Ilustrasi pegawai hotel. Foto: ShutterstockMusik menjadi salah satu bagian yang tak terpisahkan dalam pengalaman wisata. Ketika tamu beristirahat di hotel, bersantap di restoran, maupun bersantai di kafe, selalu diiringi musik.Namun, polemik mengenai pembayaran royalti lagu dan musik membuat industri hotel dan restoran takut untuk memutar musik di tempat umum.Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai aturan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta perlu direvisi agar lebih jelas dan tidak membebani industri pariwisata.Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi BS Sukamdani di Rumah Dinas Menteri Investasi Rosan Roeslani, Jakarta, Selasa (1/4/2025). Foto: Muhammad Fhandra Hardiyon/kumparanKetua Umum PHRI, Hariyadi B. Sukamdani, menyebut banyak pengelola hotel, restoran, dan kafe yang mengeluhkan biaya royalti. Bahkan, ada yang diminta membayar hingga Rp 120 ribu per tahun per kursi hanya untuk memutar musik di tempat usaha mereka.“Musik itu elemen penting dalam menciptakan ambience destinasi pariwisata. Tapi kalau aturan royalti tidak jelas, justru bisa membebani pelaku usaha yang sedang berjuang mendatangkan wisatawan,” ujar Haryadi seperti dikutip dari Antara.Menurutnya, perlu kejelasan mengenai lagu dan musik seperti apa yang wajib membayar royalti. Lagu-lagu daerah maupun lagu nasional seperti “Indonesia Raya” semestinya bebas digunakan karena sudah masuk domain publik.Ilustrasi menikmati makanan di restoran. Foto: Mallika Home Studio/ShutterstockPHRI menekankan, pemerintah perlu hadir sebagai regulator agar tercipta sistem yang transparan dan adil. Apalagi di era digital, pengelolaan royalti harus melibatkan tiga pihak yakni pengguna lagu (hotel/restoran), pencipta lagu, dan negara.“Kalau ini tidak segera dibenahi, pengalaman wisatawan bisa terganggu. Hotel atau restoran mungkin jadi enggan memutar musik karena takut terkena masalah hukum, padahal musik bagian dari kenyamanan tamu,” katanya.Industri pariwisata kini menunggu langkah pemerintah bersama Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk menyusun regulasi yang lebih jelas, termasuk soal daftar lagu berlisensi, mekanisme pembayaran, serta besaran tarif yang wajar.Dengan kepastian hukum, para pelaku usaha bisa tetap menghadirkan pengalaman wisata yang hangat dan menyenangkan bagi wisatawan, tanpa khawatir terbentur aturan multitafsir.