Eksklusif: Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat Merindukan Konten Berita yang Inspiratif

Wait 5 sec.

Saat ini kata Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat, produksi berita meningkat, namun ini tak diikuti dengan kualitas. (Foto: Karisa Aurelia Tukan – VOI, DI: Raga Granada – VOI)Dalam pengamatan Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, saat ini sulit menemukan berita yang inspiratif. Bukan karena jumlah berita yang sedikit—justru sebaliknya, berita yang ada sangat melimpah. Namun, hanya sedikit yang memiliki nilai. Karena itulah, ia sangat merindukan berita yang berkualitas dan inspiratif.***Sebagai seorang akademisi yang pernah meniti karier sebagai wartawan, Komaruddin Hidayat sangat prihatin dengan keadaan saat ini. Di mana berita yang diproduksi dan dipublikasikan memang sangat banyak, tetapi kualitasnya sangat memprihatinkan. “Saya amati, berita yang muncul sekarang ini sangat banyak, tapi kualitasnya rendah. Ibarat udara, banyak polusinya,” ujarnya.Bagi dia, keberadaan media—baik cetak maupun elektronik—sangat penting. Karena itu, ia mengapresiasi semua kerja yang dilakukan insan pers dalam membuat dan menyebarkan berita kepada masyarakat.“Media juga memberikan edukasi dan hiburan, walaupun banyak juga yang menyebarkan hoaks dan sensasi. Saya sangat merindukan konten pers yang bernuansa intelektual dan inspiratif, yang membuat orang optimis menatap masa depan,” tegasnya.Belum lagi maraknya perkembangan media sosial belakangan ini yang perlahan-lahan mengalahkan pamor media pers, yang sebelumnya menjadi rujukan utama masyarakat. Kondisi ini membuat hoaks atau informasi bohong semakin mudah menyebar melalui beragam platform media sosial yang ada saat ini.Menurut Komaruddin Hidayat, menghadapi hoaks tidak bisa diserahkan kepada satu pihak saja. Semua pihak harus sama-sama sadar bahwa hoaks adalah musuh bersama. Pemerintah, Dewan Pers, organisasi pers, perusahaan pers, insan pers, akademisi, dan masyarakat—semua harus bahu-membahu memerangi hoaks agar kontennya bisa diminimalkan.“Selain peran serta lembaga penegak hukum, masyarakat juga harus bisa membedakan mana yang hoaks dan mana yang nyata. Jangan cepat percaya dengan informasi di media sosial sebelum melakukan verifikasi terlebih dahulu, baru dibagikan. Agar tidak menyesatkan orang lain,” katanya kepada Edy Suherli, Irfan Meidianto, dan Karisna Aurelia Tukan dari VOI yang menemuinya di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta, 21 Juli 2025.Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat menegaskan semua pihak harus memerangi hoaks. (Foto: Karisa Aurelia Tukan – VOI, DI: Raga Granada – VOI)Bagaimana Anda menilai kondisi kemerdekaan pers di Indonesia saat ini?Yang menarik perhatian saya bukan soal apakah pers itu merdeka atau tidak, tetapi bagaimana lanskap pemberitaan di langit Indonesia saat ini. Saya amati, berita yang muncul sekarang ini sangat banyak, tetapi kualitasnya rendah—ibarat udara yang penuh polusi.Keberadaan media massa, baik cetak maupun elektronik, sangat penting di tengah negara demokrasi seperti kita. Karena itu, saya mengapresiasi semua kerja yang dilakukan insan pers, termasuk kabar atau berita yang juga tersebar melalui media sosial. Media sosial adalah medium untuk menyebarkan informasi dan mengekspresikan ide. Media juga memberikan edukasi dan hiburan, meskipun banyak pula yang menyebarkan hoaks dan sensasi. Saya sangat merindukan konten pers yang bernuansa intelektual dan inspiratif, yang membuat orang optimis menatap masa depan.Saat ini apakah insan pers masih mengalami represi?Siapa pun penguasanya, tidak akan senang dengan kebebasan pers. Itu sudah menjadi rumus umum di mana pun. Tapi kehadiran media massa itu tak bisa dibendung—apalagi di tengah masyarakat yang plural seperti Indonesia. Negara ini lahir dari perjuangan rakyat; Indonesia adalah anak kandung rakyat. Rakyat itu terbiasa bergerak dan berserikat, dan hal itu tidak bisa dibatasi. Dengan demikian, media massa juga tak mungkin dilarang.Yang diperlukan adalah, pertama, pemerintah harus membuat regulasi yang baik. Tidak mungkin membatasi atau menahan insan pers secara sepihak. Kedua, pers adalah mitra dari demokrasi, khususnya di negara yang menganut sistem demokrasi seperti kita.Namun, demokrasi kita tidak bisa langsung ideal seperti teori trias politica. Ada tahapan yang harus dilalui untuk sampai ke sana. Pemerintah harus mengawal proses ini. Lembaga-lembaga pengawasan seperti BPK, KPK, kehakiman, DPR, dan lainnya didirikan untuk menjadi pengontrol. Kekuasaan tanpa kontrol bisa sangat berbahaya.Kalau begitu, kehadiran Dewan Pers juga dalam kerangka pengawasan?Ya, Dewan Pers adalah mitra pemerintah dalam melakukan pengawasan. Apakah hal-hal di ujung sana bisa terpantau? Di sinilah wartawan berperan, karena mereka lebih jeli melihat hal-hal semacam itu. Pemerintah dan masyarakat berkepentingan terhadap keberadaan Dewan Pers, dalam rangka mendukung independensi suara kritis yang konstruktif dalam menyuarakan aspirasi.Menurut catatan Dewan Pers, kasus apa saja yang Anda nilai sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan pers?  Pengekangan terhadap insan pers sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Ketika reformasi bergulir, salah satu ide utamanya adalah kebebasan pers—sebagai antitesis terhadap praktik pengekangan sebelumnya.Saat ini, yang saya amati, pengekangan itu masih terjadi, namun sering kali berlangsung diam-diam, terutama di daerah. Pengekangan dilakukan dengan berbagai cara, sehingga kami sulit menentukan angka pasti. Dewan Pers sangat prihatin dengan aksi-aksi penindasan yang masih terjadi terhadap wartawan.Kami menghimbau kepada penegak hukum, terutama kepolisian, untuk bersikap adil dan mendukung pengusutan tindak pidana yang dilakukan oleh siapa pun, terutama terhadap kasus-kasus yang coba diungkap oleh wartawan.Salah satu tugas Dewan Pers adalah menerima pengaduan. Bisa dijelaskan lebih lanjut?Betul. Salah satu tugas Dewan Pers adalah menerima pengaduan antara insan pers dan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Kami berupaya memediasi para pihak yang berselisih. Namun, jika mediasi tidak berhasil, kami persilakan untuk melanjutkannya ke pengadilan.Menurut  Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat, saat ini media pers kalah populer dari media sosial. (Foto: Karisa Aurelia Tukan – VOI, DI: Raga Granada – VOI)Dalam kerangka dugaan pengekangan terhadap insan pers, apakah negara sudah hadir? Seperti apa implementasinya di lapangan?Sesungguhnya ini adalah persoalan umum. Siapa pun yang dirugikan atau diancam, polisi berkewajiban melindungi—bukan hanya wartawan yang melapor. Pertanyaannya adalah, seberapa sigap polisi dalam menindaklanjuti laporan tersebut?Pers pernah mengalami masa independen, tetapi kini kondisinya agak menurun. Televisi, koran, dan media elektronik kini banyak dimiliki oleh para pengusaha, dan para pengusaha itu adalah mitra penguasa. Akibatnya, wartawan tidak berani bersikap kritis secara lantang. Karena itulah, masyarakat menjadi kurang tertarik. Mereka lebih memilih media sosial dan podcast yang dinilai lebih berani dan kritis.Implikasinya, iklan pun lebih banyak masuk ke media sosial dan podcast karena jumlah penontonnya besar. Dampaknya, media-media konvensional yang dulunya kuat mulai melemah. Ujung-ujungnya, PHK pun terjadi. Ini yang membuat kami sedih, karena banyak tenaga terampil yang terdampak dari sektor media ini.Saat ini realitasnya media cetak dan televisi menurun pamornya. Ke depan, seperti apa anda melihat keadaan ini?Dalam kondisi seperti ini berlaku hukum supply and demand. Jika media cetak dan televisi ingin bertahan, maka mereka harus adaptif—harus berubah mengikuti perkembangan zaman agar tetap dicintai masyarakat.Seiring pesatnya perkembangan media sosial, konten hoaks juga marak. Apa yang dilakukan Dewan Pers untuk meminimalkan konten hoaks?Terus terang, kewenangan kami terbatas. Namun, kami berupaya menggandeng instansi terkait seperti Kominfo (Komunikasi dan Informatika), kepolisian, dan kejaksaan agar peduli terhadap persoalan ini. Dari semua pihak tersebut, hendaknya tidak menindak secara represif, melainkan mendorong regulasi yang sehat. Melarang sepenuhnya saya kira tidak mungkin.Namun, bila konten hoaks menyangkut SARA, fitnah, atau unsur kriminal lainnya, pihak yang dirugikan berhak melapor ke kepolisian. Demokrasi harus seimbang antara kebebasan dan penegakan hukum.Selain peran lembaga penegak hukum, masyarakat juga harus mampu membedakan mana yang hoaks dan mana yang fakta. Jangan cepat percaya dengan informasi di media sosial sebelum melakukan verifikasi, baru kemudian dibagikan. Agar tidak menyesatkan orang lain. Ada empat golongan yang sulit diajak berpikir sehat: orang yang dimabuk cinta, orang bodoh, orang yang sedang berkuasa, dan orang yang membela karena dibayar (buzzer).Bagaimana efektivitas program verifikasi media yang dilakukan Dewan Pers selama ini?Verifikasi dilakukan agar media bisa lebih bertanggung jawab. Apa yang sudah kami lakukan selama ini akan terus kami lanjutkan. Uji Kompetensi Wartawan (UKW) juga kami selenggarakan sebagai bagian dari pembinaan insan pers.Tanpa pembinaan, kaderisasi tidak akan terjadi. Untuk media yang sudah terverifikasi dan wartawan yang telah mengikuti UKW, akan lebih mudah dilacak jika ada pengaduan, karena semuanya terdokumentasi dengan baik.Sementara media sosial dan podcast bukan ranah kami. Mereka bersifat pribadi. Kalau ada masalah, maka mereka sendirilah yang harus menyelesaikannya secara pribadi atau hukum.Banyak pengelola media kecil mengeluhkan sulitnya proses verifikasi. Apa solusi atau kemudahan yang ditawarkan Dewan Pers?Pada prinsipnya, kami ingin membantu. Untuk media yang serius dan profesional, memang ada aturan yang harus dipenuhi. Namun, jika tidak ingin mengikuti aturan itu, silakan jalan sendiri. Tapi perlu diingat, kalau ada masalah, risikonya ditanggung sendiri.Kini teknologi artificial intelligence (AI) turut menjadi tantangan baru. Apakah AI akan mematikan profesi wartawan atau justru memperkuatnya?Dulu, orang berkomunikasi secara langsung, lalu melalui tulisan (di era abad pertengahan). Kini, semuanya tergabung dalam satu perangkat—baca, tulis, dan bicara—melalui gawai. Orang dengan mudah memberi komentar di media sosial tanpa empati. Karena itu, jangan terlalu sensitif saat membaca komentar-komentar di sana.Meskipun teknologi informasi makin maju dan kini hadir AI, saya percaya profesi wartawan tidak akan mati. Sebab, manusia tetap membutuhkan dialog dan proses penggalian informasi untuk menyampaikan berita yang akurat dan bermakna. Yang perlu dicermati adalah kontennya. Di era kemerdekaan dulu, kontennya adalah perjuangan. Wartawan tumbuh dengan semangat perjuangan itu.Kini, kehadiran AI justru bisa mempermudah pekerjaan wartawan. Sebelum wawancara, wartawan bisa menggunakan AI untuk melacak informasi awal soal topik yang akan dibahas. Namun, bagi penulis buku, saya melihat AI bisa menjadi tantangan. Karena orang tak perlu lagi membeli buku untuk tahu isinya. Ini tentu merugikan penulis dan penerbit.Bagaimana Anda melihat realitas wartawan era sekarang?Dulu, saat saya masih menjadi wartawan, sebelum melakukan wawancara dengan Taufik Abdullah, beliau bertanya dulu, buku mana yang sudah saya baca. Setelah saya jelaskan buku apa saja yang pernah saya baca dan apa isinya, barulah beliau yakin dan mau diwawancarai.Saat akan wawancara dengan Ali Sadikin juga serupa. Beliau yang mengetes saya: apa saja problem yang dihadapi kota Jakarta dan apa solusi dari problem itu. Setelah saya menjelaskan dan beliau puas, barulah beliau bersedia diwawancara. Nah, wartawan muda era sekarang, apakah punya kemampuan menghadapi narasumber yang kritis? Ini yang perlu jadi renungan kita.Apakah Dewan Pers memberikan arahan dalam konteks disrupsi informasi dan perkembangan AI?Bagaimana bisa memberikan arahan? Kita semua masih bingung menghadapi soal ini. Pemerintah saja belum punya rumusannya, masih sibuk mencari formulasi. Memang, aturan atau regulasi yang ada di kita itu selalu tertinggal dari perkembangan teknologi. Sikap kita, terutama di dunia pendidikan, harus melindungi guru-guru dan murid. Jangan menunggu petunjuk pelaksanaan (juklak) dari pemerintah.Sekarang soal PWI, pemerintah mendorong dua kepengurusan PWI yang berseteru untuk rekonsiliasi. Bagaimana Anda melihat progresnya?Secara moral, wartawan Indonesia—khususnya PWI—itu tumbuh bersama perjuangan bangsa. Jadi harus punya spirit perjuangan dan kenegarawanan. Ketika terjadi disintegrasi di berbagai sisi, PWI tidak akan bisa mengkritik kalau diri mereka sendiri mengalami disintegrasi. Jadi, PWI itu tidak boleh pecah. Bersatu adalah keniscayaan. Bahwa antara anak dan istri itu sering bertengkar, tak apa-apa. Tapi rumahnya jangan roboh.Kami ikut memfasilitasi penyatuan PWI. Steering committee kongres PWI dibentuk bersama. Soal siapa yang akan jadi Ketua PWI, terserah. Semoga Agustus ini PWI sudah bisa menggelar kongres. Masing-masing kubu harus siap menerima ketua baru yang terpilih dari kongres persatuan PWI. PWI itu salah satu konstituen Dewan Pers yang paling awal.Jadi masing-masing kubu tak perlu menonjolkan egonya.Saat ini sudah terlalu banyak ego pribadi yang mengalahkan ego institusi. Wartawan itu egonya untuk memajukan  kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan untuk mementingkan pribadi dan kelompoknya. PWI itu harus menjadi guru bangsa yang mendidik rakyat.Apa saran Anda untuk wartawan muda yang baru merintis karier?Untuk menjadi wartawan yang hebat, jangan tinggalkan budaya membaca. Membacalah agar tulisan Anda berbobot. Jadikan budaya membaca dan riset sebagai kebiasaan. Belajarlah dulu sebelum memulai aktivitas jurnalistik. Peluang untuk belajar sekarang ini terbuka lebar. Setelah tulisan Anda terbit, baca lagi, dan jadilah kritikus terhadap tulisan Anda sendiri. Jadi, ada dinamika dialektis dalam diri sendiri—antara aku sebagai penulis dan aku sebagai pembaca.Apa prioritas yang akan dilakukan Dewan Pers untuk memperkuat ekosistem pers yang sehat, merdeka, dan bertanggung jawab?Kami akan mengajak berbagai pihak—pemerintah dan juga insan pers—untuk sama-sama saling menghargai. Pemerintah menghargai kebebasan pers, dan insan pers juga menghargai peraturan yang ada. Karena masing-masing adalah mitra dalam membangun demokrasi yang seimbang. Suntuk, Komaruddin Hidayat akan Melakoni Hal IniKetika mengalami kesuntukan, cara yang dilakukan Komaruddin Hidayat adalah keluar sebentar, lalu di akan menulis. Setelah refresh kembali lagi ke persoalan yang semula. (Foto: Karisa Aurelia Tukan – VOI, DI: Raga Granada – VOI)Setiap orang punya cara masing-masing untuk keluar dari kondisi suntuk atau bosan pada suatu aktivitas. Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, saat suntuk dengan rutinitas, akan keluar dari aktivitas sejenak lalu menulis. Selain menyelesaikan masalah kejenuhan, kebiasaan ini juga menghasilkan tulisan yang setiap tahun ia terbitkan bertepatan dengan momen ulang tahunnya.“Bagi saya, membaca dan menulis itu adalah kebutuhan untuk relaksasi. Kalau saya sudah suntuk atau pusing karena suatu kegiatan, saya harus keluar dari aktivitas itu dan menulis. Temanya atau materinya bisa tentang apa saja—misalnya kritik terhadap suatu keadaan, mencermati kondisi sosial dan politik. Tapi ada juga tema-tema ringan seperti soal human interest,” kata pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953.Ternyata dari kumpulan tulisan selama setahun, ia bisa menerbitkan sebuah buku di luar tulisan-tulisan serius di kampus. “Sudah lima tahun terakhir, setiap ulang tahun saya minimal menerbitkan sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan saya,” ungkap mantan wartawan majalah Panji Masyarakat (1978–1982).Tema buku yang akan ditulis tak perlu jauh-jauh dicari. Komar cukup melihat fenomena dan kejadian yang ada di sekitarnya.“Kalau sudah ada ide, ya fokus saja menulis. Kalau ada waktu kosong, menulis. Dalam waktu enam bulan bisa jadi sebuah buku. Soalnya banyak sekali problem yang mengemuka di sekitar kita,” kata Komar, sembari menyebut buku-bukunya diterbitkan oleh Kompas Gramedia. Kunci KebahagiaanMenjaga keseimbangan antara olah gerak dan olah pikir menurut Komaruddin Hidayat ia lakoni untuk membuat hidupnya tenang. (Foto: Karisa Aurelia Tukan – VOI, DI: Raga Granada – VOI)Banyak cara untuk menggapai kebahagiaan. Ada yang melalui gerak badan atau olahraga (physical exercise), lalu social exercise, kemudian intellectual exercise, spiritual exercise, dan juga aesthetical exercise.“Kalau kita bisa melakukan berbagai hal itu, baik sendiri maupun bersamaan, kebahagiaan itu akan datang. Kita akan happy dan tak cepat tua,” kata mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2006–2010 dan 2010–2015).Kalau ditanya apakah itu cara dia untuk bahagia? “Saya tidak bisa mengatakan mampu melakukan semuanya. Namun saya berupaya menjalankannya semaksimal mungkin. Mengajar bagi saya hiburan, kumpul dengan teman sembari kulineran juga bikin hati senang,” lanjut mantan Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (2019–2024).Komaruddin Hidayat yang kerap berolahraga golf merasakan sendiri bagaimana dalam satu momen saat berada di lapangan golf, ia bisa sekaligus melakukan physical dan social exercise.“Saya senang sekali kalau sudah di lapangan golf. Selain kegiatan utama bermain golf, bisa juga berjalan, berada di bawah sinar matahari, dan berbincang dengan teman main golf. Itu kemewahan luar biasa—saya bisa melupakan hiruk-pikuk politik,” ungkap Komar, yang juga menyadari banyak orang memanfaatkan aktivitas di lapangan golf sebagai ajang lobi bisnis. Lapangan Golf di Daerah PegununganSalah satu olahraga yang dipilih Komaruddin Hidayat adalah golf. Tak hanya bergerak ia juga bisa menikmati keindahan alam sembari menjalin relasi sosial dengan kolega. (Foto: Karisa Aurelia Tukan – VOI, DI: Raga Granada – VOI)Komar lebih senang bermain golf di daerah dataran tinggi karena panoramanya indah dan udaranya segar. “Makanya saya lebih banyak bermain di lapangan golf yang ada di daerah Bogor dan sekitarnya. Pemandangan pegunungan itu membuat kita rileks, dan udaranya yang segar membuat kita refresh,” lanjut santri lulusan Pesantren Pabelan, Magelang (1969), dan Pesantren Islam Al Iman, Muntilan (1971).Meski bukan tujuan utama, saat ada kesempatan—misalnya ketika sedang bertugas ke luar kota atau luar negeri—Komar kerap menyempatkan diri bermain golf. “Jadi bukan target utamanya untuk memperbaiki skill golf, ya. Kalau ada peluang, saya ingin mencoba lapangan golf di tempat yang saya kunjungi. Saya pernah ke China, Thailand, dan Amerika Serikat. Setelah kegiatan utama selesai, saya sempatkan main golf,” kata Komar, yang tidak tertarik menyambangi pusat perbelanjaan.Menurut Komar, salah satu hal yang membuatnya bahagia sebagai penggemar golf adalah ketika pukulannya mendekati sasaran. “Makanya sebelum memukul, harus lihat situasi dan kondisi sekitar—bagaimana kontur lapangan, arah angin, dan menentukan stik yang tepat untuk memukul. Itu salah satu kunci. Soalnya di situ ada unsur analisis. Kalau keadaannya begini, pakai stik yang mana. Tantangannya di situ menurut saya,” ujar Komar, yang masih bisa mengonsumsi segala jenis makanan asalkan tidak berlebihan.“Saya amat bersyukur di usia sekarang masih bisa menikmati berbagai makanan. Yang penting tahu diri saja, jangan berlebihan. Sampai saat ini, alhamdulillah saya tidak ada pantangan makanan. Jadi, Anda bisa traktir saya apa saja—asal jangan makanan yang keras,” ujar Komaruddin Hidayat, sambil berpesan: “Jangan takut dengan tantangan. Kalau ingin menjadi pelaut yang sukses, harus berani menantang badai. Pelaut yang hebat dilahirkan dari ombak yang besar.”   ," [/blockquote]