Apindo Jelaskan Dampak Tren Investasi Bergeser ke Padat Modal

Wait 5 sec.

Ketua Apindo Shinta Kamdani saat ditemui di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Selasa (22/7/2025). Foto: Najma Ramadhanya/kumparanKetua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menyoroti adanya pergeseran pola investasi yang berdampak pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja di sektor industri. Shinta menyebut, tren saat ini menunjukkan pergeseran dari investasi padat karya ke padat modal, yang berdampak pada menurunnya daya serap terhadap tenaga kerja.“10 tahun yang lalu itu masih Rp 1 triliun investasi, masih 4 ribu (tenaga kerja), sekarang sudah seribuan (tenaga kerja di sektor padat karya) jadi memang sudah sangat berbeda dibandingkan dengan sebelumnya.” kata Shinta dalam konferensi pers Rakerkornas Apindo 2025 di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (29/7).Ia juga menyinggung penanaman modal asing (PMA) yang realisasinya di semester I 2025 lebih rendah daripada penanaman modal dalam negeri (PMDN). Katanya, PMA masih melihat situasi dan kondisi, serta realisasinya yang lebih rendah daripada PMDN ini tidak terjadi di waktu saat ini saja.Shinta menyampaikan bahwa rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia saat ini masih tergolong jauh, yang mencerminkan rendahnya efisiensi investasi di dalam negeri.“Makanya kami selalu juga mengatakan ICOR-nya itu adalah juga kunci buat indonesia untuk bisa lebih kompetitif,” tambah Shinta.Ia pun menekankan bahwa realisasi investasi saat ini masih dipengaruhi oleh keputusan-keputusan bisnis yang dibuat pada periode sebelumnya, sehingga dampak dari ketegangan perdagangan global seperti kebijakan tarif tinggi Amerika Serikat (AS) belum sepenuhnya tercermin.Namun demikian, Shinta menilai peluang investasi masih terbuka luas di sejumlah sektor seperti data center, industri hijau, energi baru dan terbarukan (EBT), serta hilirisasi mineral.Ilustrasi eksplorasi tambang yang dilakukan Amman Mineral. Foto: Amman MineralBahkan Shinta menyebut ada indikasi masuknya investasi dari perusahaan asal China di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) jika tarif Indonesia lebih kompetitif dari negara pesaing seperti Vietnam dan Bangladesh.Menambahkan Shinta, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menuturkan bahwa kebijakan tarif tinggi dari AS justru berpotensi meningkatkan investasi asing ke Indonesia. Ia memproyeksikan tambahan investasi sebesar 1,6 persen dari baseline awal, terutama jika pemerintah mampu menjaga kepastian hukum dan iklim usaha.“Bahkan, akhir tahun 2025, target investasi sampai dengan Rp 1.905 triliun itu targetnya bisa achieve,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi di Indonesia semester I 2025 mencapai Rp 942,9 triliun, meningkat 13,6 persen year on year (yoy) dari Rp 829,2 triliun. Dari hasil realisasi semester I ini, menyerap 1.259.868 tenaga kerja/pekerja di seluruh Indonesia.Dari total realisasi investasi, PMDN menyumbang porsi terbesar dengan Rp 510,3 triliun (54,1 persen), sementara PMA mencatat Rp 432,6 triliun (45,9 persen)."Kontribusi investasi luar Jawa Rp 476 triliun (50,5 persen) dan Jawa Rp 466,9 triliun (49,5 persen)," ucap Menteri Investasi dan Hilirisasi/BKPM Rosan Roeslani dalam konferensi pers, Selasa (29/7).Berdasarkan lokasi, Jawa Barat menempati posisi teratas untuk total PMA dan PMDN per semester I 2025 dengan Rp 141 triliun (15 persen), diikuti DKI Jakarta Rp 140,8 triliun (14,9 persen), Jawa Timur Rp 74,7 triliun (7,9 persen), Sulawesi Tengah Rp 64,2 triliun (6,8 persen), dan Banten Rp 60,7 triliun (6,4 persen).Pada skema PMA, Jawa Barat memimpin dengan USD 4 miliar (14,7 persen), disusul Sulawesi Tengah USD 3,7 miliar (13,9 persen), DKI Jakarta USD 3,2 miliar (11,7 persen), Maluku Utara USD 2,5 miliar (9,3 persen), dan Jawa Tengah USD 1,6 miliar (5,9 persen).Sementara untuk PMDN, DKI Jakarta menjadi pusat investasi dalam negeri dengan Rp 90,4 triliun (17,7 persen), diikuti Jawa Barat Rp 77,5 triliun (15,2 persen), Jawa Timur Rp 51 triliun (10 persen), Banten Rp 35,3 triliun (6,9 persen), dan Kalimantan Timur Rp 32,4 triliun (6,4 persen).