Ilustrasi (sumber: freepik)Pada suatu malam kampanye, seorang relawan muda merogoh tabungannya demi membeli karung bekas, agar bisa dijadikan baliho rakyat menyuarakan perubahan. Ia percaya, suaranya akan berpadu menjadi simfoni besar yang menyelamatkan republik.Namun kegembiraannya perlahan berubah menjadi tanya. Ia mulai heran, saat kandidatnya berkampanye ke berbagai daerah menggunakan jet pribadi milik seorang konglomerat. Padahal, dalam laporan dana kampanye yang diumumkan ke publik, dana yang tersedia hanya 1 miliar rupiah. Sementara, satu kali penerbangan jet pribadi saja bisa menelan biaya ratusan juta, belum termasuk sewa hanggar dan operasional lainnya.Tak lama berselang, ia menyaksikan orang-orang yang pernah berurusan dengan KPK, justru duduk akrab di lingkar terdalam sang kandidat. Meskipun masih menyimpan harapan bahwa kandidatnya tetap bersih, di hatinya tumbuh keraguan yang sulit diabaikan. Ia mulai sadar bahwa barangkali, lagi-lagi, idealisme hanya dipakai sebagai umpan.Adegan semacam itu bukan kebetulan. Ia berulang lintas tempat dan waktu.Dalam setiap babak sejarah, kita melihat satu pola yang tak kunjung padam: ketika ketaatan para pengikut digunakan bukan untuk membangun cita-cita bersama, melainkan dijadikan komoditas untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Di sanalah kita temukan akar luka peradaban: ketaatan yang dijungkirbalikkan menjadi alat eksploitasi.Ketaatan adalah bentuk paling murni dari kepercayaan kolektif. Ia hadir bukan karena paksaan, melainkan karena keyakinan bahwa sesuatu yang lebih besar sedang diperjuangkan bersama.Dalam perjuangan politik, spiritual, maupun sosial, ketaatan menjadi bahan bakar utama. Namun dalam sejarah panjang umat manusia, tak sedikit pula yang menunjukkan, bagaimana ketaatan yang lepas dari akal sehat, justru membuka ruang bagi kekuasaan yang manipulatif.Ilustrasi kekuasaan. Foto: ShutterstockHannah Arendt, dalam laporan historisnya tentang pengadilan Adolf Eichmann, menggambarkan bagaimana birokrasi Nazi dijalankan oleh individu yang tidak jahat dalam dirinya, tapi yang taat membabi buta pada sistem. Ia menyebutnya sebagai "banalitas kejahatan": kekejaman besar bisa lahir dari ketaatan kecil yang tak dipikirkan. Filsuf Jerman Immanuel Kant lebih awal memperingatkan bahwa manusia tak boleh diperlakukan hanya sebagai sarana. Ketika seseorang tunduk sepenuhnya tanpa menimbang akal dan hati nuraninya, maka yang tersisa hanyalah instrumen yang siap digunakan, apa pun tujuannya.Dalam sejarah politik, kerap kita jumpai cerita partai-partai kader, yang pada awalnya dibentuk sebagai rumah nilai dan ideologi, namun perlahan berubah menjadi kendaraan transaksi.Di Amerika Latin, loyalitas rakyat yang dihimpun oleh tokoh-tokoh seperti Juan Perón atau Hugo Chávez, semula didorong oleh visi kerakyatan. Tapi seiring waktu, kekuatan massa justru dipakai sebagai alat tawar elite politik. Hal itu diulas oleh Corrales dan Penfold dalam buku mereka Dragon in the Tropics. Mereka mencatat, bagaimana janji-janji kerakyatan dalam banyak kasus hanya menjadi bungkus dari kepentingan elite.Di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana di akar rumput, kader-kader dari partai berbasis kader mengorbankan waktu, harta, dan pekerjaan, demi membela calon atau partainya. Tapi di atas, sebagian elite hidup dari hasil jual beli kursi, akses proyek, dan konsesi kekuasaan. Loyalitas kader berubah menjadi barang dagangan. Di sinilah ketaatan tidak lagi suci, melainkan dikomodifikasi.Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparanKejahatan itu menjadi lebih licin, ketika memakai jubah agama. Di Amerika Serikat, nama-nama seperti Benny Hinn dan Robert Tilton, sempat disorot karena memanfaatkan semangat donasi keagamaan untuk membiayai gaya hidup mewah. Komite Keuangan Senat AS pun turun tangan menyelidiki, karena aliran dana jutaan dolar mengalir dari umat, kepada jet pribadi dan vila eksklusif.Di Indonesia, kita melihat fenomena serupa. Paytren, aplikasi investasi syariah yang dipromosikan sebagai jalan dakwah dan kemandirian umat, akhirnya dicabut izinnya oleh OJK karena melanggar regulasi pasar modal. Dalam kasus lain yang lebih struktural, pemerintah membuka peluang bagi organisasi keagamaan untuk mengelola wilayah izin tambang. Meski disebut sebagai bentuk pemberdayaan umat, langkah ini membuka banyak pertanyaan. Bagaimana jika ormas keagamaan yang berbasis moral, turut terjun dalam sektor yang penuh konflik dan kerusakan ekologis? Apakah etis bila ormas keagamaan duduk sebagai aktor industri ekstraktif?Ketika iman bertemu pasar, yang lahir tak selalu kebaikan. Iman bisa berubah menjadi merek dagang dan moralitas menjadi alat pemasaran. Ketaatan umat pun tereduksi menjadi loyalitas konsumen.Jika korupsi merampas uang dan genosida merampas nyawa, maka eksploitasi ketaatan merampas nurani. Ia mengaburkan batas antara benar dan salah. Lebih berbahaya lagi, ia membuat korban membela pelaku, bahkan menyerahkan hidupnya pada pelaku kerusakan.Tak hanya itu, eksploitasi ketaatan yang terungkap, akan menanamkan sinisme dan kehilangan harapan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Roman Krznaric menyebutnya "utang waktu": sebuah bentuk kejahatan terhadap masa depan. Kebohongan dan manipulasi hari ini akan dibayar oleh generasi yang belum lahir, dalam bentuk masyarakat yang kehilangan kepercayaan pada institusi. Jika masyarakat tak lagi percaya pada negara, agama, partai, atau bahkan keluarga, maka struktur sosial kita kehilangan makna simboliknya. Yang tersisa hanyalah rutinitas kosong.Belajar dari Moralitas KiriNamun, kita tidak sepenuhnya tanpa teladan. Jika kita biasa mendapatkan ceramah moral dari agamawan, gerakan kiri juga punya moralitasnya sendiri. Dari gerakan kiri, kita belajar bahwa moralitas tak perlu bersandar pada langit untuk tetap bernilai.Meski kerap dicap materialis dan sekuler, moralitas kiri justru menuntut konsistensi yang lebih konkret. Pemimpin harus hidup setara dengan rakyat yang diperjuangkannya, dan tak boleh ada jarak antara ajaran dan laku. Moralitas ini tidak lahir dari dogma yang dibakukan, tapi tumbuh dari realitas seperti relasi kuasa, ketimpangan ekonomi, dan perjuangan kelas. Dalam tradisi Marxis, nilai-nilai etis dipahami bukan sebagai kebenaran universal yang kekal, melainkan sebagai cermin dari kepentingan material kelompok tertentu. Trotsky bahkan menolak moralitas absolut ala Kant dan menekankan bahwa etika hanya bermakna, jika dibaca dalam konteks sejarah dan konflik sosial yang terus bergerak.Maka ketika kelompok kiri bicara tentang keadilan atau solidaritas, itu bukan seruan moral abstrak, melainkan pembacaan tajam atas siapa yang bekerja, siapa yang berkuasa, dan siapa yang diuntungkan. Moralitas kiri, dengan demikian, bukan penolakan terhadap nilai, tapi pembelaan terhadap nilai yang tumbuh dari kehidupan nyata yang bisa diuji, digugat, dan diperjuangkan.Kita melihat tokoh sosialis, seperti Sutan Sjahrir yang menolak fasilitas negara, memilih rapat di warung, dan berjalan kaki pulang. Tan Malaka hidup dari gaji guru sambil berpindah tempat, demi menghindari intel kolonial. Ia menulis Madilog, karya filsafat kritis yang melampaui zamannya dalam sunyi pengasingan. Ho Chi Minh tinggal di rumah panggung sederhana di halaman istana presiden Vietnam, tidur di ranjang bambu, dan menyiram kolam ikannya sendiri. José Mujica, mantan presiden Uruguay, mengendarai mobil tua dan menyumbangkan sebagian besar gajinya.Mantan Presiden Uruguay, Jose Mujica saat hendak naik mobil kepresidenannya. Foto: dok. NaijautoMereka memilih sederhana bukan karena tak mampu, tapi karena sadar bahwa kekuasaan berbalut kemewahan adalah pengkhianatan, dan perjuangan diiringi kesederhanaan adalah satu-satunya yang patut dipercaya. Disiplin hidup mereka bukan gaya hidup alternatif, melainkan pondasi etika. Mereka percaya bahwa perjuangan hanya punya daya, ketika tidak bocor ke dalam gaya hidup mewah. Dalam pandangan ini, moralitas tidak datang dari dogma, tapi dari integritas struktural. Lalu apa yang harus kita lakukan? Entah Anda percaya pada wahyu, konstitusi, atau logika rasional, kita semua punya satu garis pertahanan terakhir terhadap penyimpangan, ialah idealisme.Ketika ketaatan diminta, tiga pertanyaan wajib diajukan: Untuk nilai apa saya taat? Siapa yang mengelola ketaatan ini? Dan siapa yang paling diuntungkan? Begitu jawaban dari ketiganya menyempit ke satu nama, satu kelompok, atau satu rekening, alarm bahaya seharusnya menyala. Sebab dalam sejarah manusia, kejahatan terbesar jarang dimulai dengan kekerasan. Ia selalu bermula dari persetujuan yang dikondisikan.Eksploitasi ketaatan adalah kejahatan yang tidak hanya merusak hari ini, tapi juga mencederai hari esok. Ia memutus sirkulasi harapan, membuat kita pesimistis terhadap politik, curiga terhadap agama, dan apatis terhadap perubahan. Karena itu, menjaga nalar kritis di masjid, di kantor partai, di ruang kelas, bahkan di warung kopi, adalah bentuk revolusi senyap yang tak boleh berhenti.Di tengah dunia yang penuh wajah pemimpin dan nama besar, kita perlu kembali pada yang paling dasar: nilai, bukan orang. Idealisme, bukan figur. Hanya dengan itu, kita punya harapan untuk mewariskan sesuatu yang lebih baik pada mereka yang datang sesudah kita.