Di Balik Dagang, Ada Data Kita

Wait 5 sec.

Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat diikuti dengan pertukaran data penduduk. (Unsplash) Pemerintah mengklaim bahwa data yang ditransfer ke Amerika Serikat bukan data pribadi warga melainkan data komersial. Tapi pandangan itu justru membuka celah pelanggaran kedaulatan digital Indonesia. Data yang disodorkan bukan sekadar nama atau nomor telepon. Tapi menyangkut komodifikasi wilayah digital Indonesia. Akhir Juli 2025, Gedung Putih mengumumkan kerangka kesepakatan dagang timbal balik dengan Indonesia, termasuk butir tentang “Removing barriers for digital trade”. Salah satunya pengakuan bahwa Amerika Serikat dianggap sebagai yurisdiksi dengan perlindungan data yang memadai. Sehingga, data dari Indonesia bisa dipindahkan ke sana. Pemerintah menyatakan, transfer ini hanya untuk data komersial, bukan data pribadi. Menkomdigi Meutya Hafid menyebut bahwa proses ini berlandaskan UU Perlindungan Data Pribadi (UU No 27 Tahun 2022) dan PP 71/2019. Namun, pernyataan itu dibantah oleh banyak pengamat. Imparsial memperingatkan bahwa perjanjian tersebut berpotensi melanggar UU PDP. Karena tidak semua data komersial bersih dari identitas individu. Bisa saja terekspos data sensitif warga. Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menyatakan data pribadi warga negara tidak boleh dijadikan objek kesepakatan dagang atau ekonomi antarnegara. “Kedaulatan data pribadi adalah bagian dari kedaulatan negara,” katanya dalam keterangan resminya. Imparsial menegaskan bahwa ketentuan ini melanggar UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Undang-undang ini, meski belum sepenuhnya diterapkan, menjadi jaminan hukum untuk melindungi keamanan data warga negara. Transfer data ke luar negeri membuat kebijakan pembangunan pusat data nasional kehilangan makna. Seperti disebut di awal, pemerintah menegaskan bahwa data yang ditransfer adalah data komersial. Misalnya data hasil riset bisnis, tren e-commerce, atau statistik pasar. Juru bicara Kemenko Perekonomian menyebut data ini digunakan untuk analisis pasar dan disampaikan melalui mekanisme hukum yang sah. Kominfo juga memastikan bahwa proses berjalan transparan dan sesuai regulasi. Menteri HAM, Natalius Pigai, bahkan menyebut bahwa transfer ini tidak melanggar HAM karena tunduk pada UU PDP. Presiden Prabowo menyatakan bahwa negosiasi masih berjalan dan belum bersifat final. Masalahnya, data komersial tetap bisa mengandung jejak identitas. Misalnya data transaksi perbankan di suatu kota bisa mengungkap profil pelanggan. Data logistik e-commerce bisa melacak pola konsumsi, penghasilan, bahkan lokasi. Di satu sisi, UU PDP memberi hak warga menolak transfer data. Tapi perjanjian ini memberi ruang lebih leluasa pada pihak asing. Ini kontradiktif.DPR dan lembaga pengawas independen belum punya otoritas kuat atas transfer lintas batas. Komdigi hanya punya peran teknis. Celah ini berpotensi menjadi pelanggaran HAM dan UU PDP. Apalagi negosiasi dilakukan tertutup. Publik tidak dilibatkan. Hak warga untuk menolak pun tidak dijelaskan. Negosiasi tak boleh sepihak. Indonesia tidak boleh ikut dalam permainan asing yang dikemas sebagai peluang digital. Tanpa pengawasan ketat dan transparansi, pintu pengawasan asing terhadap warga Indonesia terbuka lebar. Pemerintah wajib membuka data teknis perjanjian. DPR harus turun tangan. Demokrasi digital membutuhkan partisipasi. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menduga motif geopolitik. Menurutnya, AS bisa memanfaatkan data dari Indonesia untuk memantau pergerakan Tiongkok, rival strategis mereka di kawasan. Lembaga Indonesia Digital Cooperation Institute (IDCI) juga mengingatkan. Kedaulatan digital adalah bagian dari kedaulatan negara. Jika dibiarkan, Indonesia hanya akan jadi ladang eksploitasi negara-negara pemilik infrastruktur teknologi. Ini bukan sekadar soal transfer data komersial. Tapi konsolidasi awal dari pelemahan kedaulatan digital Indonesia. Kecurigaan publik adalah alarm bahwa demokrasi digital sedang digeser. Pemerintah harus berhenti pura-pura legal. Saatnya kembali ke tujuan awal. Melindungi warga, bukan membuka pintu pengawasan asing. Akhirnya, yang mungkin bocor bukan cuma nama warga. Tapi pola hidup digital kita. Apa yang kita beli, tonton, klik, dan pikirkan. Semua bisa dipetakan. Kedaulatan digital Indonesia kini diuji—dan tanpa sadar, kita sedang membungkusnya dalam paket dagang lintas negara.