Benarkah pendidikan jurnalisme sudah tak relevan dengan perkembangan media digital?

Wait 5 sec.

● Pendidikan jurnalisme dinilai tidak lagi relevan dengan dinamika kebutuhan industri dan perkembangan teknologi digital.● Perubahan teknologi, profesi, dan proses produksi menuntut jurnalis untuk tetap kritis.● Pendidikan jurnalisme harus tetap menanamkan idealisme, keberpihakan pada publik, dan kesadaran etis.Wacana tentang pendidikan jurnalisme yang tak lagi relevan di kampus-kampus—termasuk di Indonesia—dengan kebutuhan dan perkembangan teknologi dan industri semakin mengemuka.Kampus dianggap mengajarkan praktik jurnalisme cara lama. Praktik ini menafikan situasi lingkungan digital yang identik dengan kecepatan, kemenarikan, keringkasan serta konten yang dapat dibagikan lintas platform pada media sosial. Pendidikan jurnalisme saat ini menghadapi tuntutan untuk menghasilkan tenaga kerja siap pakai. Sesuai dengan mekanisme akreditasi program studi yang selalu dikaitkan dengan bagaimana lulusan dapat diserap industri dan persepsi pengguna terhadap kinerja mereka.Namun, sebagai pengajar media dan jurnalisme, kami percaya bahwa pendidikan jurnalisme seharusnya menghasilkan lulusan yang memberikan warna pada media. Harapannya, pendidikan dapat mengembalikan esensi jurnalisme pada apa yang khalayak perlu tahu bukan hanya ingin tahu. Terlebih di tengah industri yang semakin kapitalis dan tidak jarang merugikan kepentingan publik. Tantangan pendidikan jurnalismeSupaya tetap relevan dengan tantangan media digital, kurikulum pendidikan jurnalisme perlu mempertimbangkan tiga isu utama yakni teknologi, profesi dan produksi.1. Tantangan teknologiPraktik jurnalisme menghadapi apa yang disebut “senja kala media”. Ini diawali dengan tutupnya media cetak dan peralihannya ke media online.Hal ini tidak lepas dari rendahnya keterbacaan konten berita. Turunnya industri penyiaran konvensional tersebut ditandai dengan tutupnya beberapa stasiun televisi yang diikuti dengan layoff besar-besaran.Sementara itu, berbagai produk media sosial menunjukkan perkembangan pesat, misalnya jumlah podcast yang semakin menjamur. Kehadiran platform media sosial seperti TikTok dan Youtube juga melahirkan produk jurnalisme baru seperti podcast jurnalistik, mobile journalism, dan lain-lain.Media sosial juga membuat jurnalisme menjadi lebih personal. Media harus berinteraksi dengan audiens melalui kolom komentar, menanggapi pressure dari audiens serta melakukan gimmick agar selalu diingat publiknya. Misalnya dengan memberikan give away ataupun upaya-upaya lain yang digunakan untuk menjaga kedekatan serta interaktivitas.Bentuk jurnalisme yang berubah menjadi sangat personal ini menunjukkan bagaimana emosi, informalitas, keintiman digital dapat meredefinisi serta mereduksi praktik maupun persepsi jurnalisme di era digital. Ini mendorong setiap newsroom untuk memproduksi berita yang sensasional atau sarat emosi. Alih-alih menjadi watchdog dalam demokrasi, jurnalis tereduksi menjadi seorang influencer digital dalam ekosistem buruh yang rentan eksploitasi. Jurnalispun menjadi bagian dari precariat labor.2. Tantangan profesiSebelum era internet, jurnalis dianggap sebagai satu-satunya sumber dan pembentuk informasi. Setelah lahirnya internet dan media sosial, jurnalis kehilangan keistimewaan sebagai informan disaingi oleh kehadiran citizen journalism. Demokratisasi media ini memunculkan profesi baru yaitu kreator konten yang sering dianggap sama dengan jurnalis. Bahkan, lowongan awak redaksi justru lebih banyak membutuhkan kreator konten atau video creator. Jurnalis bukanlah kreator konten. Sebab, kreator konten tidak bekerja dengan mindset, konsep dasar, dan etika jurnalis yang mengandung aspek etis, skill dan kritis. Parameter content creator adalah engagement bukan kedalaman informasi. Kreator konten mengutamakan viralitas. Sedangkan jurnalis seharusnya menghasilkan resonansi yang menggerakkan diskursus kritis.Kreator konten peduli pada isi yang menghasilkan sentimen positif dan click. Sedangkan jurnalis tidak terlalu peduli pada click karena yang dikejar adalah kepentingan publik. Kehadiran media sosial yang berbasis visual juga menyeret jurnalis berorientasi pada performa. Siaran live melalui media sosial membuat wartawan harus mampu menjadi presenter handal, kreator konten yang menarik sekaligus legitimasi sebagai wartawan agar informasi yang disampaikan kredibel. Media “diharuskan” untuk lebih memilih byline daripada menampilkan pembaca berita. Karena terus menonjolkan kemunculan performa fisik, mereka sudah seperti selebritas. Konsekuensinya, jurnalis harus berpenampilan menarik, memiliki fans, dan kehadirannya mengundang perhatian publik. 3. Tantangan produksiHadirnya teknologi yang menghasilkan analisis big data, AI serta berbagai fasilitas serupa mempermudah kerja jurnalis.Kehadiran media sosial dan turunannya juga membuat proses produksi newsroom yang bertahap, bertingkat dan formal berubah menjadi lebih singkat dan pendek.Ringkasnya proses produksi informasi dan berita melalui media sosial membuat populisme makin tumbuh subur karena politisi akan lebih memilih berbicara di podcast daripada harus melewati serangkaian prosedur rumit untuk tampil di media berita konvensional. Baca juga: Viral dulu, substansi belakangan: 3 risiko punya pemimpin politik kreator konten Selain itu, merosotnya pembaca dan subscriber membuat perusahaan media harus menyesuaikan dengan gaya audiens. Analisis Bloomberg tahun 2018 menunjukkan bahwa populasi Gen Z di dunia telah menyalip dominasi milenial. Indonesia Gen Z Report tahun 2024 juga menunjukkan generasi Z merupakan kelompok terbesar setelah milenial.Artinya, audiens yang mayoritas muda tersebut mengonsumsi informasi melalui media sosial bukan media cetak, elektronik, atau online.Audiens itu sendiri adalah pelaku desentralisasi informasi karena mampu menghasilkan dan menyebarkan informasi melalui beragam platform media sosial privat. Akhirnya, bermunculan banyak “media” yang tidak lagi tumbuh melalui organisasi jurnalistik resmi. Media-media tersebut didirikan oleh individu penghasil informasi yang kemudian memformalkan channel-nya menjadi media. Misalnya, membangun institusi media dengan modal subscriber yang telah terbentuk di YouTube channel. Pendidikan jurnalisme yang relevanDalam konteks pendidikan jurnalisme, kampus-kampus perlu memikirkan bagaimana mentransfer pengetahuan kepada mahasiswa tentang idealisme jurnalisme yang tidak harus larut dengan logika industri.Mahasiswa jurnalisme harus sadar bahwa banyak kelompok yang dimarjinalkan oleh media, isu-isu yang tidak pernah disentuh karena tidak selaras dengan algoritma, ataupun penulisan-penulisan yang dangkal agar ramah SEO.Mereka juga harus paham bahwa jurnalis perlu dilindungi tidak hanya fisiknya tetapi juga ideologinya. Kehadiran media sosial dalam lingkungan digital terkadang justru kontraproduktif dengan berbagai esensi tersebut. Tentu, perdebatan tentang bagaimana kurikulum jurnalisme harusnya dikembangkan di kampus-kampus tidak akan pernah tuntas. Namun, kesadaran bahwa ada banyak ruang abu-abu yang hadir, dapat menjadi alarm bagi semua bahwa mencetak jurnalis yang sadar terhadap esensi jauh lebih penting dari sekadar memenuhi ekspektasi industri.Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.