad Statasblad 1888 No.58.Selain itu UUPA juga mencabut Koninlijk Besluit tanggal 16 April 1872 No.29 yang dimuat dalam Staatsblad 1872 No. 117 dan peraturan pelaksanaannya. Teraklhir yang dicabut dengan kehadiran UUPA ini adalah BUKU II Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sepanjang mengenani bumi, air dan ruang angkasa, kecuali tentang hypotheek. Ketentuan yang disebut terakhir inipun kemudian dicabut juga melalui UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah dan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.Intinya adalah UUPA No.5 Tahun 1960 hendak menghapus semua yang berbau kolonial. Mengahapuskan penghisapan manusia atas manusia, exploitation de l'homme par l'homme. Semua yang berbau "penghisapan" sumber daya agraria tak boleh lagi ada di bumi Indonesia. Itu yang disampaikan Bung Karno dalam pidato (amanat)-nya pada Upacara Peringatan 15 Tahun Indonesia Merdeka tanggal 17 Agustus 1960 yang 37 hari kemudian terbit UUPA No.5 Tahun 1960.Obsesi Bung Karno itu kemudian dituangkan dalam pasal-pasal UUPA No.5 Tahun 1960. Pasal yang menyebutkan kesatuan wilayah sebagai kesatuan tanah dan air dimuat pada Pasal 1, bersamaan dengan penegasan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah merupakan kekayaan nasional. Kekayaan dalam arti bukan aset negara yang terdaftar pada Kementerian Keuangan. Tetapi kekayaan negara sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang diperuntukkan bagai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kekayaan sebagai perwujudan dari norma yang diturunkan dari Filosofische Grondslag yakni sila pertama dan sila ke-lima dari Pancasila. Hubungan bangsa Indonesia dengan bumi air dan ruang angkasa itu disebut pula sebagai hubungan yang bersifat abadi yang memiliki hubungan magis religius, mendalam dan sakral. Atas dasar itulah kemudian undang-undang ini menyatakan Negara adalah penguasa tertinggi atau sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat atas kekayaan Negara tersebut yang ditegaskan dalam Pasal 2 UUPA, sebagai Hak Menguasai dari Negara.Dalam UUPA No.5 Tahun 1960 dan peraturan organiknya yang terbit di kemudian hari, pada dasarnya tidak secara eksplisit menyebut dan mengatur tentang pemaknaan tanah negara secara tegas. Pasal 1 dan pasal 2 UUPA secara lugas menggambarkan dan menjelaskan pemaknaan terhadap diskursus konsepsi tanah negara ini. Prof Dr A.P. Parlindungan terkait hal ini menyatakan, “Sebenarnya istilah tanah negara dalam sistem UUPA tidak dikenal. Yang ada adalah tanah yang dikuasai oleh negara. Dalam pasal 1 atau pasal 2 UUPA, juga menyebutkan tanah yang dikuasai oleh negara merupakan penjabaran dari hak menguasai dari negara atas bumi, air, dan ruang angkasa vide Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Sungguhpun demikian, dalam banyak produk hukum masih saja menggunakan diksi tanah negara dengan pemaknaan dan tafsir yang keliru. Padahal, pada kenyataannya negara tidak pernah menjadi pemilik dalam arti sebagai ownwer atau eigenaar--mengulangi lagi pernyataan di awal tulisan ini. Istilah ini muncul sebagai terjemahan dari staats domein. Istilah ini sehatrusnya sudah harus dihapus dalam kosa kata atau kamus hukum Indonesia. Istilah yang tepat adalah tanah yang dikuasai oleh negara seperti diatur dalam Pasal 2 UUPA No.5 Tahun 1960.Selain istilah tanah negara itu kerap kali muncul dalam praktik administrasi pertanahan, di mana penguasaannya dilakukan oleh otoritas pertanahan. Lebih lanjut, Boedi Harsono menyatakan, penggunaan terminologi tanah negara dapat saja digunakan sepanjang konsepsi dan maknanya disesuaikan dengan UUPA. Artinya, tanah negara bukanlah tanah “milik negara yang mencerminkan adanya hubungan hukum antara negara dan tanah yang bersangkutan yang bersifat privat, namun tanah-tanah yang dikuasai oleh negara dengan hubungan hukum yang bersifat publik.Lebih lanjut dikatakannya, berdasarkan hubungan hukum yang bersifat publik, maka wewenang pengelolaan atas tanah negara kemudian “diatribusikan” ke berbagai otoritas. Siapakah yang memiliki otoritas kewenangan atributif tentang tanah? Ini dijawab oleh Pasal 2 UU No.5 Tahun 1960. Agar tidak bias tentang pemaknaan tentang hak menguasasi Negara tersebut kemudian secara rinci undang-undang ini mengatur tentang kewenangan yang bersumber dari ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar, yaitu;a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;b. Menetukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.Kewewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Selanjutnya, pada ayat berikutnya, dikatakan bahwa, Kewenangan menguasasi oleh Negara dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Provinsi dan masyarakat Hukum Adat, asal tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.Berdasarkan konsepsi inilah seharus perturan organik terkait dengan hak-hak atas tanah termasuk tentang peruntukannya diturunkan. Peraturan pelaksana dari UUPA No.5 Tahun 1960, tak boleh bertentangan undang-undang ini. Misalnya, Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2001 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah memberi batasan tentang pemaknaan Tanah Negara-atau Tanah yang langsung dikuasai oleh Negara-adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah, bukan Tanah wakaf, bukan Tanah Ulayat dan/atau bukan merupakan aset barang milik negara/barang milik daerah. Ketentuan ini menjadi rancu seolah-olah PP No.18 Tahun 2021 ini hendak menetapkan batasan tentang Tanah Negara secara limitatif yakni; tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah, bukan Tanah wakaf, bukan Tanah Ulayat dan/atau bukan merupakan aset barang milik negara/barang milik daerah.Apalagi rumusan ini berbeda dengan rumusan yang dimuat dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut yang berbunyi, “Tanah Negara atau Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara merupakan seluruh bidang Tanah di wilayah Negara Kesatuan Repubiik Indonesia yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh pihak lain”. Bagaimana dengan tanah yang sudah dipunyai atau dilekatkan hak atas tanah milik pihak lain? Apakah negara kehilangan kewenangannya sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dari rakyat untuk mengatur hubungan antara tanah dengan rakyatnya sebagai subyek pemilik hak? Jawabnya tidak, sekalipun seorang warga negara Indonesia sudah memilik hak atas tanah menurut ketentuan UUPA No.5 Tahun 1960, yang bersangkutan tetap tidak memiliki kewenangan untuk mengalihkannya kepada subyek hukum warga negara asing. Berbeda ketika seseorang memiliki hak kebendaan lain selain tanah, misalnya kepemilikan atas jam tangan “ROLEX” misalnya, pemiliknya boleh mengalihkannya kepada subjek hukum warga negara asing. Tak ada larangan untuk itu. Oleh karena itu, pemaknaan terhadap tanah negara atau tanah yang dikuasai oleh negara harus benar-benar dimaknai berdasarkan “roh filosofis” pembentukan UU No. Tahun 1960.