Serbuan Produk Impor Murah jadi Penyebab Pabrik Tekstil POLY di Karawang Gulung Tikar

Wait 5 sec.

Ilustrasi - Pekerja melakukan proses penarikan benang filamen dari olahan limbah botol plastik bekas untuk pembuatan fiber dacro. (Foto: ANTARA)JAKARTA - Industri tekstil nasional kembali mendapat tamparan. PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY), salah satu produsen kimia dan serat poliester terbesar di Indonesia, resmi menghentikan seluruh operasional pabriknya di Karawang, Jawa Barat, secara permanen. Penutupan pabrik itu pun memperpanjang daftar korban dari sektor hulu tekstil yang dinilai makin tergerus di tengah derasnya arus impor dan lemahnya perlindungan kebijakan. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Farhan Aqil mengatakan, penutupan terjadi karena perusahaan tidak mampu lagi menjual produknya secara optimal di pasar domestik. Menurut dia, masuknya impor benang secara besar-besaran membuat serat poliester produksi dalam negeri seperti milik POLY tidak terserap oleh pasar. "Pabrik di Karawang itu memproduksi serat poliester, yang kemudian diproses menjadi benang. Tapi karena impor benang sangat tinggi, POLY kesulitan distribusi," ujar Farhan dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Rabu, 30 Juli. Farhan menilai, fenomena itu bukan kejutan. Pasalnya, sejak 2022-2024, setidaknya 60 perusahaan sektor benang dan kain dilaporkan tumbang akibat serbuan produk impor murah, mayoritas berasal dari Cina, India dan Vietnam. "Kami mencatat sekitar 60 perusahaan terdampak sejak 2022 hingga 2024, mayoritas di sektor benang dan kain," katanya. Farhan menegaskan, industri tekstil Indonesia yang seharusnya terintegrasi dari hulu hingga hilir kini justru terfragmentasi oleh kebijakan yang dipandang berat sebelah. Pemerintah dinilai terlalu fokus pada sektor hilir, seperti garmen dan konveksi, dengan alasan penyerapan tenaga kerja, namun mengabaikan fondasi utamanya di hulu. "Ekosistem tekstil kami sudah terintegrasi dari hulu ke hilir. Mau bikin viscose atau poliester, semua ada. Tapi kalau kebijakan tidak mendukung hulu, seluruh rantai bisa rusak. Nanti yang tumbuh hanya garmen, bahan bakunya semua impor. Itu berbahaya," tegas dia. Selain tekanan dari pasar, POLY juga dibebani utang lama yang terus membengkak. Alih-alih diberi opsi relaksasi, perusahaan justru diminta membayar penuh tanpa mempertimbangkan kemampuan riil mereka saat ini "Jadi, tidak apple to apple. POLY ingin menyelesaikan utangnya, tapi yang diminta justru lebih besar dari tanggung jawab mereka saat ini," terang dia. Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal.  Dia bilang, meskipun Indonesia punya rantai industri tekstil dari serat hingga pakaian jadi, kebijakan tidak terintegrasi justru melemahkan struktur industri nasional. "Kami sudah punya value chain industri tekstil dari serat sampai pakaian jadi. Tapi, kalau kebijakan hanya menguntungkan hilir dan membebani hulu, lama-lama hulunya mati. Kalau ini dibiarkan, kami bisa kehilangan fondasi industri nasional," jelasnya. Faisal menyoroti tidak diperpanjangnya Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap serat impor sebagai contoh nyata kebijakan yang kontra produktif. Dia juga menekankan, pentingnya subsidi atau insentif seperti energi murah dan pembiayaan khusus untuk meringankan beban pelaku hulu. "Industri hilir memang lebih banyak menyerap tenaga kerja, tapi unit usahanya relatif kecil-kecil. Sementara hulu itu lebih besar, tapi jumlahnya sedikit," tutur dia. "Tapi kalau industri hulu hilang, ya, tetap saja akan berkurang juga penciptaan lapangan kerja dan makin sempit pula ruang gerak ekosistem industri dalam negeri. Akhirnya, yang terjadi malah sebagian besar ekosistem digantikan oleh produk impor. Itu yang harus dicegah," sambungnya. Lebih lanjut, Faisal juga menyoroti kebijakan impor tidak proporsional.Dia mengakui, impor kapas sebagai bahan baku utama masih diperlukan karena keterbatasan produksi dalam negeri.Namun, untuk produk antara seperti benang dan serat, impor seharusnya dibatasi."Kalau produk antara seperti benang atau serat dibiarkan bebas masuk, industri hilir pasti pilih impor karena lebih murah. Di sinilah peran negara, industri hulu harus diberikan insentif agar bisa menekan harga, misalnya melalui subsidi energi, pajak atau pembiayaan khusus. Kalau tidak, industri lokal terus tergerus," pungkasnya.