Eksklusif, Syahganda Nainggolan Sarankan Prabowo Harus Bebas dari Pengaruh Masa Silam

Wait 5 sec.

Menurut Dr. Syahganda Nainggolan, MT., yang juga sebagai Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, bangsa Indonesia belum mendapatkan kemerdekaan yang sejati. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Dalam momentum memperingati proklamasi kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, banyak harapan dikemukakan kepada Presiden Prabowo Subianto. Termasuk dari Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan, MT. Menurutnya, sebagai pemimpin Prabowo harus lepas dari bayang-bayang dan pengaruh pemimpin sebelumnya.***Harapan ini bukan tanpa alasan. Untuk merealisasikan cita-citanya, Prabowo Subianto memang harus bebas dari bayang-bayang penguasa sebelumnya. Cita-cita yang ia tuliskan dalam buku berjudul Paradoks Indonesia sulit diwujudkan jika masih ada campur tangan orang dekat atau bagian dari pemimpin sebelumnya.Karena itu, kata Syahganda Nainggolan, harus ada pilihan radikal yang perlu diambil oleh Prabowo. “Kita berharap di tangan Prabowo Indonesia bisa keluar dari beragam persoalan. Harus keluar dari bayang-bayang masa lalu. Kalau tidak, kita tidak bisa bergerak,” tegas Syahganda.Memang bukan persoalan mudah bagi Prabowo Subianto untuk benar-benar lepas dari bayang-bayang Jokowi. Pasalnya, masih banyak unsur atau bagian dari Jokowi yang terlibat dalam ruang kepemimpinan Prabowo saat ini. Yang paling nyata adalah keberadaan Gibran Rakabuming Raka yang menjadi Wakil Presiden. Belum lagi sejumlah menteri yang duduk di kabinet dan masih dikelompokkan sebagai “orangnya Jokowi”.Namun, upaya untuk lepas dari bayang-bayang masa lalu bukannya tidak dilakukan. Pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto dianggap sebagai langkah Prabowo untuk keluar dari bayang-bayang Jokowi.“Itu adalah hak politik presiden, sama juga dengan grasi dan rehabilitasi. Kedua orang ini, yang satu Sekjen PDIP dan satu lagi tangan kanan Anies Baswedan yang sama-sama bertarung dengan Prabowo saat pemilu, dia tak ingin ada residu pilpres masih terbawa. Dia tak ingin ada orang menjadi korban politisasi. Banyak orang menilai ini arahnya kepada presiden sebelumnya,” kata Syahganda Nainggolan kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Meidianto saat datang ke kantor VOI, 15 Agustus 2025.Untuk mewujudkan cita-cita, Dr. Syahganda Nainggolan, MT., menyarankan Presiden Prabowo lepas dari bayang-bayang dan pengaruh kekuasaan masa silam.  (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Menurut Anda, apakah bangsa Indonesia saat ini sudah benar-benar merdeka?Saat proklamator kita memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kita sudah berada di gerbang kemerdekaan. Namun ternyata gerbang itu panjang. Sampai sekarang, menurut saya, kita masih berada di posisi yang sama. Soalnya, struktur kolonialisme yang ada sejak zaman penjajahan masih ada hingga kini.Contohnya kasus di Pati yang membuat rakyat bergolak. Ketika pemerintah pusat mengurangi anggaran ke daerah, akhirnya kepala daerah dan DPRD berkreasi dengan menaikkan pajak yang tinggi. Rakyat tak terima karena kondisi ekonomi sedang sulit. Jadi, kemerdekaan itu masih jauh dari harapan.Kalau begitu apa yang perlu dibenahi? Apa masukan untuk pemerintah?Masih banyak orang yang cara pandangnya hanya pada struktur, tidak melengkapinya dengan kultur. Kultur itu misalnya seperti pasal 33 UUD 1945 tentang ekonomi politik. Ketika Presiden Prabowo memprogramkan Koperasi Desa Merah Putih, itu juga berdasarkan pasal 33. Bahwa perekonomian Indonesia disusun atas konsesi rakyat.Ada juga program makan bergizi gratis. Ini bagus, tetapi bukan hanya struktur yang perlu, kultur juga penting. Bagaimana rakyat bangga sebagai orang Indonesia. Jangan bangga dengan slogan “kabur aja dulu” yang sempat viral di kalangan anak muda. Lalu ada heboh bendera One Piece, yang seakan mengalahkan kebanggaan mengibarkan bendera Merah Putih. Padahal kita sudah 80 tahun setelah proklamasi.Kultur itu juga harus membebaskan diri dari korupsi. Saat seseorang mencintai bangsanya, ia tidak mau korupsi. Yang terjadi selama ini, korupsi justru menjadi budaya dari elite hingga rakyat jelata. Saat pemilu atau pilkada, rakyat dijejali dengan politik uang. Hanya dengan Rp100 ribu sudah mau mengkhianati haknya untuk memilih pemimpin yang benar. Kultur kita rusak. Orang kaya pamer harta, akhirnya muncul kecemburuan sosial. Yang dipertontonkan elite kita adalah kultur borjuisme dan pragmatisme.Jadi, membenahinya dari mana?Harus dilakukan bersama-sama dengan mewujudkan pasal 31, 32, 33, dan 34 UUD 1945. Sehingga tercipta bangsa Indonesia yang merdeka dan percaya diri, bukan bangsa yang minder. Bangsa dengan mental petarung, bukan bermental budak apalagi koruptor.Para pendiri bangsa ini sudah mencontohkan, mereka tidak memilih jalan yang mudah. Mereka rela dipenjara demi pendirian melawan penjajah. Teladan seperti itu sekarang sudah mulai berkurang.Menurut prediksi Anda, apakah cita-cita proklamasi menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur bisa diwujudkan?Sekarang kita dihantui pertanyaan: apakah akan menjadi negara gagal (failed state) atau sebaliknya? Ekonom mengukurnya dari Purchasing Power Parity (PPP), yaitu 6000 agar bisa keluar dari jebakan kelas menengah (middle income trap).Namun, di Bhutan misalnya, kebahagiaan tidak tergantung pada ekonomi. Mereka merasa bahagia karena memiliki alam, sahabat, dan Tuhan. Jadi semua tergantung definisi, bagaimana kita bisa dikatakan merdeka atau tidak.Sebenarnya kita bisa menjadi bangsa Indonesia yang seutuhnya, bermartabat, merdeka, dan berkarakter baik sebagaimana yang diajarkan agama-agama di negeri ini. Kalau itu sudah tercapai, sebenarnya kita sudah merdeka.Kemerdekaan berserikat dan berkumpul dijamin oleh UUD 1945. Apakah ini benar-benar dirasakan bangsa kita sekarang?Kalau kita lihat kasus ijazah palsu, misalnya, hal itu menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bangsa Indonesia yang asli mestinya menyelesaikan kasus ini dengan musyawarah dan mufakat. Tidak langsung menggunakan kekerasan negara, seharusnya dilakukan dengan restorative justice.Ada masalah dalam demokrasi kita. Orang bicara sering dikejar secara hukum. Pada era Soeharto, negara begitu keras pada rakyatnya. Saat kita masuk ke alam demokrasi, 10 tahun belakangan justru dirusak lagi. Sampai sekarang masih ada sisa-sisanya.Misalnya, saat Prabowo dihina lewat meme, ia tidak melaporkan mahasiswa yang membuat meme itu. Sebaliknya, Budi Arie—Ketua Projo (Pro Jokowi)—meminta mahasiswa itu dipenjara. Namun, Prabowo justru meminta mahasiswa itu dibebaskan.Mengapa masih terjadi ketimpangan antara kaya dan miskin, kuat dan lemah? Apakah ini bentuk penjajahan modern?Mari kita bandingkan dengan Belanda. Mereka mengukur ketimpangan sosial dengan koefisien Gini (ukuran statistik untuk tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan atau kekayaan dalam suatu populasi). Ketimpangan di Belanda pernah mencapai 0,85. Lalu mereka melakukan perbaikan hingga income Gini turun menjadi 0,28. Gaji di Belanda hampir merata. Itu cara negara itu mengatasi ketimpangan.Di Indonesia, dua-duanya belum bisa diatasi negara. Di sini, 30% penduduk menguasai seluruh aset produktif. Di era Prabowo dilakukan koreksi dengan mengambil alih harta orang kaya yang diperoleh secara ilegal. Saat berpidato di depan DPR-MPR jelang HUT RI ke-80, ia bilang negara sudah mengambil alih 3,7 juta hektare tanah. Kekayaan ini didistribusikan untuk rakyat dengan konsep redistribusi. Tapi kalau tidak permanen, ini bisa berubah lagi.Pemeritnah menurut Dr. Syahganda Nainggolan, MT., harus bijaksana menghadapi kritik dan saran dari masyarakat.  (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Lalu apa lagi yang Anda amati?Untuk upah, pemerintah Prabowo sudah menaikkannya hingga 6,5%. Di era Jokowi kenaikannya hanya sekitar 1%. Tapi ini harus diawasi agar benar-benar terlaksana. Di Perancis, misalnya, ketika ada perusahaan yang banyak menampung tenaga kerja dan terancam bangkrut, negara turun tangan dengan memberikan subsidi upah. Ini juga perlu kerja keras pemerintah untuk menyeimbangkan ketimpangan. Saat ini kita masih menunggu realisasinya.Kita ke sektor hukum. Pemerintah belum lama ini memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto. Bagaimana Anda melihat hal ini?Itu adalah hak politik presiden, sama halnya dengan grasi dan rehabilitasi. Kedua orang ini—yang satu Sekjen PDIP dan satu lagi tangan kanan Anies Baswedan—sama-sama pernah bertarung dengan Prabowo saat pemilu. Prabowo tidak ingin ada residu pilpres yang masih terbawa. Ia tidak ingin ada orang menjadi korban politisasi. Banyak orang menilai langkah ini ditujukan kepada presiden sebelumnya.Apakah pemberian abolisi dan amnesti ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku di Indonesia?Terus terang saya bukan orang hukum. Tetapi saya melihat ini sebagai langkah bagus, agar lawan politiknya tidak merasa diperlakukan dengan kriminalisasi atau kejahatan yang berkelanjutan. Hari ini saya berkumpul dengan perwakilan lebih dari 1.000 tahanan politik di era Jokowi. Termasuk saya sendiri yang juga pernah dipenjara karena mengkritik omnibus law. Inilah yang dilakukan Prabowo: kriminalisasi lawan politik tidak boleh dilakukan lagi. Cukup di era Jokowi saja.Banyak yang menilai hukum di Indonesia “tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Apakah Anda setuju? Bagaimana memperbaikinya?Ini adalah tugas kita bersama agar reformasi di sektor hukum benar-benar terjadi. Moral para penegak hukum harus dibenahi; ini yang paling penting. Pemerintah memang sudah menaikkan remunerasi hakim hingga 280%, tapi moral hakimnya bagaimana? Apakah ikut berubah?Contohnya, dalam kasus Tom Lembong mereka divonis 4,5 tahun, dan Hasto 3,5 tahun. Akhirnya dikoreksi oleh Presiden Prabowo melalui hak memberikan abolisi dan amnesti. Jadi, harus ada upaya terus-menerus agar hukum benar-benar tegak.Dalam konteks kemerdekaan, bagaimana memastikan setiap warga negara mendapat perlakuan hukum yang adil tanpa diskriminasi?Penegak hukum itu harus bermoral dan beretika. Remunerasi memang sudah dinaikkan. Mungkin perlu juga pembenahan menyeluruh terhadap aparat penegak hukum, seperti yang dilakukan di negara sosialis. Untuk kepala daerah, sudah dilakukan retret beberapa waktu lalu. Selanjutnya harus ada pengawasan agar kejadian seperti di Pati atau daerah lain tidak terulang. Harus terus menerus dilakukan ideologisasi.Warisan dari era sebelumnya, seperti kasus tambang di Raja Ampat, atau pemindahan 4 pulau dari Aceh ke Sumatera Utara, jangan sampai terulang lagi. Dalam konteks ini, agama harus menjadi landasan agar moral penegak hukum dan aparatur negara bisa lebih baik. Pemerintah harus merumuskan agar ajaran agama bisa menjadi inspirasi yang kuat.Hakim juga seharusnya disumpah dengan Al-Qur’an saat memutus perkara. Selain itu, masyarakat sipil harus terus mengawasi kinerja penegak hukum dan aparatur negara.Sekarang soal kedaulatan ekonomi. Kasus tarif 19% dari AS terhadap barang Indonesia, sementara barang AS masuk 0% ke Indonesia—bagaimana Anda menilai posisi tawar Indonesia dalam perdagangan internasional?Lihat Perdana Menteri India, Narendra Modi. Dia tidak peduli dikenakan tarif 50% oleh Donald Trump, dia melawan. Brazil juga berani melawan Amerika. Indonesia, menurut saya, tidak adil diperlakukan dengan tarif 19% itu.Keadilan antara negara berkembang dengan negara Eropa seharusnya tidak dihitung 0% banding 0%. Justru negara Selatan harus diberi lebih banyak ruang. Karena mayoritas negara Selatan pernah dijajah oleh negara Barat sekian lama.Indonesia merdeka salah satunya juga karena desakan Nelson Rockefeller, Presiden Amerika saat itu. Belanda akhirnya pergi, tetapi konsesinya banyak tambang minyak justru dikelola perusahaan Amerika. Dalam teori kolonialisme dan post-colonialism, Indonesia tetap dijajah, namun dalam bentuk lain.Apakah negosiator kita tidak cakap?Menurut saya, mereka tidak cinta pada Indonesia. Mereka pro-Barat, mereka agen negara Barat. Yang mereka utamakan adalah bisnisnya sendiri. Kalau benar-benar untuk kepentingan Indonesia, mestinya mereka menolak tarif 19% itu. Kalau di era Bung Karno, beliau tidak takut melawan Amerika, Inggris, dan negara Barat lainnya.Perundingan dagang dengan Amerika Serikat kita tidak berhasil, apalagi harus ada pertukaran data pribadi masyarakat?Sejak lama Bung Karno sudah mengkhawatirkan, kalau dia ngeri bangsa ini bukan dijajah bangsa asing, tapi dijajah bangsa sendiri. Itu yang terjadi sekarang. Untuk apa perundingan dagang yang disertai pertukaran data pribadi masyarakat? Kita seperti orang minder di hadapan Amerika, apa saja diserahkan.Persoalan lainnya adalah soal transparansi.Contohnya, BPS (Badan Pusat Statistik) mengumumkan pertumbuhan ekonomi 5,12%. Tapi beberapa lembaga seperti CELIOS, INDEF, dan LPEM-UI mengkritisi data itu. Artinya, BPS perlu diaudit: mengapa datanya seperti itu? Seharusnya presiden meminta audit, di mana letak kesalahannya. Sebab hitungan lembaga-lembaga itu menunjukkan pertumbuhan hanya 4,8% atau 4,9%. Kalau hal ini tidak dituntaskan, bisa meruntuhkan kepercayaan publik.Apa lagi tantangan terbesar kita ke depan?Tantangan berikutnya adalah artificial intelligence atau AI. Kalau kita tidak siap, kita bisa dicuci otak oleh kekuatan asing. Contohnya judi online. Prabowo ingin memberantas judi online, tapi dukungan ke arah itu masih minim. Volume transaksinya sudah lebih dari Rp1.000 triliun. Sayang sekali uang rakyat justru diarahkan ke judi online.Pemerintah, dengan segala kekurangannya, harus menggalang dan mengoptimalkan potensi yang ada. Diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai negara bisa diajak untuk membangun bangsa. China dan India adalah contoh negara yang berhasil mengoptimalkan diaspora mereka. Kalau semua bersatu, insya Allah Indonesia bisa bangkit.Bagaimana generasi muda harus memaknai kemerdekaan di saat ekonomi kita amat tergantung pada luar negeri?Saya melakukan riset soal Indonesia Gelap. Ternyata mereka khawatir karena tidak ada kepastian soal lapangan kerja, tidak ada kepastian soal pemberantasan korupsi, dan tidak ada kepastian institusi negara membenahi dirinya.Kita bisa mulai dari hal yang ketiga: bagaimana negara ini bisa menjadi negara yang adil dan melayani. Lalu bagaimana kita mengedukasi generasi muda soal tanggung jawab. Bahwa mereka bukan hanya sekadar hidup di Indonesia, tapi juga bisa berkontribusi untuk Indonesia.Bagaimana Anda melihat kritik anak muda terhadap pemerintah?Sebagai bentuk ekspresi—misalnya melalui demo Indonesia Gelap, Indonesia Cemas, hingga pengibaran bendera One Piece—saya kira itu bagus. Kritik-kritik itu, terlepas apakah ada yang menunggangi atau tidak, tetap harus dihargai. Itu bagian dari idealisme mereka. Potensi ini harus disalurkan. Kalau pemerintah tidak punya cukup dana, bisa menggandeng swasta lewat CSR.Dari sisi pemerintah, apa yang harus dibenahi dalam mengisi kemerdekaan ini?Ada dua sisi: pertama ekonomi, kedua budaya. Di bidang ekonomi, Prabowo sudah jelas punya arah, hanya saja ia kesulitan dalam implementasi. Program MBG misalnya, masih bersifat top down, padahal idealnya melibatkan masyarakat. Seperti dulu program posyandu di era Soeharto. Program MBG ini masih dikuasai pengusaha besar yang menyalurkan produk mereka. Keinginan melibatkan masyarakat dalam program ini masih belum tampak.Presiden yang mengusung ekonomi Pancasila harus memastikan praktik neoliberalisme dan ekonomi kapitalis dihilangkan. Saat mendirikan Koperasi Desa Merah Putih, harus dipastikan bahwa kita adalah negara sosialistik. Payungnya komunal, tidak boleh ada orang yang bisa menguasai lahan tambang sangat luas atau lahan sawit ratusan hektar.Di sisi politik, iklim dialog harus dijaga, begitu pula kebebasan berserikat dan partisipasi publik. Energi publik itu harus disalurkan pada hal-hal positif.Semoga di peringatan 80 tahun Proklamasi Kemerdekaan ini Indonesia bisa lebih baik ke depan.Harapan kami, di tangan Prabowo Indonesia akan lebih baik, bukan bubar seperti yang pernah ia kemukakan. Apakah Indonesia akan bubar di tangannya, atau selamat di tangannya—ini yang masih jadi tanda tanya. Ada yang menduga Prabowo akan gagal karena masih ditunggangi rezim Jokowi. Sehingga mimpi-mimpinya yang indah dalam buku Paradoks Indonesia bisa terganjal.Namun ada juga yang berharap Prabowo justru menjadi lokomotif yang membawa Indonesia ke arah lebih baik. Apalagi kita menuju Indonesia Emas 2045. Atau sebaliknya, justru bubar. Banyak negara di belahan dunia yang bubar—bubar bukan berarti rakyatnya hilang, tapi negara tidak lagi eksis.Kita berharap, di tangan Prabowo Indonesia bisa keluar dari beragam persoalan. Harus keluar dari bayang-bayang masa lalu. Kalau tidak, kita tidak bisa bergerak. Syahganda Nainggolan: Antara Film, Olahraga, dan PengabdianUntuk memberikan kesimbangan dalam hidup Dr. Syahganda Nainggolan, MT., suka melengkapi kegiatannya dengan menonton film dan berolahraga.  (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Di luar tugas utama yang menyita waktu dan perhatian, Syahganda Nainggolan, yang juga menjabat sebagai Dewan Direktur GREAT Institute, tetap melakoni berbagai aktivitas. Mulai dari menonton film, berolahraga, hingga kulineran.“Saya suka sekali menonton film, karena lewat film kita bisa terhibur dan mendapat inspirasi juga. Saya suka menonton film detektif dan komedi romantis,” ujar pria yang gemar olahraga jalan pagi ini.Namun, dalam konteks Indonesia, lanjutnya, film bertema horor masih banyak diminati. “Soalnya kesadaran akan tahayul dan hal-hal yang berbau non-rasional masih tinggi. Kalau ini dibiarkan, bisa menjadi ancaman bagi sebuah bangsa untuk maju,” kata pria kelahiran Medan, 27 November 1965 ini.Celakanya, budaya mistis juga masih dilakukan oleh orang-orang penting. “Kita masih ingat waktu gelaran balap motor di Mandalika beberapa tahun silam, bagaimana penyelenggara acara menghadirkan pawang hujan di ajang itu. Padahal dengan ilmu dan teknologi, cuaca bisa direkayasa,” tambah alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI) ini. Olahraga RutinDr. Syahganda Nainggolan, MT., tak bisa menyalahkan produser yang membuat film bertema horror, namun untuk jangka panjang keadaan ini kata dia ini bisa menjadi ancaman bagi sebuah bangsa untuk maju.  (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Untuk menjaga kesehatan tubuh, Syahganda rutin berolahraga. Aktivitas yang ia jalani adalah jalan pagi dan taichi.“Saya biasanya jalan pagi di sekitar rumah saja. Durasinya antara 50 sampai 60 menit sudah cukup, karena itu sudah membuat saya berkeringat,” jelasnya.Waktu favoritnya adalah saat matahari mulai menampakkan sinarnya. “Saya memang memilih waktu saat sinar matahari sudah ada. Jadi selain jalan pagi, saya juga sekalian berburu sinar matahari pagi yang sehat,” katanya.Satu lagi olahraga yang ia tekuni adalah taichi. “Kalau dilakukan secara rutin dan teratur, taichi bisa menghilangkan banyak penyakit seperti jantung, stroke, dan juga kanker. Saya pernah terserang kanker stadium 1. Alhamdulillah, sampai saat ini dengan rutin taichi, kondisi saya jauh lebih baik,” ungkapnya. Peduli pada SekitarMenjadi mahasiswa, saran Dr. Syahganda Nainggolan, MT., jangan hanya melakoni perkuliah di kampus, berorganisasi juga bagian dari pembelajaran untuk menemukan jati diri. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Sebagai seorang aktivis mahasiswa dan pergerakan, Syahganda Nainggolan tahu benar bahwa menjadi mahasiswa tidak hanya soal menuntut ilmu, tapi juga bagaimana ilmu itu bisa bermanfaat untuk orang banyak.“Ada tiga tugas utama kampus: pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Banyak kampus yang gagal pada tugas ketiga, yaitu pengabdian pada masyarakat,” ujarnya.Menurut Syahganda, ia sering berdiskusi dengan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, dan sepakat bahwa mahasiswa tak hanya menimba ilmu di kampus. “Masing-masing mahasiswa harus berkembang di luar pendidikan formalnya. Aktif di Senat Mahasiswa atau organisasi intra kampus juga menjadi sarana penting untuk menimba ilmu, selain mengikuti perkuliahan,” jelasnya.Kuliah Kerja Nyata (KKN), lanjutnya, sebenarnya juga merupakan sarana bagi mahasiswa untuk belajar dari masyarakat. “Namun yang terjadi belakangan ini justru terbalik. Mahasiswa mengajari masyarakat, dan yang menyedihkan, program KKN lebih dikejar formalitas pelaksanaannya, sementara hasilnya sering terabaikan,” katanya.Yang paling penting, tegas Syahganda Nainggolan, mahasiswa harus mencintai bangsa dan negara ini. “Bangsa kita memiliki sumber daya alam yang melimpah. VOC yang menjajah Indonesia dulu bisa menjadi perusahaan terkaya pada zamannya, karena memanfaatkan kekayaan itu, dan tidak habis-habis. Saya berharap akan lahir orang-orang kaya dan cerdas seperti Elon Musk, yang bisa menciptakan berbagai inovasi dari kekayaan alam Indonesia,” pungkasnya.