Pidato Presiden Prabowo Subianto Soal Pendidikan Berlebihan, Hanya Dijadikan Komoditas Politik

Wait 5 sec.

Presiden Prabowo Subianto saat menyampaikan pidato kenegaraan di Sidang Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I DPR Tahun Sidang 2025-2026 di Gedung DPR, Jumat (15/8/2025). (ANTARA/Dhemas Reviyanto/sgd)JAKARTA – Rentetan keberhasilan di sektor pendidikan yang dijabarkan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kepresidenan tidak sesuai dengan fakta di lapangan.Dalam pidato kepresidenan pertamanya di Sidang Tahunan MPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025), memaparkan capaian kinerja pemerintahannya selama delapan bulan, salah satunya di sektor pendidikan.Sejak terpilih sebagai Presiden Indonesia periode 2024-2029, Prabowo bersama wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, memiliki sejumlah program unggulan di sektor pendidikan, di antaranya makan bergizi gratis (MBG) dan sekolah rakyat.MBG adalah program ambisius Prabowo yang menelan anggaran jumbo. Program ini pula yang disebut-sebut sejumlah pengamat memaksa pemerintahan Prabowo melakukan pengetatan anggaran.Sedangkan sekolah rakyat, yang mulai berjalan sejak pertengahan Juli lalu, dibentuk untuk memberikan pendidikan gratis kepada anak dari keluarga miskin supaya bisa bersekolah tanpa hambatan.Siswa siswi Sekolah Rakyat Menengah Atas 32 Lampung Selatan saat pemeriksaan kesehatan. (ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi)Namun sederet pencapaian pemerintahan Prabowo di sektor pendidikan disebut tidak sesuai dengan kenyataan. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menuturkan, pidato kenegaraan Presiden Prabowo dipenuhi overclaim keberhasilan tanpa melihat data realitas sesungguhnya.Sekolah Rakyat Tak Signifikan Cegah ATSAda enam hal yang menjadi sorotan JPPI terkait klaim keberhasilan Presiden Prabowo Subianto di sektor pendidikan yang disampaikan dalam pidato kenegaraan kemarin. Mulai dari program sekolah rakyat, makan bergizi gratis (MBG), hingga optimalisasi anggaran 20 persen dari APBN untuk pendidikan.Dalam pidatonya, Prabowo mengungkapkan keinginannya agar rakyat kecil bisa tersenyum karena tidak lagi takut sakit, takut lapar, dan tidak takut anaknya tidak bisa sekolah.Menurut Ubaid, rakyat kecil bisa tersenyum karena tidak takut tidak bisa sekolah adalah sebuah halusinasi. Ia menjabarkan data dari Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) per Agustus 2025, bahwa jumlah anak tidak sekolah (ATS) kian meningkat dan kini mencapai 3,9 juta anak.Angka ini meningkat dibandingkan Desember 2024 yang berjumlah 3,5 ATS. Keberadaan sekolah rakyat, yang secara bertahap mulai berjalan sejak 14 Juli lalu, menurut Ubaid juga tidak serta merta menjadi jawaban terkait akses pendidikan bagi keluarga miskin."Jadi, kehadiran sekolah rakyat belum mampu membendung terus bertambahnya jumlah anak tidak sekolah, yang mayoritas karena persoalan ekonomi alias tidak punya biaya," papar Ubaid Matraji.Presiden Prabowo menjanjikan 100 sekolah rakyat yang menampung 1.000 murid. Namun, angka ini, kata Ubaid, masih jauh dari angka ATS karena faktor ekonomi (kemiskinan dan pekerja anak) yang berjumlah 2,9 juta anak. Artinya, sekolah rakyat hanya mampu menampung sekitar 0,33 persen dari total kebutuhan anak yang putus sekolah akibat masalah ekonomi.“Jadi klaim keberhasilan sekolah rakyat terlalu berlebihan, dan masih sangat jauh dari target yang semestinya mendapatkan layanan pendidikan yang setara, berkualitas, dan berkeadilan untuk semua,” terangnya.Putusan MK Tak DisinggungTingginya angka putus sekolah di Indonesia salah satunya disebabkan oleh biaya pendidikan yang makin mahal. Jumlah sekolah negeri di beberapa daerah tidak sepadan dengan jumlah siswa memaksa mereka harus bersekolah di sekolah swasta. Namun bagi sebagian kalangan, utamanya kelompok keluarga miskin, menyekolahkan anak di sekolah swasta berarti menambah beban finansial keluarga.Akibat beban biaya sekolah yang masih mahal ini, banyak anak yang putus sekolah dan yang memaksa melanjutkan sekolah pun tidak jarang tak mendapat ijazah karena ditahan oleh sekolah akibat gagal melunasi tagihan biaya yang sangat memberatkan.Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu memutuskan bahwa pendidikan dasar sembilan tahun dari SD hingga SMP tidak dipungut biaya, baik negeri maupun swasta. Penegasan MK ini dituangkan dalam pertimbangan putusan MK dalam perkara nomor 111/PUU-XXIII/2025 terkait pengujian materi UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).Sayangnya, soal pendidikan dasar gratis baik di negeri maupun swasta sesuai dengan putusan MK tidak disinggung oleh presiden. Sehingga, Ubaid menyangsikan keseriusan pemerintah menjalankan putusan tersebut.“Kenapa ini tidak disinggung sama sekali oleh presiden di pidatonya? Ini adalah perintah konstitusi, mengapa residen mengabaikannya? Jadi, apresiasi Presiden terhadap kinerja MK yang disebut dalam pidato, itu hanyalah omon-omon belaka, jika tidak dibarengi dengan political will dari residen untuk melaksanakannya,” tegas Ubaid.Klaim Tanpa BuktiMakan bergizi gratis menjadi program priotas pemerintah Presiden Prabowo. Namun dalam perjalanannya, program ini kerap menerima hambatan.Mulai dari pergantian nama, yang sebelumnya makan siang gratis, anggaran yang menguras APBN, kasus keracuan di beberapa daerah, makanan yang tidak sesuai dengan standar gizi, adanya mitra MBG yang tidak dibayar padahal sudah mengeluarkan modal sangat besar, hingga terakhir polemik impor food tray oleh Badan Gizi Nasional (BGN).Dengan serangkaian masalah tersebut, dalam pidatonya Presiden Prabowo justru menyebut keberhasilan MBG. Walau baru berjalan delapan bulan, Prabowo Subianto mengklaim hasil dari MBG mulai terasa, yaitu meningkatnya angka kehadiran anak di sekolah, serta prestasi anak-anak juga meningkat."Jadi, sangat tidak masuk akal, jika program baru berjalan 8 bulan, lalu bimsalabim ada klaim, bahwa prestasi anak-anak di sekolah meningkat gara-gara MBG. Ini rujukan datanya dari mana? Ini berdasarkan perasaan, kajian, atau mimpi di siang bolong?" tanya Ubaid.Danrem 161 Wirasakti Kupang Joao Xavier Barreto Nunes mendampingi pelajar saat pelaksanaan progran makan bergizi gratis di SMAN 1 Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (6/1/2025). (ANTARA/Mega Tokan)Selain itu, terkait optimalisasi 20 persen untuk pendidikan dan keberadaan sekolah garuda juga tak luput dari kritik. Pada ABPN 2025, JPPI melihat 20 persen anggaran pendidikan masih tetap boros untuk pembiayaan sekolah kedinasan dan dukungan program MBG.Sekolah garuda, yang disebut dalam pidato adalah sekolah untuk mencetak pemimpin nasional di masa depan, menurut Ubaid justru menunjukkan pendidikan yang tidak setara."Karena itu, JPPI mendesak Presiden untuk mengevaluasi dan meninjau kembali klaim-klaim yang tidak berdasar dan segera mengembalikan kebijakan pendidikan sesuai dengan konstitusi UUD 1945 pasal 31, serta mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan krusial yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan adalah hak seluruh rakyat, bukan komoditas politik untuk diklaim keberhasilannya tanpa bukti," pungkas Ubaid.