● Konsep bioekonomi sudah jadi inisiasi global sejak 2024.● Perlu sosialisasi yang intens agar para pelaksana tidak terjebak dalam perangkap hijau.● Diperlukan komitmen aktif pemerintah, lembaga pendidikan, dan industri untuk mencapainya.Konsep bioekonomi yang tengah digembar-gemborkan pemerintah menandai babak baru rancang bangun ekonomi nasional. Sejak pembahasan Inisiatif G20 tentang Bioekonomi (GIB) di Brasil pada 2024, pemerintah mulai merumuskan konsep dasar bioekonomi. Amanat pengembangan bioekonomi ini diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.Menurut rancangan Badan/Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) (2024), bioekonomi adalah bentuk ekonomi yang memanfaatkan sumber daya hayati secara lestari. Tujuannya, untuk menciptakan barang dan jasa bernilai tambah lebih tinggi.Selain sebagai pengejawantahan transformasi pembangunan 2045, rumusan konsep bioekonomi disebut sebagai bentuk komitmen pemerintah melepas ketergantungan pada sumber energi fosil. Namun, yang patut menjadi pertanyaan: apakah ekonomi berbasis sumber hayati, seperti hasil hutan, perkebunan, dan pertanian, selalu sejalan dengan keadilan sosial dan ekologis? Ini adalah hal yang perlu kita perhatikan agar tidak mengulang logika ekstraksi ala ekonomi fosil.Menghindari jebakan hijauBrasil adalah contoh salah satu negara yang sudah bioekonomi. Namun dalam praktiknya, untuk memenuhi target produksi, mereka memperluas lahan dengan cara menggunduli hutan alam—khususnya hutan Amazon—lalu mengubahnya menjadi padang rumput. Akibatnya, laju deforestasi tahunan di kawasan Amazon melonjak drastis. Peningkatannya mencapai 56% dari periode 2016-2018 ke 2019-2021.Ironisnya, padang rumput itu hanya dipakai untuk menggembalakan sapi dengan kepadatan yang sangat rendah, yaitu rata-rata sekitar 1,35 ekor sapi/hektare. Begitu pula di sektor perkebunan jagung dan kedelai. Pembukaan lahan skala besar terjadi seiring dengan target produksinya yang terus meningkat karena ambisi biofuel (bahan bakar nabati) dan kebutuhan pangan dunia. Baca juga: Paradoks ekspor biomassa: Hutan hilang, batu bara bertahan, karbon tak berkurang Model bioekonomi konvensional sering kali gagal mengantisipasi risiko komersialisasi sumber hayati (green-grabbing). Sumber keragaman hayati, yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan kesejahteraan lokal, berpotensi direduksi menjadi komoditas belaka.Untuk Indonesia, meskipun belum secara resmi mengadopsi praktik bioekonomi, hal ini bisa kita tilik dalam lanskap kebijakan energi nasional. Praktik produksi kayu cacah atau pelet kayu untuk bahan baku sumber kelistrikan yang didapat dari kebun energi meningkatkan tekanan signifikan pada lahan. CELIOS mencatat, 85% tutupan hutan alam telah hilang selama kurun 2013-2023 akibat konsesi Hutan Tanaman Energi (HTE) terbesar di Indonesia seluas 94.378 hektare. Alih-alih beralih ke sumber terbarukan, laju deforestasi justru naik.Pun megaproyek food estate di Merauke membabat dua juta hektare hutan dan membuat target net zero emission meleset selama 5-10 tahun. Konversi lahan ini malah menaikkan dua kali lipat emisi Indonesia dari 2-3% menjadi 3,96-4,96%.Kebijakan kelistrikan dan pangan yang dilakukan pemerintah Indonesia bermuara pada kronik kompetisi lahan antara kebutuhan pangan, produksi energi, dan keberlanjutan sosial. Untuk itu, Indonesia memerlukan suatu inisiatif untuk menjembatani pertumbuhan ekonomi masyarakat sembari mempertahankan keberlanjutan ekologis.Selama ini, model konservasi lama menggunakan pendekatan konservasi benteng (fortress conservation) yang memandang pelestarian hanya bisa dicapai dengan membatasi akses manusia dari kawasan konservasi. Akibatnya, masyarakat adat/lokal terpinggirkan dari ruang hidupnya. Padahal, mereka justru sering memiliki praktik tradisional menjaga alam.Dalam konsep sosio-bioekonomi, masyarakat adat/lokal justru harus dilibatkan dalam menjaga alam. Ini hanya mungkin tercapai apabila ada pengakuan dan perlindungan hak atas tanah (tenure rights) bagi komunitas lokal dan masyarakat adat. Jalan panjang yang harus dilaluiTransformasi ekonomi membutuhkan perubahan paradigma ekonomi secara sistemik. Ekonomi tidak boleh hanya mengejar pertumbuhan berbasis komoditas, tapi harus dipersiapkan secara sistemik, bertahap, dan ditopang oleh kerangka hukum yang jelas.Lima tahun pertama cukup untuk menyiapkan fondasi awal yang mencakup kebijakan tata kelola, infrastruktur sosial, dan ruang fiskal. Baca juga: Pensiun dini PLTU bisa bikin macet perekonomian daerah: bagaimana menambalnya? Sosio-bioekonomi menempatkan alam bukan sekadar aset ekonomi, tapi juga sebagai penopang kehidupan sosial dan ekologis. Konversi hutan menjadi perkebunan justru mereduksi nilai ini. Maka, moratorium sawit menjadi salah satu langkah penting dalam tahapan transformasi jangka pendek dan menengah. Usia perkebunan sawit yang terlalu panjang akan menimbulkan kerugian lebih besar, meskipun saat ini masih menjadi primadona.Berdasar perhitungan CELIOS, skenario moratorium sawit justru akan membawa efek positif sampai 2045. Perekonomian nasional bisa tetap tumbuh: pendapatan masyarakat naik Rp28 triliun, 761 ribu lapangan kerja baru bertambah, dan output ekonomi tumbuh hingga Rp28,9 triliun. Tanpa moratorium, proyeksinya justru negatif (pendapatan dan output turun).Setelah itu, barulah kita bisa memulai pelaksanaan sosio-bioekonomi secara menyeluruh. Model dan praktik perekonomian ini menempatkan masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai subjek aktif pengelolaan sektor ekonomi, bukan hanya objek pembangunan.Menakar celah fiskalPendanaan program sosio-bioekonomi membutuhkan mesin keuangan yang melampaui skema pasar karbon dan insentif berbasis investor. Pemerintah perlu mencari sumber pendanaan yang lebih fleksibel untuk mendukung konservasi lingkungan secara berkelanjutan. Langkah ini penting guna memastikan perlindungan ekosistem tidak terhambat oleh keterbatasan anggaran.CELIOS memetakan 14 moda pembiayaan untuk mendukung kerangka sosio-bioekonomi Indonesia. Ruang-ruang fiskal ini bisa didapatkan dari penetapan pajak progresif, dana pungutan khusus, dana hibah, hingga instrumen keuangan berbasis pasar. Per tahunnya, sumber-sumber pendanaan ini mampu menggalang Rp1.378,45 triliun.Moda pendanaan semacam ini—yang tidak bergantung pada satu sumber, melainkan dari berbagai instrumen fiskal dan pasar—menjadikan sumber penganggaran program di bawah naungan sosio-bioekonomi tidak rentan. Selain itu, penerapan pajak atas degradasi atau emisi, seperti pajak karbon, dijalankan berdasar prinsip polluters pay. Namun, keberhasilan implementasi ruang fiskal tentu tergantung dari kemauan politik pemerintah. Perlu ada pengambilan kebijakan strategis yang terukur, alokasi sumber daya, penguatan kelembagaan, serta peningkatan partisipasi publik dalam pengawasannya yang berkelanjutan. Untuk itu, publik perlu lebih terlibat untuk mendesak pemerintah mengoreksi arah agar transformasi ekonomi agar tidak menjadi bentuk baru ketidakadilan. Cita-cita pembangunan, pemulihan ekosistem, dan perlindungan biodiversitas sepatutnya dicapai secara bersamaan tanpa meninggalkan masyarakat yang hidup di dalamnya.Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.