Pengunjung melihat produk sepatu di mal Grand Indonesia, Jakarta. (ANTARA/Aprillio Akbar/aww/am)JAKARTA – Kemunculan fenomena “rojali” dan “rohana” bukan sekadar perubahan sikap konsumen. Kondisi ini bisa menjadi cermin bahwa daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih.Istilah “rojali” dan “rohana” kembali mencuri perhatian warganet karena dinilai menggambarkan fenomena yang sedang terjadi sekarang ini.Sejumlah pusat perbelanjaan masih tampak ramai oleh pengunjung. Namun setelah ditelisik, ternyata ramainya pusat perbelanjaan atau mall tidak selalu mencerminkan denyut ekonomi yang sehat.Kalau dulu orang datang ke mall untuk membeli sesuatu, ternyata sekarang sedikit berbeda. Di era terkini, katanya sebagian orang datang ke pusat perbelanjaan hanya untuk mencari hiburan murah, menikmati suasana nyaman, atau sekadar hiburan visual tanpa harus berbelanja.Warga memilih produk saat belanja di salah satu industri ritel di Cinunuk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/1/2025). (ANTARA/Raisan Al Farisi/YU)Dari sanalah tercipta istilah “rojali” dan “rohana”. Rojali adalah akronim dari “rombongan jarang beli”, sementara rohana adalah “rombongan hanya nanya”. Keduanya merujuk pada perilaku konsumen yang mengunjungi pusat perbelanjaan, tetapi hanya melihat-lihat barang dan tidak melakukan transaksi pembelian.Dialami Kelas MenengahPada 2024, fenomena rojali sempat dikeluhkan oleh seorang pemilik kafe di Yogyakarta, Agus Arya. Ia mengeluhkan minimnya pendapatan akibat aktivitas rombongan jarang beli.Melalui unggahan video di akun Instagram pribadinya, banyak pengunjung kafenya datang hanya untuk mengakses Wifi tanpa memesan menu di tempat tersebut.Istilah rojali ini rupanya kembali menjadi perbincangan dalam beberapa hari ke belakang. Pemicunya adalah kondisi pusat perbelanjaan yang ramai, namun tidak berbanding lurus dengan transaksi pengunjungnya.Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja menuturkan, fenomena “rojali” dan “rohana” notabene berasal dari kelas menengah, baik menengah ke bawah maupun ke atas. Meski begitu, ada perbedaan alasan di dua kelompok tersebut.Kalau kelas menengah atas, kata Alphonsus, fenomena ini terjadi karena mereka lebih berhati-hati dalam berbelanja.“Apalagi kalau ada pengaruh makroekonomi, mikroekonomi dari global. Sehingga mereka (memilih) belanja atau investasi? Kan itu juga terjadi,” ujarnya.Sementara itu, kelas menengah ke bawah banyak beralih menjadi “rojali” dan “rohana” karena adanya penurunan daya beli. Uang yang berkurang menyebabkan daya beli ikut menurun. Meski begitu, mereka tetap datang ke pusat-pusat perbelanjaan.Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, maraknya rojali dipicu oleh menurunnya pendapatan masyarakat. Meski di tengah penurunan pendapatan, kebutuhan akan hiburan tetap ada.“Hiburan paling murah saat ini ya jalan-jalan ke mal tanpa membeli. Kalau pun mau beli, biasanya mereka akan cari harga lebih murah lewat platform daring,” kata Huda.Padahal, lanjut dia, pemerintah sudah banyak menggelar program diskon belanja. Akan tetapi nampaknya belum bisa mengangkat daya beli masyarakat secara signifikan. "Jadi faktor utamanya memang dari sisi pendapatan masyarakat yang menurun yang mengakibatkan fenomena rojali ini," ujar Huda menambahkan.Gerai Makanan UntungPernyataan Huda soal penurunan pendapatan masyarakat sejalan dengan Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang melambat. Pada tiga bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga hanya 4,87 persen atau di bawah periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 4,91 persen.Padahal sewaktu sebelum pandemi COVID-19, laju konsumsi bisa mencapai 5,4 persen. Konsumsi rumah tangga merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) nasional sehingga penurunan ini berdampak langsung terhadap ekonomi nasional.Meski demikian, Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan fenomena “rojali” tidak selalu berdampak buruk, karena omzet ritel food and baverage (F&B) justru naik.Hal ini terjadi karena setelah berputar-putar di mall, kelompok “rojali” dan “rohana” ini merasa haus dan lapar. Sehingga masyarakat pasti mendatangi gerai minuman, jajanan, atau kafe di mall.Gerai food and baverage termasuk yang diuntungkan dengan adanya fenomena rojali, karena banyak pekerja datang ke mall untuk melakukan working from anywhere (WFA). (Unsplash)"Yang paling untung rojali ini F&B. Makanya, retail F&B kami naik 5 sampai 10 persen. Karena orang nongkrong pasti lihat, muter-muter haus, minum," ujar Budihardjo."Kalau di kafe mesti beli minimal. Dan ya kami juga datang dong, kalau es teh-nya habis jadi datangin lagi ditawar-tawarin lagi," ungkap Budihardjo.Selain itu, sistem work from anywhere (WFA) yang menjadi tren sejak pandemi turut andil dalam kemunculan “rojali”. Karena mereka yang WFA akan langsung menuju gerai F&B tertentu untuk mengerjakan pekerjaan dari sana."Jadi sebenarnya saat ini memang ada rojali, tapi memang itu dipengaruhi juga dengan work from anywhere. Itu memang jadi satu customer behavior yang baru," terang Budihardjo.