Gambar dibuat oleh aiHari ini, anak perempuan saya meminta sesuatu yang sederhana—menuliskan namanya dalam tulisan Arab. Ia bilang ustadzah di madrasahnya memintanya membawa tulisan itu ke sekolah sore nanti. Saya tidak bertanya panjang lebar. Mungkin agar ia bisa belajar mengenali dan menuliskan namanya sendiri dalam huruf-huruf hijaiyah. Entahlah. Tapi saya tahu, tidak ada yang keliru dari permintaan itu. Memang sudah sepantasnya setiap anak mengenal namanya, mengenali dari mana ia berasal, dan suatu hari memahami ke mana ia diarahkan.Saya tuliskan namanya perlahan, huruf demi huruf, dalam aksara Arab. Lalu, seperti ada sesuatu yang mengalir begitu saja dari dalam dada, saya tuliskan juga arti dari namanya: "Orang yang berakhlak, cerdas, merdeka." Tiga kata yang bagi orang lain barangkali hanya deretan sifat umum, klise, bisa ditemukan di brosur sekolah-sekolah unggulan. Tapi bagi saya, kata-kata itu adalah tali yang saya untai pelan-pelan, doa yang saya rajut menjadi jaring—semoga suatu saat cukup kuat menopang hidup anak saya ketika saya sudah tidak lagi bisa memapahnya.Saya ingin menjelaskan arti nama itu padanya. Tapi suara saya tertahan. Bukan karena saya ragu, melainkan karena saya sadar: usia tujuh tahun terlalu dini untuk mengurai makna dari sebuah doa yang dititipkan diam-diam. Mungkin, sepuluh atau lima belas tahun lagi, ia akan bisa membaca tulisan ini. Dan jika Tuhan mengizinkan, saya ingin ia tahu bahwa dari semua yang bisa saya wariskan, namanyalah yang paling saya persiapkan dengan cermat. Sebab nama adalah doa yang menyamar dalam bentuk kata-kata.Saya tahu, sebagai seorang ayah, doa saya belum tentu mujarab. Hati saya terlalu sering bergemuruh oleh hal-hal duniawi, pikiran saya terlalu penuh oleh keinginan-keinginan yang tak selalu jernih. Maka saya memilih untuk meminjam tangan yang lebih bening, hati yang lebih tenang, dan doa yang lebih dekat ke langit. Nama itu saya minta kepada Kiai Zuhri Zaini—seorang kiai yang saya hormati, bukan hanya karena ilmunya, tapi karena hidupnya yang sederhana dan tenang, seperti sumur dalam yang airnya tak pernah habis bagi siapa pun yang haus.Di hadapan beliau, saya tidak membawa usulan arti nama, tidak pula daftar pilihan yang telah saya pertimbangkan berhari-hari sebelumnya. Saya hanya membawa satu hal: sebuah harapan yang saya lipat dalam dada, dan saya serahkan dengan penuh takzim. Tidak dengan suara, tapi dengan diam yang mengandung keyakinan: bahwa seorang kiai yang mengenal hidup lebih dalam dari saya, tahu apa yang paling pantas disematkan pada seorang anak yang baru akan memulai perjalanannya di dunia.Saya tahu, meminta nama pada seorang kiai bisa terdengar kuno, bahkan jumud. Tapi bagi saya, itulah bentuk paling tulus dari kepasrahan seorang santri. Karena saya tidak hanya menginginkan nama yang indah, saya menginginkan doa yang terucap dari seseorang yang dekat dengan Tuhan. Nama yang ketika dilangitkan, tidak hanya bergema tapi juga dikabulkan.Kiai Zuhri memberi nama yang artinya: berakhlak, cerdas, merdeka. Sederhana, tapi ketika saya mendengarnya pertama kali, saya seperti melihat pantulan isi kepala saya sendiri. Seolah beliau tahu harapan saya tanpa saya perlu menjelaskan panjang lebar.Berakhlak. Itu harapan pertama saya. Bukan sekadar tahu sopan santun, tetapi punya hati yang tahu malu ketika berbuat salah. Yang tahu caranya berkata maaf dan terima kasih tanpa merasa harga dirinya turun. Yang tahu bahwa menundukkan kepala tidak selalu berarti kalah, dan memberi jalan bukan berarti mundur.Akhlak adalah akar—tak terlihat, tak dipuji, tapi tanpanya tak ada pohon yang bisa berdiri. Ia sumber dari segala kebaikan: dari laku yang halus, dari kata-kata yang dijaga, dari niat yang dibersihkan. Nabi Muhammad tidak diutus membawa kekuasaan, tapi menyempurnakan akhlak. Maka saya ingin anak saya tumbuh menjadi seseorang yang kehadirannya menenangkan. Yang tidak menyakiti orang lain, bahkan ketika ia sendiri sedang terluka.Akhlak bukan sekadar aturan, tapi kepekaan hati untuk tetap lurus ketika tidak ada yang melihat. Itulah akar yang saya harapkan tumbuh kuat dalam diri anak saya. Saya tidak ingin ia menjadi pintar tapi kasar, sukses tapi arogan, atau berhasil tapi rapuh batinnya. Karena saya percaya, tanpa akhlak, ilmu menjadi tajam tapi melukai; keberhasilan menjadi tinggi tapi menjauhkan. Maka biarlah ia tumbuh pelan-pelan, asal akarnya kuat: akhlaknya utuh, dan hatinya jernih.Cerdas. Tapi bukan hanya cerdas di atas kertas. Saya ingin ia cerdas dalam menentukan pilihan—karena hidup tidak selalu soal benar atau salah, tapi sering soal mana yang paling sedikit membawa mudarat. Cerdas menyadari bahwa wajah dan nilai hanyalah permukaan. Saya ingin ia punya keberanian untuk mempertanyakan, tapi juga kelembutan untuk memahami. Karena iman dan akal tidak saling meniadakan. Yang satu menjaga arah, yang lain mencari terang.Cerdas dalam hidup artinya ia tahu kapan harus maju dan kapan harus mundur. Ia tidak mudah terburu-buru, tapi juga tidak terlalu lama diam. Ia tahu bahwa hidup ini sering tidak adil, dan karena itu ia harus punya daya lenting. Kesabaran bukan berarti pasrah, tapi kemampuan untuk berdiri kembali dengan kepala tegak meski sempat jatuh. Bukan untuk membalas, tapi untuk bertahan—karena yang kuat bukanlah yang menang, tapi yang tetap baik bahkan saat dirugikan.Merdeka. Itu harapan yang paling sulit. Karena dunia hari ini terlalu lihai menciptakan jebakan yang tidak terlihat—keinginan yang disulap menjadi kebutuhan, dan standar hidup yang ditanamkan diam-diam lewat iklan dan layar. Saya ingin anak saya tumbuh tanpa diperbudak oleh keinginan yang tidak ia mengerti. Tidak hidup dalam bayang-bayang ekspektasi orang lain. Karena hidup yang digerakkan oleh penilaian orang, cepat atau lambat akan terasa seperti penjara yang tak berbentuk.Merdeka bukan berarti bebas tanpa batas. Tapi bebas dalam berpikir, dalam bermimpi, dan dalam menjadi diri sendiri—selama ia sadar bahwa kebebasan sejati selalu disertai tanggung jawab. Dalam Islam, manusia diberi akal agar bisa memilih, tapi juga diberi hati nurani agar tidak semena-mena. Maka saya ingin ia bebas menjalani hidupnya sendiri, memilih jalannya sendiri, tanpa harus menjadi versi siapa pun kecuali dirinya sendiri.Saya tidak ingin anak saya tumbuh hanya untuk mewarisi kegagalan saya. Saya tidak ingin dia menjadi wadah dari ambisi saya yang tidak sempat selesai. Ia adalah dirinya sendiri. Dia bebas menjadi siapa saja, selama dia punya bekal akhlak dan kecerdasan. Karena kebebasan tanpa akhlak akan liar, dan kecerdasan tanpa arah akan menyesatkan. Saya percaya dua bekal itu akan cukup menuntunnya, ke mana pun dia melangkah.Saya percaya bahwa nama ini akan tumbuh bersamanya. Menempel di keningnya seperti air wudhu yang tak pernah kering. Mengalir dalam darahnya seperti nyanyian lembut yang menenangkan ketika ia gelisah. Nama ini bukan sekadar identitas administratif yang tercetak di rapor dan ijazah. Nama ini adalah pusaka batin yang, saya harap, akan ia rawat dan pahami perlahan-lahan.Saya tahu ia tidak akan langsung mengerti ini semua. Tapi tidak apa-apa. Barangkali suatu hari ia akan membaca tulisan ini dalam sunyi kamar, ketika hujan turun pelan-pelan, dan ia sedang bingung memutuskan sesuatu dalam hidupnya. Barangkali saat itu ia akan teringat, bahwa ayahnya pernah menuliskan arti namanya dengan tangan gemetar.Dan jika saat itu datang, saya ingin ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Bahwa dalam setiap keputusan sulit, ada doa yang pernah dititipkan diam-diam di balik namanya. Doa yang berharap agar ia selalu jadi manusia yang tahu bagaimana bersikap, bagaimana berpikir, dan bagaimana menentukan jalannya sendiri.Jadilah berakhlak, Nak. Sebab itulah wajah tauhid dalam perilaku, dan puncak kebebasan jiwa yang memilih kebaikan, bahkan saat tak ada yang menuntut.Jadilah Cerdas, Nak. Sebab hidup sering berbelok tiba-tiba, dan hanya yang jernih memilih, mampu berjalan tanpa kehilangan arah.Jadilah Merdeka, Nak. Karena hanya orang merdekalah yang bisa memberi arti pada hidupnya, dan pada hidup orang lain.Namamu adalah doa. Dan doa adalah harapan yang, jika tidak sampai ke langit, semoga cukup menyentuh hatimu.