Revisi KUHAP: Kuasa polisi makin besar, warga makin terpojok?

Wait 5 sec.

(Algi Febri Sugita/Shutterstock)● Revisi KUHAP berisiko membuat polisi menjadi lembaga superbody.● Aturan penangkapan hingga penyitaan dalam revisi KUHAP bisa membuat polisi menjadi sewenang-wenang. ● Revisi KUHAP apabila disepakati dapat menjadi alat penguasa untuk mengontrol rakyat. Revisi Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimulai oleh DPR sejak awal 2025 seharusnya bisa mendorong pembaruan aturan yang lebih menghormati hak asasi manusia (HAM). Namun, berdasarkan draf dan fokus pembahasan saat ini, agenda pembaruan justru masih angan-angan belaka.KUHAP adalah payung hukum yang mengatur seluruh prosedur sistem peradilan pidana di Indonesia. Tak hanya memuat tata cara penyidikan hingga persidangan, KUHAP sejatinya mengatur hubungan antara negara dengan warganya ketika berhadapan dengan hukum.Berkaca dari draf saat ini, agenda revisi KUHAP justru menggelar karpet merah bagi Kepolisian RI (Polri) untuk menjadi lembaga superpower dalam sistem peradilan pidana. Kewenangan polisi dalam revisi KUHAP ini amatlah luas sehingga amat berisiko disalahgunakan. Para pembentuk undang-undang seharusnya mencermati tren penyalahgunaan kekuasaan dan kekerasan yang dilakukan oleh polisi sebagai bahan dalam merevisi KUHAP. Selama Juni 2023-2024, Polri menjadi aktor dalam 602 kekerasan, mulai dari penyiksaan hingga pembunuhan di luar hukum. Sebanyak 86 warga menjadi korban—sepuluh di antaranya meninggal dunia. Ferdy Sambo, jenderal polisi (telah diberhentikan) sekaligus otak pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat. (Ardikta/Shutterstock) Ratusan peristiwa kekerasan tersebut belum dihitung tindakan pengerahan kekuatan berlebihan polisi dalam tragedi stadion Kanjuruhan 2022 yang menewaskan 135 orang. Ada juga berbagai aksi represif dalam sejumlah demonstrasi maupun penegakan hukum yang berat sebelah. Tanpa pembatasan kewenangan Polri dan aparat negara serta penghargaan terhadap HAM, revisi KUHAP justru berisiko semakin membuat masyarakat terpojok.Kewenangan berlebihan polisi dalam revisi KUHAPFaktanya, pembahasan Revisi KUHAP saat ini justru mengarah pada pemberian porsi besar terhadap kewenangan Polri untuk menjadi institusi superpower dalam sistem peradilan pidana.Salah satu alasannya yaitu RUU KUHAP menjadikan Penyidik Polri sebagai penyidik utama yang juga akan mengawasi penyidik lainnya, seperti halnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) maupun Penyidik Tertentu lainnya.Hal tersebut tentu saja berpotensi mengintervensi kerja-kerja dari penyidik sektoral, yang mana pada akhirnya akan berdampak pada independensi daripada penyidik sektoral itu sendiri. Tak hanya itu, sebagai aparat penegak hukum, Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan.Untuk menjalankan kewenangan tersebut, KUHAP mengatur agar Polri dapat melakukan berbagai bentuk upaya paksa yang berdampak pada pembatasan hak-hak setiap warga negara.Kendati demikian, revisi KUHAP justru bermasalah karena memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada Polri sejak penyelidikan.Misalnya, Pasal 5 ayat (1) revisi KUHAP mengatur bahwa penyelidik dapat melakukan berbagai tindakan upaya paksa seperti menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai, hingga melakukan pemeriksaan tanda pengenal. Tak hanya itu, atas Pasal 5 ayat (2) draf revisi KUHAP saat ini bahkan membolehkan penyelidik untuk menangkap, menggeledah, mengambil sidik jari serta data forensik, hingga menahan seseorang atas perintah penyidik. Baca juga: Nyawa di tangan polisi: Tekanan internal membuat penegak hukum makin brutal. Bagaimana mencegahnya? Padahal, penyelidikan adalah tahap awal untuk mencari apakah suatu peristiwa mengandung tindak pidana di dalamnya. Artinya, pada tahap penyelidikan ini belum jelas diketahui ada atau tidaknya suatu tindak pidana telah terjadi.Dalam bagian ini, revisi KUHAP jelas mencerminkan kemunduran. Pasalnya, untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana saja, harus didasarkan pada minimal 2 alat bukti, dan disertai surat perintah penangkapan.Isi dalam surat perintah penangkapan pun diatur setidaknya harus menjabarkan alasan dari dilakukannya penangkapan dan juga uraian perkara atas kejahatan yang dipersangkakan.Hal tersebut juga berlaku dalam hal melakukan penahanan, yang mana seharusnya dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih.Sedangkan, penetapan tersangka dan terdakwa sendiri baru dapat dilakukan pada tahap penyidikan atau dengan kata lain yaitu setelah adanya kejelasan atas terjadinya tindak pidana berdasarkan minimal dua alat bukti. Revisi KUHAP pada akhirnya memunculkan pertanyaan: Jika tindak pidana suatu peristiwa belum ditemukan, atas dasar apa seseorang dapat ditangkap maupun ditahan? Risiko memperpanjang penyalahgunaanKewenangan polisi yang terlampau luas dalam tahap penyelidikan versi revisi KUHAP saat ini justru berbahaya. Sebab, kewenangan seperti ini justru seakan membenarkan praktik-praktik pelanggaran HAM, mulai dari salah tangkap hingga penahanan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Polri selama ini. Terlebih, jika dilihat pada beberapa tahun terakhir, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang justru kerap dilakukan Polri terhadap orang-orang yang memiliki pandangan politik berbeda dengan penguasa. Salah satunya adalah penangkapan massa aksi Reformasi Dikorupsi pada 2019 hingga Peringatan Darurat menolak revisi Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) pada 2024. Dalam aksi 2019, ribuan orang ditangkap tanpa alasan yang jelas. Puluhan jurnalis bahkan menjadi korban kekerasan oleh polisi.Sementara dalam aksi Peringatan Darurat, polisi menangkap sekitar 301 orang.Masalah partisipasiKUHAP saat ini memang tak lagi relevan dan memadai dan perlu segera diperbarui. Namun, kebutuhan ini bukan alasan bagi DPR dan pemerintah untuk mengebut revisi yang minim partisipasi publik. Apalagi muatan revisinya cenderung memperbesar kekuasaan negara dan berisiko melanggar HAM. Pembahasan revisi KUHAP seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki hal-hal fundamental dalam sistem peradilan pidana saat ini. Salah satunya pengaturan secara tegas dan jelas mengenai antara keseimbangan hak (balancing of rights) antara tersangka/terdakwa dan korban. Kepala puskesmas dianiaya polisi dalam bentrokan akibat konflik lahan, Juli 2025. Selain itu, tak boleh pula ada kewenangan yang terlalu besar bagi polisi ataupun lembaga lainnya, khususnya kewenangan yang bersifat memaksa dan menerabas hak-hak setiap warga negara. Oleh karena itu, KUHAP juga perlu menyeimbangkan kewenangan (balancing of authority) antarlembaga seperti Polri, Kejaksaan, lembaga peradilan, maupun institusi lainnya, sebagai bentuk upaya mekanisme check and balances.Sudah sepatutnya proses pembahasan KUHAP dilakukan secara hati-hati, transparan, dan membuka ruang-ruang partisipasi publik secara luas.Harapannya, pembahasan ini menciptakan keadilan materiil dalam bentuk KUHAP, tetapi juga mengandung keadilan prosedural dalam proses pembentukannya.Tanpa partisipasi publik yang memadai, KUHAP berisiko menjadi alat penguasa untuk dapat mengontrol kebebasan rakyatnya, melalui pemberian legitimasi terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh Polri selama ini.Bugivia Maharani Setiadji Putri tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.