● Represi budaya oleh negara sering memicu lahirnya kolektif-kolektif (kelompok) yang membangun pengetahuan alternatif.● Komunitas di Lasem memperjuangkan hal ini dengan membaca, merekam, menjelajah, mengoleksi, dan menafsirkan ulang.● Strategi akar rumput di Lasem menjadi bentuk perlawanan terhadap narasi tunggal negara yang patut ditiru.Penguasa sering menggunakan regulasi atas produk budaya—termasuk bahasa dan sejarah—untuk mengontrol masyarakat.Pada masa Orde Baru, hal ini diwujudkan melalui kebijakan budaya yang bertujuan mengatur dan menertibkan. Namun, represi semacam itu justru melahirkan kelompok-kelompok yang memproduksi sendiri pengetahuan-pengetahuan lokal dengan metode alternatif, berangkat dari budaya dan kebiasaan yang mengakar dari keseharian masyarakat.Fenomena ini dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi pusat, khas budaya poskolonial, yaitu ketika suara-suara dari pinggiran terus mendorong dirinya mendekati pusat.Dalam satu dekade terakhir, Lasem, ibu kota sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, yang dijuluki “Tiongkok Kecil”, konsisten menyuarakan narasi budaya lokal lewat pengarsipan sejarah komunitas.Komunitas pegiat sejarah dan budaya di sana berupaya menjahit kembali cerita-cerita yang sempat terhapus dan tercecer karena tergerus historiografi nasional. Mereka berdiskusi, membongkar surat-surat, buku-buku, serta lembaran foto kuno, memperdebatkannya, lalu jika mungkin, menyusunnya kembali menjadi narasi yang utuh.Tulisan ini merangkum gerakan pengarsipan lokal tersebut ke dalam beberapa strategi dan mengaitkannya dengan kondisi hari ini. Data-data yang disajikan merupakan hasil olahan catatan lapangan kami sepanjang 2021-2025, yang merupakan bagian dari riset doktoral kami.Bagaimana memelihara pengetahuan secara kolektif?Kami mengidentifikasi lima strategi yang dilakukan warga, relawan, dan teman-teman komunitas di Lasem dalam merawat dan memproduksi pengetahuan, yaitu: membaca, merekam, menjelajah, mengoleksi, serta mengartikan ulang. 1. MembacaSalah satu dari sedikit pilihan literatur tentang Lasem ialah buku berjudul Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung. Meskipun kesahihannya kerap diperdebatkan, buku ini populer di kalangan masyarakat lokal.Bahkan, buku ini menginspirasi lahirnya klub baca “Pengetahuan Lasem” yang rutin berkumpul untuk membaca bersama, membedah bab demi bab setiap pertemuan, dan menyusun catatan bersama tentang Lasem. Hasilnya kemudian disebarluaskan ke publik dalam berbagai bentuk.Strategi membaca bersama sejarah seperti ini bukan hanya sebagai bentuk upaya pelestarian budaya, tapi juga perlawanan ilmiah terhadap narasi tunggal pemerintah. 2. MerekamSejarah lisan memungkinkan kita menangkap hal-hal yang sering luput dalam teks tertulis, khususnya suara-suara kelompok yang selama ini terpinggirkan dari narasi formal, seperti pengalaman komunitas lokal atau individu non-elit.Di Desa Dasun, wilayah pesisir Lasem misalnya, metode ini dipakai untuk merekam kisah-kisah sejarah lokal serta pengetahuan budaya maritim yang erat dengan keseharian masyarakatnya. Hasil pengumpulan informasi ini disebarkan lewat kanal Youtube, seperti #PodcastPerpusDasun yang menampilkan tokoh masyarakat, mahasiswa, dan ahli sebagai narasumber.Selain dalam bentuk video, sejarah lisan desa Dasun juga dituliskan kembali. Menggunakan wawancara, observasi lapangan, dan sumber literatur terdahulu, warga Dasun berhasil menerbitkan dua judul buku: Dasun: Jejak Langkah dan Visi Kemajuannya dan Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun.3. MenjelajahMenelusuri sejarah tak hanya bisa dilakukan lewat sumber literatur maupun lisan, tapi juga dengan menjelajahi situs-situs lokal secara langsung. Komunitas Balung Watu Lasem, misalnya, rajin berkumpul untuk melakukan tur ke situs-situs lokal seperti makam, goa, hutan, hingga gunung. Mereka berdialog dengan warga lokal sambil mendokumentasikan perjalanan lewat foto dan video yang kemudian dibagikan ke publik lewat media sosial dan grup-grup Whatsapp.Pendekatan semacam ini sejalan dengan metode walking as a research practice (berjalan sebagai praktik penelitian), yang menekankan pentingnya pengalaman langsung seperti berjalan dan berkunjung ke ‘lapangan’ dalam proses pencarian pengetahuan.4. Mengoleksi“Koleksilah sesuatu agar hati merasa bahagia,” tulis Afnantio Soesantio, seorang filatelis yang merupakan tokoh kunci di balik berdirinya Museum Nyah Lasem. Berawal dari perangko, memorabilia keluarga, dan surat-surat bersejarah, koleksi di museum ini terus bertumbuh secara organik. Om Santio, panggilan akrabnya, tak hanya menyimpan benda-benda tersebut, tapi juga menceritakan kisah setiap koleksi tersebut kepada setiap pengunjung yang singgah di Lasem.Inisiatif ini kemudian diteruskan oleh para relawan Yayasan Lasem Heritage yang membantu menghubungkan koleksi ke konteks sejarah kota yang lebih luas melalui pameran, diskusi, hingga sanggar.Sejumlah arsip yang diteliti para relawan mengungkap betapa luasnya jaringan dagang Batik Lasem di awal abad 20 dan kemudian dinobatkan sebagai memori kolektif bangsa oleh ANRI. Usaha-usaha seperti ini menghimpun data-data baru dan memperkaya narasi yang sebelumnya satu arah. Keberadaan museum ini juga mendorong dialog secara langsung dengan pengunjung.5. Menafsirkan ulangAgar sejarah tetap relevan, terutama bagi generasi muda, komunitas lokal memilih pendekatan artistik.Praktik ini dilakukan oleh kolektif Noktaloka, komunitas anak-anak muda asal Lasem dan Rembang yang aktif melakukan sketchwalk (membuat sketsa sembari berjalan-jalan). Mereka menyusuri kawasan suburban Lasem dengan pena dan cat air, menangkap jejak budaya dan lanskap sejarah dalam bentuk sketsa. Hasilnya bukan sekadar dokumentasi visual, tapi juga interpretasi kreatif atas ruang dan identitas Lasem. Sejumlah karya mereka kini dipamerkan di Museum Nyah Lasem, menandai bagaimana praktik seni gambar bisa menjadi jembatan antara memori dan publik masa kini.Upaya serupa juga tampak dalam karya Divasio Suryawan, seniman muda asal Lasem. Karya-karyanya tidak hanya mengangkat Lasem sebagai tema, tetapi menjadikan arsip sejarah dan budaya, termasuk arsip kuno, sebagai sumber utama inspirasi. Ia membaca arsip-arsip tersebut melalui proses diskusi kolektif dengan peneliti dan arsiparis lain, lalu merumuskannya ke dalam bentuk seni visual yang kritis dan kontemporer. Dengan cara ini, masa lalu tidak lagi sekadar diromantisasi, namun diolah menjadi ruang refleksi atas kondisi sosial Lasem hari ini.Patut ditiruKelima strategi di atas menekankan pentingnya semangat kolektif dalam menjaga dan mewariskan pengetahuan lokal. Di tengah represi yang cenderung kerap berulang, pemeliharaan pengetahuan di Lasem bukan sekadar giat budaya, melainkan bentuk perlawanan terhadap hegemoni narasi tunggal yang dibangun negara. Baca juga: Fadli Zon menyangkal pemerkosaan massal 1998: Revisi sejarah picu kemarahan publik Belakangan, kita mulai melihat gejala serupa muncul seperti apa yang dialami Lasem puluhan tahun yang lalu: penulisan ulang sejarah, pengaburan pengalaman kolektif, hingga penghapusan perlahan narasi-narasi yang tak sesuai dengan “versi resmi” pemerintah. Maka, strategi akar rumput yang dilakukan di Lasem bukan hanya inspiratif, tapi mendesak untuk direplikasi.Virliany Rizqia Putri menerima dana dari MEXT, dan merupakan seorang relawan di Museum Nyah Lasem.Feysa Poetry menerima dana dari LPDP dan merupakan seorang relawan di Museum Nyah Lasem.